Minggu, 28 Desember 2008

Menebar Janji, Menjauhkan dari Rakyat

Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun depan bisa jadi merupakan momentum penting penguatan sistem demokrasi negara ini. Seperti halnya di negara demokrasi mana pun, mekanisme pemilu acapkali menentukan ”nasib” penguatan demokrasi secara signifikan karena di situlah kita memilih tokoh yang bakal memandu demokrasi itu.

Tensi politik menjelang mekanisme procedural semakin panas. Kesibukan partai politik, caleg, capres dan cawapres sampai pada tim sukses dalam mempersiapkan ajang perebutan kekuasan terlihat dimana-mana. Berbagai atribut partai maupun caleg tersebar di sudut tempat strategis yang memungkinkan terlihat oleh public dan kemudian harapannya adalah public akan bersimpati dan memilihnya. Sementara, pertarungan diantara partai politik peserta pemilu maupun caleg, capres dan cawapres dalam memperebutkan rasionalitas suara rakyat semakin sengit. Pertarungan tidak hanya dalam medan politik iklan yang mencoba untuk mensosialisasi dan mengenalkan berbagai program namun sudah dalam medan politik real [baca:daerah pemilihan] untuk berebut kerendahan sikap pemilih. Pemilu menjadi alasan elit politik untuk kembali menjamah kegelisahan rakyat dan kembali lagi meninggalkan rakyat ketika mendapatkan kekuasaannya.

Sekarang elit politik dan pemburu kekuasaan lainnya telah disibukan dengan mekanisme procedural dan menebar “virus” janji yang bisa menyembukan penderitaan rakyat, namun kesibukan tersebut justru tidak berhubungan dengan yang dihadapi rakyat sehari-hari, rakyat terus dipaksa untuk memikirkan dan menemukan jalannya sendiri dari gempuran krisis. Sementara elit politik terus menjejali kesadaran sejati rakyat atas ketidakpercayaan pemilu dalam membawa perubahan kesejahtaraan. Wujud ketimpangan perilaku elit politik yang nafsu kekuasaan semakin tinggi dengan rendahnya partisipasi politik rakyat.

Realitas POlitik Rakyat
Pemilu merupakan indikator dari pemerintahan yang demokratis, mekanisme sirkulasi kepemimpinan yang dilakukan secara demokratis dengan melibatkan partisipasi seluruh rakyat, maka keberadaannya sangat penting terhadap perubahan politik nasional yang dilakukan secara reguler/periode (demokrasi prosedural). Keberadaannya sesungguhnya telah menyita energy elit politik pemburu kekuasaan dalam rangka merebut dan mempertahankan kekuasaannya.

Namun, dalam proses perjalanannya demokrasi berjalan semakin liar tidak terkontrol sehingga bukan perubahan menuju perbaikan kesejahteraan namun demokrasi telah terbajak oleh elit politik dan mengakibatkan kesejahteraan rakyat semakin kritis. Bahkan negara telah abai dalam melindungi warganegaranya dari tekanan politik-ekonomi global yang semakin mengganas, bahkan tekanan ini telah dilegalisasi atasnama kepentingan public dalam bentuk Undang-undang dimana hampir 90 % produk hukum yang dihasilkan pasca reformasi 98 cenderung bermuatan politis dan memihak kepentingan asing, sebut saja UU Migas no 2 tahun 2001, UU air,UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU PMA, UU BHP, UU Minerba dan seterusnya. Disinilah bisa disimpulkan bahwa negara telah terkooptasi oleh kepentingan modal/asing dengan mengatasnamakan iklim investasi, pertumbuhan, akhirnya liberalisasi perdagangan, kemudian disisi lain ketidakberdayaan dalam mengelola warganegaranya merupakan indikasi dari lemahnya peran negara. Padahal menurut Francis Fukuyama (Memperkuat Negara, 2005), salah satu ciri negara kuat adalah kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat tanpa harus menebar ancaman, paksaan dan kecemasan berlebihan.

Faktanya, hampir 90% produk kebijakan pemerintahan SBY-Kalla justru telah menuai persoalan baru karena ketiadaan fondasi sistem yang kuat tetapi lebih memprioritaskan pada capaian politik popularitas dan berkarakter selebritas. Setiap kebijakan yang dikeluarkan selalu memberikan “politik suap”dalam rangka meredam berbagai gejolak social, sebut saja BLT, Beasiswa, dan sejenisnya dan cenderung dipaksakan ke public. rakyat dipaksa untuk menerima tanpa memberikan solusi yang visioner sehingga apa yang terjadi hari ini seperti kelangkaan elpiji, pupuk, dan phk massal dll merupakan akibat dari ketiadaan bangunan sistem yang kokoh dalam membangun perekonomian nasional. Bahkan fondasi perekonomian yang telah dibangun funding father melalui UUD 45 telah diliberalisasikan dalam bentuk amandemen UUD.

Kebijakan yang tidak pro rakyat justru telah menjadi bom waktu yang dapat merusak kehidupan rakyat dan negara. Rakyat dipaksa menerima dan menjalankan semua kebijakan pemerintahan walaupun tidak menyelesaikan persoalan, sehingga dengan menerimanya tersebut kemudian rakyat juga dipaksa untuk mencari dan menemukan jalannya sendiri dalam menghadapi hidup yang semakin tidak bersahabat dinegeri yang kaya. Akibatnya adalah meluas dan meningkatnya suhu radikalisasi massa rakyat dalam menuntut keadilan atas kebijakan pemerintahan menjadi indicator meningkatnya tingkat kesadaran rakyat. protes warga atas kelangkaan elpiji, pupuk, langkanya solar dan minyak, politik tembang pilih korupsi, perilaku korup dan amoral elit politik, penegakkan supremasi hukum, tuntutan kesejahteraan guru, lapangan kerja [baca:PNS] sampai protes terhadap pendidikan mahal menjadi fakta atas kebijakan yang tidak pro rakyat.

Minggu, 30 November 2008

[Be] Rebut Kekuasaan Parlemen

Sistem politik yang sedang berjalan telah memberikan harapan warga negara untuk berpartisipasi secara langsung dan bahkan untuk menjadi legislative maupun eksekutif. Ditengah kuatnya oligarky parpol, tercermin dalam produk hukum sistem politik dan pemilu telah memberikan batasan-batasan yang tidak demokratis dan cenderung sebagai alat politik parpol besar untuk menghadang lawan-lawan politiknya. Pemenuhan syarat parliamentary threshold (PT) 2,5 %, Elektoral threshold (ET) 20 %, atau 20% perolehan kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional agar dapat mengusung capres secara matematis sulit untuk tercapai ditengah kuatnya kontestasi 43 partai politik peserta pemilu.

Geliat demokrasi juga tidak disia-siakan oleh pencari kekuasaan legislative untuk berburu keuntungan suara rakyat, bahkan ada salah satu partai politik yang resah dengan minimnya pendaftaran calegnya kemudian mengiklankan “lowongan caleg” di media. Sindrom caleg yang begitu meluas telah menjadi konsumsi public, mereka berasal dari berbagai latar belakang mulai dari politisi, aktifis, artis/seniman, praktisi sampai ibu rumah tangga, antara keturunan darah “biru”politik dengan rakyat biasa, tua - muda, yang mampu - tidak berpunya dan seterusnya. Mereka bertaruh dan bertarung dengan merelakan hartanya untuk membiayai harapannya menjadi anggota legislative, sebuah jabatan yang prestius dan terhormat dimata public. Namun, belakangan ini lembaga negara tersebut justru telah menyebarkan bau busuk amoral dan koruptif yang menusuk kehidupan rakyat miskin. Mereka berlomba-lomba mendekati dan meminta belas kasihan “kebaikan” suara rakyat untuk memilihnya sebagai wakilnya dengan berbagai argumentasi yang justru sangat ilusif dan jauh dari realitas sosial.

Panggung politik parlementarisme seolah-olah menjanjikan akan perubahan, setidaknya a personal change pada caleg-caleg dan tentunya adalah menjauhkan perubahan itu dari tangan rakyat. gambaran ini terlihat jelas ketika Pemilu 2004, bahwa ketika musim demokrasi procedural telah datang, maka para pekerja politik (baca:caleg) selalu merangkul hati rakyat dengan berbagai macam janji perubahan. Namun, ketika mereka sudah mendapatkan kursi kekuasaan parlemen, mereka selalu berpaling dari rakyat, meninggalkan konstituen dan kembali merangkul kekuatan modal. Akibatnya adalah persekutuan antara caleg dan pemodal yang tidak memiliki integritas memiliki peluang menggadai asset-aset strategis negara yang seharusnya dikuasai negara. sebut saja ; penjualan indosat, Migas, Pendidikan, dan seterusnya.

Gairah masyarakat dalam politik belum diimbangi dengan agenda-agenda penting yang berhubungan langsung pada upaya mengeluarkan rakyat dari problemnya. Bahkan agenda tersebut justru lebih didominasi oleh nafsu sebagai rent seeker. Menjadi orang dihormati dengan materi yang lebih dari cukup, mereka baru aktif didunia politik saat pemilu mulai dekat. Rata-rata mereka dihinggapi penyakit “last minute mentality”, mereka bekerja dan memperhatikan nasib rakyat diakhir waktu saat mereka butuh suaranya.

Demokrasi “Kompetisi”
Beberapa hari yang lalu Wapres Jusuf Kalla memberikan statemen di salah satu televise swasta tentang pemilu 2009 lebih rumit dari pemilu 2004. Penilaian ini tentunya cukup mengejutkan masyarakat luas, karena keluar dari Wapres yang notabene nya adalah representative pemerintahan. Namun, kita bisa membaca pikiran Wapres dalam mengobyektifkan penilaian tersebut. Tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu yang belum maksimal tersosialisasikan ditengan masyarakat. Sistem pencontrengan yang akan menyulitkan pemilih dimana mayoritas pemilih memiliki tingkat pendidikan rendah, sistem suara terbanyak memaksa para caleg untuk bekerja keras ke basis konstituen dimana kompetisi secara demokratis akan terjadi dalam satu partai. Bisa dibayangkan, terjadinya konflik antara caleg di satu dapil dalam satu partai politik artinya bahwa rentan terjadinya konflik dalam satu partai politik ketika melakukan perebutan suara rakyat dalam satu daerah pemilihan.

Demokrasi yang mengarah ada liberalisasi memaksa tidak hanya partai politik akan tetapi para caleg-caleg untuk melakukan kapitalisasi politik dalam menunjang perebutan panggung parlementarisme. Artinya praktek “jual beli” suara ataupun nomor urut (masih sangat menentukan) akan semakin menguat. Setiap caleg dipaksa untuk membuat instrument politik sampai tingkat TPS, mengumpulkan logistic untuk menopang kerja-kerja kampanye politik selama 9 bulan.

Tidak salah jika sebagian pengamat memandang politik kita sekarang ini lebih mirip badut-badut politik yang menampilkan panggung permainan, atau panggung sandiwara. Mereka mau saja ditempatkan di daerah yang sama sekali tidak mengetahui persis kultur dan problem daerah, hanya karena dianggap sebagai “daerah basah”. Lebih lucu lagi, sebagai ketua partai politik di daerah A memilih jadi caleg di daerah B yang sama sekali bukan wilayah “kekuasaannya”. Kemudian mereka yang selama ini aktif disuatu partai, tetapi kemudian menjadi caleg di partai yang berbeda. Tidak jauh lucunya ketika ada orang baru dalam satu partai atau karena memiliki popularitas (biasanya artis, pengamat public, anak pejabat partai dll) memperoleh perlakuan khusus dengan memberikan nomor urut jadi. Buat pendidikan politik publik, tentu bukan hal yang baik, apalagi dari moral dan etika politik tentu sangat jauh, lari dari tanggungjawabnya merawat, membesarkan dan memenangkan partai.

Kita menyadari bahwa demokrasi yang sejatinya untuk memberikan kesejahteraan, justru demokrasi hari ini terinterupsi oleh kuatnya oligarki partai demi kepentingan pragmatis yang menjauhkan dari mimpi-mimpi perubahan rakyat. Demokrasi procedural 2009 memaksa semua pihak khususnya para caleg untuk berkompetisi dengan caleg-caleg lain dalam satu partai maupun lintas partai dalam mengemis belas kasihan suara rakyat. Loket-loket kekuasaan parlementarisme memang membuka peluang yang sama diantara seluruh caleg, namun terbatasnya loket tersebut (DPR dan DPD) ditengah-tengah membludaknya 43 partai politik dan 20.000 caleg DPR, 48.000 DPRD dan 10.000 DPD membuat para kandidat penguasa ini selalu berebut kekuasaan. Menang dan kalah adalah buah dari kompetisi secara demokratis, namun bagaimana pertanggungjawaban mereka terhadap konstituen dan tentunya penyandang dana para caleg? publik yang akan menilai….

Minggu, 26 Oktober 2008

Rejuvenasi Spirit Sumpah Pemuda dan Nasionalisme Bangsa

Sejarah perjuangan Indonesia adalah sejarahnya anak muda, terbukti sejak perjuangan kemerdekaan melawan colonial, peran anak muda selalu menjadi avant guard perubahan. Jaman perintis nasionalisme Indonesia (1908) dengan lahirnya Budi Oetomo, Penegasan spirit Nasionalisme (1928) komitmen persatuan Pemuda Indonesia, Peneguhan spirit pembebasan nasional (1945) dengan memproklamirkan sebagai bangsa yang merdeka. Generasi pendobrak kemerdekaan nasional yang dilahirkan dari generasi penegas, telah direstui oleh generasi perintis nasionalisme sehingga gema kemerdekaan Indonesia meluas mengoyahkan dan membebaskannya dari cengkeraman kolonialsme Belanda. Siklus terjadi regenerasi kepemimpinan nasional pada waktu itu membuat catatan penting bahwa antar generasi menjadi pertautan sejarah terhadap perubahan bangsa Indonesia.

Kuatnya nasionalisme yang menumbuhkan sikap patriotism dikalangan priyayi/bangsawan pada waktu itu menjadi bukti bahwa kekuatan politik etis Belanda dan pendidikan pesantren merupakan kunci atas kebangkitan kesadaran berbangsa seluruh rakyat. Asimilasi dua unsur pendidikan menyebabkan pola-pola perjuangan akan membebaskan diri tidak selesai, artinya masih tidak secara total melakukan pembebasan tetapi masih menempel pada kekuasaan pemerintahan Belanda dengan ikut terlibat dan mengenyam pendidikan. Konsep pendidikan modernitas (Hindia Belanda) dan feudal (pesantren) kemudian ikut mempengaruhi kehidupan rakyat yang cenderung paternalistic feudal.

Perjuangan pemuda nusantara yang berpegang teguh pada prinsip non cooperasi terhadap colonial Belanda menjadi symbol idealism dan heroism yang terwujud dalam persatuan seluruh pemuda nusantara tanpa mengenal sekat-sekat agama, etnis/suku, agama, budaya, organisasi untuk berkomitmen terhadap persatuan tanah air, kebangsaan dan bahasa persatuan yaitu Indonesia. Makna yang terekam dalam komitmen bersama Sumpah Pemuda merupakan artikulasi dari spirit manifesto politik 1925 yang dikeluarkan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda yang memiliki prinsip perjuangan unity (persatuan), equality (keseteraan), liberty (kemerdekaan).

Potret perjalanan perjuangan pemuda dalam menumbuhkan kesadaran berbangsa dan berakhir pada pembebasan nasional (1945) penuh dengan dialektika sejarah yang telah mendewasakan pemuda-pemuda untuk berkomitmen dalam mewujudkan kedaulatan politik maupun ekonomi. Meng-integrasikan dalam satu tanah air, bangsa dan bahasa di dasarkan pada kekuatan kepentingan yang sama atas pembebasan nasional bukan karena politik coersi.

Potret Buram Nasionalisme Indonesia
Genap usia 80 tahun sumpah pemuda (1928), akan menjadi momentum bersejarah seluruh rakyat untuk melakukan “tradisi” peringatan. Seperti yang pernah disampaikan Presiden SBY, tahun 2008 merupakan tahun politik menuju konsolidasi demokrasi dan juga tahun terjadinya krisis keuangan global yang berhasil merontokan negara kapitalis. Umur yang tidak muda lagi, tapi apakah spirit persatuan, kesetaraan dan kemerdekaan juga sudah luntur seiring dengan umurnya yang uzur?.

Posisi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari politik global, artinya paham pasar bebas menjadi satu-satunya jalan untuk mengatus sistem ekonomi politik nasional. Kebijakan pro pasar selalu menjadi trend pemerintahan untuk melakukan pembangunan, padahal tidak sedikit negara-negara berkembang mengalami kebangkrutan ekonomi ketika kebijakan pro pasar (pencabutan subsidi rakyat, privatisasi, dll) menjadi iman pembangunan ekonomi politik dengan merusak konstitusi negara ; amandemen UUD 1945.

Legitimasi kebijakan pro pasar muncul ketika wakil rakyat (Legislatif-yudikatif-eksekutif) mengamininya dalam bentuk produk hukum, sebut saja UU BHP, Perpres Tanah 36, UU Migas dan Air, dll. Ibaratnya, pemerintahan saat ini telah menjeratkan leher rakyat Indonesia kepada pihak kapitalis sebagai jaminan akan keberlangsungan kekuasaannya, padahal amanah pasal 33 UUD 45 sudah jelas.

Dalam aspek politik, liberalisasi perilaku elit dan partai politik justru semakin menyebarkan bau busuk. Tiap hari rakyat disajikan dengan perilaku elit korup, degradasi moralitas, dan manipulasi partai dengan selalu mengilusi kesadaran rakyat. Lemahnya pengawasan dan buruknya birokrasi menjadikan hampir semua lembaga negara sebagai sarang para koruptor. Menurut laporan Transparansi Internasional, DPR-Polri-Bea Cukai-Dephub merupakan lembaga terkorup selama tahun 2008.

Pusaran globalisasi menjadi pintu masuk bagi terbukanya paham dan ideology masuk ke dalam ranah kehidupan khususnya kaum muda yang termanifestasi dalam bentuk komunitas atau organisasi. Tempat berhimpun kaum muda terus mengalami peningkatan yang cukup tajam, dari yang hanya bersifat hedonis sampai kepada social politik.

Kemunculan berbagai wadah berkumpul kaum muda, tidak dibarengi dengan penguatan kesadaran nilai-nilai pluralism dan kebangsaan yang sebenarnya menjadi pondasi dari terwujudnya nation state akibatnya kuatnya internalisasi kelompok tersebut menyebabkan arogansi dan sifat chauvinis. Konflik vertical yaitu perseteruan massa FPI dengan massa AKKPB, perkelahian antar pemuda di Manggarai, perkelahian para pelajar, perkelahian mahasiswa YAI dan UKI, ketegangan RUU Pornografi, pencaplokan/klaim budaya nasional oleh negara lain memberikan bukti bahwa ketidakberdayaan apparatus negara dan lemahnya kepemimpinan nasional dalam menjaga dan melestarikan kearifan local sebagai bagian dari fundamen terbentuknya nation state.

Sementara, Otonomi daerah sebagai solusi atas sistem sentralisme otoriter tidaklah berjalan sesuai dengan harapan, saking liarnya mengarah pada negara federal yang tidak sesuai dengan konstitusi negara. Pemekaran daerah yang selama ini terjadi hanya didasari akan kepentingan elit-elit local dalam pengelolaan dan pemanfaatan seluruh potensi yang ada, namun karena lemahnya SDM yang ada justru dijadikan kedok untuk melakukan eksploitasi ataupun korupsi kekayaan daerah.

Perlakuan khusus Aceh dan Papua, justru menjadi persoalan baru yang sangat krusial. Bagaiamana tidak Aceh secara dejure sudah menjadi negara sendiri ( lihat keputusan perundingan Heslinki dan kemudian pendirian partai local). Sementara pemekaran dan otonomi khusus papua juga tidak menyelesaikan persoalan, ketegangan-ketegangan kian menjadi-jadi ketika intervensi pihak luar menuntut akan peninjauan Perpera 1969 dan hak untuk melakukan referendum. Self determination sebagai sebuah hak politik sebuah bangsa harus dihargai sebagai koridor untuk menyelesaikan ketegangan antara pemerintahan pusat dan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan tanpa ada intervensi pihak asing, Timtim adalah buktinya.

Dalam perspektif Ketahanan Nasional, pusaran globalisasi yang tidak mengenal batas waktu dan ruang juga menyempitkan arti akan kewilayahan NKRI. Rapuhnya konsep pertahanan nasional mengakibatkan pada rentannya potensi luar masuk secara liar/pencaplokan ke dalam batas-batas nasional. Peristiwa P.Sipadan & Ligitan, Ambalat, pencurian pasir laut, banyaknya penyeludupan, dan lain sebagainya adalah bukti nyata akan terkikisnya jiwa patriotism aparat negara dan lemahnya nilai-nilai nasionalisme.

Memang ironis, ditengah usia yang tidak muda lagi seharusnya spirit Sumpah Pemuda (1928) semakin menunjukkan kematangannya. Lunturnya spirit Persatuan, Kesetaraan dan Kemerdekaan menyebabkan nation state ini masuk dalam lubang penjajahan modern yaitu Neoliberalisme tidak mengenal batas ruang dan waktu yang justru lebih mengerikan, tidak hanya merusak alam tetapi telah merasuk ke budaya-budaya local sampai pada penyebaran produk-produk makanan yang mengandung virus mematikan.

Falsafah Gotong royong yang menjadi saripati dari nilai-nilai persatuan semakin terabaikan dengan munculnya sifat individualism dan egosentris golongan menjadi ultra-nasionalsme. Fondasi budaya yang mampu mengintegrasikan seluruh komponen bangsa dengan idealism justru telah rusak oleh prilaku-prilaku culas dan korup tanpa di dasari spirit nasionalisme.

Rejuvenasi Spirit Sumpah Pemuda
Kita (dan pemuda sebagai komponen utamanya) merasakan tantangan bangsa kita sedemikian beratnya. Di bidang politik, hubungan antara lembaga negara sering konslet, partai politik masih terbatas pada verbalisasi semata, etika politik masih diterapkan dalam kadar minimal padahal disisi lain ancaman disintegrasi bangsa sedemikian hebatnya. Pada kutub ekonomi, dengan total hutang 850 US$ dan kurs valuta asing yang volatile maka berbuntut pengangguran yang berjumlah 10% (angka konservatif), apalagi ditambah "ribut-ribut" dana DAU sebagai cermin semrawutnya desentralisasi fiscal sebagai amant UU no 22 dan 25 tahun 1999. Di bidang hukum, belum ada kabar yang menyejukkan mata atas upaya pemerintahan saat ini dalam menegakkan hukum, bahkan timbul krisis fundamental konstitusi nasional yang seharusnya sebagai pedoman hukum nasional sejak ke-empat amandemen UUD 1945 tahun 2002.

Peringatan Sumpah Pemuda tidak sekedar simbolisasi perjuangan pemuda dalam menegaskan komitmen perjuangan terhadap pembebasan nasional, akan tetapi memaknai secara substantive nilai-nilai persatuan, kesetaraan dan kemerdekaan nasional yang telah berhasil menyatukan seluruh perjuangan (diplomatic dan bersenjata).

Membangkitkan spirit sumpah pemuda dalam konteks saat ini adalah masih sangat relevan. Fragmentasi pemuda dalam sekat-sekat agama, etnis/suku, budaya maupun organisasi politik yang menguat dengan egosentrisnya yang membatasi diri terhadap realitas social. Sedangkan, globalisasi menurut SOekarno sebagai penjajahan modern pasar bebas telah merusak fundamental budaya, ekonomi, politik dan tentunya geografis. Prilaku elitpun (menjadi kakitangan multinasional corporation) melegitimasi penindasan terhadap rakyat. Sementara bangsa Indonesia yang telah dibangun dengan darah dan perjuangan seluruh komponen bangsa, kemudian telah dirusak Orde baru dengan menggadaikan bangsa dengan jaminan kekayaan alam dan rakyat. Fundamen bangsa yang dibangun dari hutang luar negri lambat laun akan merapuhkan fundamen ekonomi, politik, budaya dan tentunya ketahanan nasional.

Sumpah Pemuda harus dimaknai kembali dengan nilai-nilai baru (rejuvenasi) sehingga akan mengkontekstualisasikan diri dalam makna pembebasan nasional sejati. Pertama menegaskan kembali makna persatuan sebagai nation state yaitu NKRI. Kalau pada waktu kemerdekaan NKRI disatukan dengan senjata dan paksaan, tetapi saat ini dalam batas geopolitik internasional Indonesia memiliki peran yang strategi harus memiliki kesadaran untuk membentuk kembali NKRI yang didasari atas keadilan social dan persatuan nasional.

Sumpah Pemuda yang berisikan tekad bersama untuk mengaku sebagai satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa harus di rejuvenasi menjadi tekad bersama satu tanah air yang mensejahterakan rakyatnya untuk mempergunakan tanah dan air tidak hanya pada elit politik dan ekonomi tertentu, satu bangsa yang senasip sepenanggungan dan bertekad anti korupsi, kolusi dan nepotisme dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa anti kekerasan, anti kemunafikan dan anti ketidak-adilan.

Kedua menegaskan kesetaraan akan keberadaan wilayah, status, maupun pemerataan pembangunan nasional. Ketiga menegaskan pada makna kemerdekaan sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka dari intervensi modal asing maupun kakitangannya. Keempat menegaskan kembali pada keberadaan konstitusi nasional pada UUD 1945 sebagai fundamental pembangunan nasional. Keempat penegasan sumpah pemuda ini harus dimaknai terus sebagai kekuatan yang menjadikan nation state tetap ada dan tentunya adalah kedaulatan secara politik dan kemandirian secara ekonomi adalah keniscayaan sejarah yang membuat kuat bargain position diantara negara-negara maju. Jawabannya adalah 10 pemuda yang diharapkan Soekarno untuk merubah dunia, apakah sudah hadir dalam perjuangan global ini? kita lihat nanti…..

Minggu, 19 Oktober 2008

Rekontruksi Fundamentalisme Ekonomi Kerakyatan untuk Kepentingan Nasional

Krisis keuangan global Amerika, bermula dari krisis kredit macet perumahan KPR (subprime mortgage) terjadi pada pertengahan Juli 2007, kepada para debitor menengah bawah yang hidupnya sangat bergantung pada pendapatan tetap yang pas-pasan. Ketika inflasi membengkak, mereka tidak bisa lagi mampu membayar bunga dan cicilan pokok. Pemotongan suku bunga secara marathon, peluncuran paket stimulus ekonomi, injeksi likuiditas ke sistem financial merupakan upaya untuk melakukan peredaman dalam rangka mencegah resesi ekonomi AS dan meredam kepanikan pasar financial. Namun, justru krisis tersebut meluas ke sistem perbankan, sektor perekonomian yang dapat berpotensi memicu resesi ekonomi dan krisis financial global yang lebih luas.

Kehancuran Wall Street menunjukkan bahwa ekonomi pasar bebas yang di pegang teguh tidak mampu meningkatkan dan mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang sudah dicapai. Kehancuran Wall Street justru bukti dari kegagalan kapitalisme “pasar bebas” yang telah menjadi paham ekonomi hampir seluruh belahan dunia.

Namun, seluruh kebijakan peredaman gejolak krisis keuangan global sebut saja bail out sebesar USD 700 miliar, pemotongan suku bunga secara marathon, peluncuran paket stimulus ekonomi dan injeksi likuiditas sistem financial dan lain-lain merupakan fakta dari ketidakkonsistenan kapitalisme “pasar bebas”. Atas nama Negara, pajak rakyat digunakan untuk men-subsidi para hedge fund dan para spekulan yang selama ini hidupnya bergelimangan kekayaan.

Keprihatinan pada pasar bebas dan persaingan sempurna menemukan momentumnya ketika beberapa negara di Asia dilanda krisis moneter (1997). Krisis moneter ini menyadarkan kita dari "mimpi" Adam Smith bahwa teori pasar bebas berdasar freedom of private initiative dan globalisasi sesungguhnya tidak bekerja untuk menciptakan stabilitas ekonomi global. Sebaliknya, kebijakan globalisasi cenderung menjadi momok bagi negara berkembang. Ideologi Laissez Faire sedang menampilkan wujud aslinya sebagai incapable market, penuh market failures. Pasar penuh kegagalan-kegagalan , terutama dalam mengatasi ketimpangan- ketim­pangan structural.

Perekonomian Indonesia tidak bisa dilepaskan dari percaturan perekonomian global. Belum surutnya penanganan dampak krisis moneter 97-98 yang pernah menghancurkan perekonomian nasional. Kini krisis keuangan global AS telah merangsek ke sendi-sendi perekonomian nasional. Kuatnya arus krisis keuangan global, justru ikut berpengaruh terhadap goyahnya pasar bursa saham nasional yang menjatuhkan nilai bursa perdagangan IHSG mencapai 10,38 % (8/10), menurunkan rupiah (mencapai Rp. 10.120/dollar), instabilitas iklim investasi, menurunkan tingkat ekspor, angka pengangguran yang meningkat, daya beli menurun dan lain-lain. Kuatnya turbulensi krisis keuangan global secara pasti dapat menghancurkan industrialisasi nasional yang sedang giat-giatnya tumbuh sejak krisis moneter 98.

Energi nasional saat ini memang tercurahkan untuk mengantisipasi gejolak krisis keuangan global agar tidak meluas ke sektor lain. Berbagai upaya untuk melakukan “peredaman” 10 langkah pemerintahan, penerbitan Perpu Jaminan Nasabah Bank, kucuran buy back saham BUMN sebesar Rp. 4 trilliun merupakan wujud dari kepanikan-kepanikan elit saat ini. Kebijakan-kebijakan tersebut dan cenderung pragmatis (baca : pendekatan neolib) tidak mampu memutus mata rantai agar supaya keluar dari krisis keuangan global, tetapi justru menjadi “bom waktu” penderitaan rakyat. Memprioritaskan pada sektor portofolio daripada sektor riil membuktikan bahwa prioritas penyelamatan ekonomi nasional memiliki kecenderungan jalan ditempat dan bukan untuk kepentingan rakyat. Pengalaman krisis 98 menjelaskan bahwa sektor riil mampu bertahan dan berhasil menopang perekonomian nasional ditengah gempuran krisis. Pertanyaan besar muncul, seberapa kuat pemerintahan dapat menahan gempuran krisis keuangan global? Kapan dapat diakhrinya krisis keuangan global?

Banyak perspektif pendekatan yang berbeda dalam rangka membawa rakyat Indonesia keluar dari jebakan ekonomi neoliberal. Pertama adalah pemerintahan secara gentlemen mengakui ekonomi pasar bebas (neoliberal) tidak sesuai dengan kepentingan nasional bangsa. Kedua kebijakannya harus mampu menguatkan industri dalam negeri, artinya bahwa ditengah harga BBM dunia yang terus anjlok, seharusnya pemerintahan berkomitmen untuk berani menurunkan harga BBM nasional karena BBM merupakan energi penggerak industrialisasi nasional. Jika harga BBM turun maka sektor riil bergerak, harga-harga pangan juga akan turun, inflasi turun dan BI tidak harus menaikkan BI rate yang merugikan sektor riil. Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan pangan, energi, dan sandang dalam rangka kemandirian ekonomi sehingga tidak tergantung pada negara lain.

Seharusnya, krisis keuangan global harus dijadikan momentum oleh pemerintahan SBY-Kalla untuk mengintropeksi semua kebijakan ekonomi neoliberal yang justru merusak sendi-sendi ekonomi rakyat. Kebijakan anti rakyat justru telah menjerumuskan pemerintahan pada lubang krisis yang berkepanjangan sejak 98. Momentum untuk membangkitkan dan menguatkan industrialisasi nasional ditengah gagalnya ideology Laissez Faire dengan meneguhkan kembali spirit Pasal 33 UUD 45. Peneguhan ini dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan social sehingga blue print pembangunan nasional berpegang teguh pada hajat hidup orang banyak harus menjadi keniscayaan sejarah. Peranan Pemerintah sebagai lead mind set Ekonomi Kerakyatan, agar supaya perubahan menuju perbaikan dapat lebih terbuka segera terjadi dalam kerangka prinsip Keadilan demi Persatuan.

Ekonomi kerakyatan yang bermodalkan pada prinsip keadilan harus selalu digelorakan menjadi spirit bersama dalam mencari jalan keluar dari krisis keuangan global. Langkah yang paling konkrit adalah mengembalikan spirit nasionalisasi asset-aset strategis dan perusahan-perusahan asing yang tidak memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan rakyat, hampir 10 tahun ini telah di obral secara murah kepada pihak asing harus menjadi keniscayaan sejarah bahwa kemandirian dan kedaulatan ekonomi politik rakyat harus menjadi roh perjuangan nasional yaitu pembebasan nasional dari eksploitasi dan penindasan. Menguatkan dan mengamankan industri nasional dalam rangka untuk menggerakkan perekonomian nasional dari gempuran krisis keuangan global menjadi bukti dari keperpihakan pemerintahan pada kepentingan nasional. Ketahanan perekonomian nasional harus mampu menopang kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat sehingga ketahanan perekonomian selalu berkorelasi terhadap kemandirian dan kedaulatan bangsa.

Minggu, 12 Oktober 2008

Krisis Ekonomi Global = Kegagalan Kapitalis Pasar Bebas

Jatuhnya perusahaan financial di bursa saham Wall Street penopang ekonomi AS, membawa pengaruh besar terhadap perekonomian dunia. Nama-nama besar seperti Lehman Brothers, American International Group, JP Morgan’s, Merril Lynch, Goldman Sach dll sudah mengibarkan bendera putih. Simbol-simbol kekuasaan ekonomi kapitalis yang menerapkan ekonomi pasar bebas justru tidak berdaya menghadapi gempuran krisis ekonomi global yang terus merangsek ke sendi-sendi ekonomi. Kondisi ekonomi AS saat ini ditandai dengan inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, angka pengangguran yang melonjak, serta deficit budget dan deficit neraca pembayaran yang terus membengkak.

Keguncangan Wall Street bermula dari krisis subprime mortgage loan, yakni kredit pemilikan rumah (KPR) kepada para debitor menengah bawah yang hidupnya sangat bergantung pada pendapatan tetap yang pas-pasan. Ketika inflasi membengkak, mereka tidak bisa lagi mampu membayar bunga dan cicilan pokok.

Situasi yang sudah dimulai sejak sekitar lima tahun silam itu akhirnya meledak pertengahan 2007. Nilai surat berharga dengan underlying asset subprime mortgage merosot tajam, sehingga tidak bisa dijual pada harga wajar. Dalam kenyataan, nilai pasar yang wajar sulit diketahui karena banyak dan bervariasinya derivasi dari surat berharga dengan basis subprime mortgage. Total kerugian investasi di subprime mortgage mencapai lebih dari US$ 800 miliar, bahkan ada yang memperkirakan jauh di atas US$ 1 triliun.

Perkiraan bahwa krisis subprime mortgage segera berakhir tidak terbukti. Satu demi satu, perusahaan finansial mengumumkan kerugian akibat investasi di berbagai derivasi subprime mortgage yang bernilai triliunan dolar AS. Ketika harga subprime mortgage ambruk, utang melonjak tajam, jauh melebihi aset. Kerugian itulah yang kini harus ditolong oleh semua pembayar pajak, termasuk mereka yang selama ini tergolong hidup susah. Sekitar lima tahun terakhir, ekonomi AS sesungguhnya tidak lagi sehat. Daya beli masyarakat menengah bawah relatif tetap, bahkan sebagian mengalami penurunan berujung pada stagnansi yang berkelanjutan.

Masalahnya, jika krisis ekonomi yang melanda AS ini berlangsung dalam waktu yang lama, pengaruhnya sungguh akan sangat besar bagi stabilitas ekonomi-politik dunia. Pertama, sektor keuangan saat ini merupakan sektor yang paling tersebar dan paling terkait secara global. Krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis di sektor finansial, dengan sendirinya menghela ekonomi negara lain ke jalur krisis; kedua, konsumsi AS adalah yang terbesar di dunia dan menjadi sumber utama permintaan ekonomi dunia. Jatuhnya tingkat konsumsi di AS, sangat jelas membuat pertumbuhan ekonomi dunia melambat yang itu berarti, AS mengekspor krisis internalnya ke seluruh dunia; dan ketiga, sebagaimana dikemukakan John Bellamy Foster, seiring meningkatnya finansialisasi ekonomi dunia adalah kian mendalamnya penetrasi kekuasaan imperial terhadap negara-negara dengan kondisi ekonomi sedang berkembang (underdeveloped). Tujuan dari penetrasi ini, menurut William I. Robinson adalah untuk menghancurkan otonomi para aktor nasional dan selanjutnya menstrukturkan serta mengintegrasikan mereka ke dalam jaringan transnasional yang lebih luas.

Penetrasi yang digerakkan melalui kebijakan globalisasi-neoliberal tersebut, menyebabkan negara-negara yang sebelumnya telah tergantung pada investasi asing kian tergantung padanya (khususnya investasi portofolio) dan keharusan untuk membayar utang kepada kapital internasional. Hasilnya adalah sebuah lingkaran setan; negara-negara berkembang yang mengikuti resep globalisasi-neoliberal, “fundamental ekonominya” membaik menurut kriteria sektor finansial tapi, bersamaan dengannya tingkat suku bunga meningkat, terjadi penghancuran industri (deindustrialization), pertumbuhan ekonomi rendah, dan kian mudahnya ekonomi negara tersebut diserang krisis akibat pergerakan cepat keuangan global.

Gambaran diatas menjelaskan bahwa, Amerika yang selalu menagung-agungkan ekonomi Pasar bebas yang melahirkan efisiensi ekonomi maksimal melalui “invisible hand” atas prinsip supply and demand justru telah menggali lubang kuburnya sendiri.


Indonesia dalam Arus Utama Ekonomi Global
Ekonomi Indonesia tidak terlepas dari krisis keuangan AS ini. Modal dan transaksi ekonomi dengan AS cukup aktif hidup dalam perekonomian Indonesia. Sebagai salah satu contohnya, Lehman Brothers, yang utangnya mencapai USD 600 miliar, menyatakan diri bangkrut. Bukan rahasia lagi, Lehman Brothers banyak berinvestasi di perusahaan-perusahaan besar Indonesia. Akibat langsung kita saksikan, saham-saham perusahaan-perusahaan Indonesia yang terkait dengan Lehman Brothers anjlok jauh di atas rata-rata anjloknya saham-saham di Indonesia.

Dengan pola seperti ini, bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan yang dijalankannya tidaklah membuahkan kemajuan dan kebebasan tapi, pembangunan yang menghasilkan keterbelakangan dan ketertindasan.

Bahkan dalam sejarah Indonesia, baru pertama kali perdagangan bursa saham di tutup pada awal pembukaan saham (8/10) karena dalam perdagangan saham IHSG anjlok mencapai 10,38%. Anjloknya saham IHSG karena tidak di dukung dengan transaksi yang memadai.

Kepanikan justru terjadi dimana-mana, mulai dari perdagangan saham, perbankan, industry dan tentunya adalah masyarakat luas. Walaupun tidak terkena dampak secara langsung, akan tetapi aura krisis keuangan global justru telah meresahkan seluruh komponen bangsa. Bahkan pemerintahan dalam hal ini telah melakukan intervensi dengan melakukan 10 langkah penangan perekonomian nasional. Bahkan menurut beberapa sumber ketiga pilar ekonom nasional ( Menkeu, BI dan Bappenas) sedang getol-getolnya mencari dana talangan untuk mengatasi dampak krisis keuangan di dalam negeri. Alhasilnya adalah nihil, karena beberapa lembaga donor internasional juga mengalami keterbatasan financial dan banyak aspek lainnya.
Langkah-langkah SBY, justru tidak focus dan cenderung reaksioner. pertama adalah buy back sejumlah BUMN, artinya adalah pembelian beberapa saham BUMN dengan maksud untuk menguatkan kepemilikan saham nasional justru tidak berfungsi secara maksimal dalam mengatasi krisis keuangan global, bahkan dana sebesar Rp. 4 triliun ini adalah merupakan subsidi pemerintahan terhadap BUMN untuk mengamankan BUMN yang bersangkutan dalam menghadapi krisis keuangan global. Kedua, sektor real harus bergerak. Dalam kacamata saya, Indonesia yang luas dengan berbagai aspek geografisnya harus focus pada sektor real apa? Memang betul bahwa sejarah 97-98 ketika Indonesia yang sedang mengalami krisis ekonomi justru yang pertama kali mampu menggerakkan perekonomian nasional adalah sektor real khususnya perdagangan (UKM) dan pertanian.
Apa yang sebenarnya menjadi pokok jalan keluar yang cepat dalam mengatasi krisis keuangan global, pertama adalah menyediakan dan menstabilkan pasar pangan nasional. Produksi pangan nasional harus dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Kedua adalah persediaan energy nasional yang dapat menggerakkan industrialisasi nasional. Ditengah-tengah harga bbm internasional yang memiliki kecenderungan menurun, pemerintahan SBY harus berani menurunkan harga BBM baik industry maupun subsidi. Hal ini dilakukan adalah bahwa industry-industri dan masyarakat tetap bertahan dan mampu menggerakkan industry mereka dan kemudian dapat menopang perekonomian nasional. Ketiga, komitmen dan keseriurasan pemerintahan SBY harus di buktikan dengan melakukan penyitaan harta hasil kejahatan korupsi para pelaku korupsi yang sekarang ini masih menghirup udara bebas. Korupsi BI, BLBI, Illegal Logging dan lain sebagainya yang berada di lingkarang istana, DPR, Departemen-departemen, pemerintahan daerah dan lain-lain. Langkah ini tentunya harus dilaksanakan secara tegas tanpa ada politik tebang pilih.

Rabu, 24 September 2008

Tanggung Jawab Negeri Penghasil Karbon Dalam Bencana Badai Karibia

Oleh : Pius Ginting[1]
Tiga badai berkekuatan besar silih berganti menerpa kawasan Karibia. Setelah badai Gustav, disusul badai Hanna, dan terakhir Ike. Badai tersebut telah menyebabkan kerusakan yang parah dan luas di kawasan Karibia. Sudah banyak kajian mengungkapkan dampak perubahan iklim dengan menguatnya energi badai. Salah satunya Dr James Hansen dari NASA, berkesimpulan bahwa pemanasan global memberi sumbangan terhadap membesarnya energi badai. Badai yang menerpa negeri-negeri di Kawasan Karibia adalah bukti yang mencolok tentang ketidakadilan iklim dan ketidakadilan ekologi. Amerika Serikat adalah negara yang paling tinggi akumulasi karbondioksida di atmosfirsaat ini. Sementara itu, negeri-negeri di Karibia adalah penyumbang karbon terkecil. Bahkan berdasarkan penelitian WWF yang dipublikasikan pada tahun 2007,Kuba salah satu negeri di kawasan tersebut menjadi negara dengan ecological footprint terendah. Menggunakan ukuran jejak ekologis tersebut, berarti Kuba adalah negeri yang paling sedikit mengkonsumsi sumber daya alam namun mampu mencapai standar kesehatan, pendidikan dan usia harapan hidup yang baik. Namun dalam kejadian terpaan badai beruntun ini, negeri-negeri Karibia tersebut mengalami dampak parah, dimanaHaiti mengalami korban jiwa paling banyak.
Kesiapan menghadapi bencana
Bencana berkekuatan sama menghasilkan efek yang berbeda di negeri yang dilewati oleh badai tersebut. Presiden Timor Leste yang kebetulan berada di Havana, Kuba saat badai Ike menerpa menyatakan badai tersebut akan menewaskan ratusan orang bila terjadi di negeri lain. Ketika Badai Katrina menyapu New Orleans yang mengakibatka banyak korban jiwa, Amerika Serikat pada tahun 2005, media St Petersburg Times (9/9/205) menurunkantulisan berjudul “Can we learn from Cuba’s lesson?”, mengacu kepada pengalaman Kuba mengantisipasi badai Ivan dengan kecepatan 160 km/jam tahun 2004, dimana dua juta orang dievakuasi. Alhasil, tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Hal tersebut hanya bisa terjadi bila ada perhatian serius dari pemerintah untuk melakukan mitigas bencana dan adanya budaya kerjasama antar rakyat. Budaya kerjasama dan solidaritas antar sesama masyarakat Kuba adalah faktor utama, dan sikap tersebut juga tercermindalam pergaulan internasional Kuba dengan pengiriman misi sosial, khususnya tenaga medis, ke negara dunia ketiga yang membutuhkan mana kala tertimpa bencana.
Tanggung jawab negeri-negeri penghasil karbon terbanyak
Negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia sebagai penghasil karbon terbanyak adalah yang paling bertanggung-jawab atas bencana yang penyebabnya tidak terlepas dari campur tangan manusia ini. Sudah selayaknya negeri-negeri tersebut memberikan bantuan yang signifikan sebagai bagian dari pembayaran hutang ekologinya terhadap negara dunia ketiga seperti Kuba, Haiti dan negeri lainnya di Karibia yang mengalami bencana tersebut. Pemerintahan Kuba melalui kementerian luar negerinya telah meminta kepada pemerintahan Amerika Serikat bahwa jika A.S sungguh ingin berkerjasama dengan rakyat Kuba dalam menghadapi tragedi bencana, maka A.S diminta mencabut embargo ekonomi, dengan demikian memperbolehkan penjualan barang-barang kebutuhan yang penting bagi Kuba, dan mencabut pembatasan yang melarang perusahaan-perusahaan A.S memberikan kredit komersial bagi Kuba yang akan diperuntukkan untuk memberi bahan makanan dari Amerika Serikat. Namun pemerintahan Bush menolak untuk mencabutembargo tersebut. Indonesia sebagai negeri yang pernah menerima bantuan kemanusiaan berupa tenaga medis ketika bencana gempa Jogyakarta terjadi, yang dalam pendiriannya terakhir di PBB juga menentang embargo ekonomi A.S terhadap Kuba, perlu menyuarakan kembali sikap tersebut di saat negeri di kawasan Karibia tengah mengalami bencana. ________________________________
[1]Staf Eksekutif Nasional WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)

Senin, 22 September 2008

Ambil Alih Perusahaan Batubara pengemplang Royalti Negara

Buruknya pengurusan sektor pertambangan khususnya tambang batubara membuat negara ini tersandera oleh kuatnya dominasi corporate asing yang tidak memiliki integritas terhadap kedaulatan ekonomi politik Indonesia. sumber daya energy ini menjadi komoditas dagang yang sejak lama merugikan Negara_dengan berbagai cara. Itu ditunjukkan tarik ulur dan kurang tegasnya pemerintah memaksa perusahaan tambang membayar tunggakan royalty sebesar 13,5 % dari total produksi per tahun hingga 7 tahun lebih, sehingga Negara dirugikan sekitar 16,4 Triliun. Indonesia, sang pemilik batubara terkesan tak berdaya dengan ulah pengusaha penyandera tunggakan. Sudah terlalu banyak kemewahan diberikan negara ini terhadap pelaku pertambangan asing. Salah satunya perlakuan Lex Spesialis, yang disebut-sebut perusahaan tercantum dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), yang ditandatangani bersama pemerintah Indonesia.

Perusahaan tambang melakukan pengemplangan royalty kepada Negara adalah : PT Kideco Jaya Agung Rp 448,091 miliar dan USD 30,513 juta; PT Kaltim Prima Coal USD 115,628 juta; PT Kendilo Coal Indonesia USD 6,642 juta; PT Arutmin Indonesia USD 68,601 juta; PT Berau Coal Rp 284,275 miliar dan USD 23,816 juta; dan PT Adaro Indonesia Rp 131,703 miliar dan USD 85,001 juta. Keenam perusahaan telah menangguk keuntungan luar biasa karena menguasai 60 persen lebih produksi batubara Indonesia, yang sebagian besar diekspor. Tahun lalu, produksi batubara mencapai 207,5 juta ton. Belum lagi windfall profit dalam tujuh tahun terakhir bersama naiknya harga batubara dunia. Bisa dibayangkan berapa tambahan keuntungan yang mereka raup, jika tahun 2006 harga batubara mencapai USD 50 per ton, tahun ini mencapai USD 120 per ton.

Dalam aspek regulasi Presiden SBY harus bertanggungjawab – yang saat itu menjabat Menteri Pertambangan dan Energi di masa presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengeluarkan PP No 144 tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan NIlai yang merugikan negara di sektor pertambangan. Meliputi minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batubara, bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit. PP ini jelas menguntungkan pebisnis dan negara tujuan ekspor, karena pembelian bahan-bahan tambang - yang tidak terbarukan ini menjadi bebas pajak, apalagi Indonesia mengekspor sebagian besar dalam bentuk bahan mentah. Ironisnya PP yang secara jelas merugikan Negara, selama 7 tahun dibiarkan oleh angen kaum modal asing yaitu menteri ESDM- Purnomo Yusgiantoro

Sudah jelas bahwa, kuatnya corporate asing dalam melakukan eksploitasi kekayaan alam maupun rakyatnya telah di legitimasi dengan rapuhnya integritas pejabat Negara yang menjadi kakitangan/antek-antek perusahaan asing. Watak feudal dan konservatif yang direpresentasikan oleh Pemerintahan SBY-JK dan Purnomo Yusgiantoro (Menteri ESDM) merupakan hambatan bagi terwujudnya kemandirian secara ekonomi dan kedaulatan secara politik, artinya bahwa kehendak untuk memerdekakan seluruh rakyat tidak akan terwujud ketika kakitangan imperialis asing masih kuat mendominasi seluruh sektor rakyat. maka sudah saatnya mengembalikan kedaulatan Negara untuk mengurus industry pertambangan untuk hajat hidup seluruh rakyat.

Kooptasi Modal Asing dan Kebijakan Energi Nasional

Minyak atau gas adalah komoditas strategis yang digunakan semua orang, langsung atau tidak langsung. Sadar atau tidak, penggunaan minyak masih mendominasi kehidupan manusia di dunia. Konsumsi energi dunia yang masih bersandar pada energi fosil (minyak bumi, gas, batubara) akan sangat berpengaruh pada pola konsumsi sebuah negara. Eksploitasi energi fosil yang tidak dipertimbangkan pasokan alternatifnya menyebabkan energi fosil makin menipis. Sementara konsumsi energi yang begitu besar seiring dengan percepatan proses industrialisasi di kawasan Barat maupun di Asia khususnya Cina dan India menyebabkan pasokan energi juga mengalami keterbatasan (baca : krisis).
Dalam hal kinerja umum, indikasi dari tidak optimalnya pengelolaan industri migas nasional salah satunya ditunjukkan dengan produksi dan cadangan migas yang kecenderungannya terus menurun, sementara cost recovery meningkat. Produksi migas sangat menentukan penerimaan negara dan cadangan migas sangat menentukan ketahanan supply migas negara. Implikasinya penerimaan negara dari sektor migas berkurang dan ketersediaan supply migas nasional makin mengkhawatirkan. Kebijakan yang selama ini ditempuh pemerintah untuk meningkatkan produksi dan cadangan adalah dengan memberikan insentif-insentif dalam pengusahaan migas kepada kontraktor bagi hasil/KPS (sekarang istilahnya adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama, KKKS). Sekarang Indonesia cenderung kian ‘bermurah hati’ memberikan insentif-insentif yang semakin besar dan longgar bagi para kontraktor migas internasional. Mulai yang terkait aspek finansial saja (CR, perubahan pola bagi hasil, investment credit, pajak, DMO fee), hingga dengan aspek jaminan ketahanan migas nasional (DMO holiday, DMO fee). Di satu sisi hal itu merupakan daya tarik bagi investasi, namun disisi lain hal itu mencerminkan bargaining position dan sikap politik pemerintah Indonesia semakin hari terlihat semakin menurun. Berbagai insentif yang diberikan tersebut ternyata kecenderungannya tidak selalu berkorelasi positif terhadap hasil yang diharapkan (produksi dan cadangan tidak semakin meningkat dengan peningkatan insentif yang diberikan).
Beberapa implikasi dan konsekuensi yang ditimbulkan dari berbagai insentif tersebut justru cenderung negatif, diantaranya: pertama, DMO Holiday menyebabkan ketergantungan Indonesia terhadap minyak impor semakin besar (ketahanan energi, sebagai aspek terpenting, menjadi rentan). Kedua, Pengubahan DMO Fee menyebabkan Indonesia harus membeli minyaknya sendiri dari pasar internasional dengan harga lebih mahal. Implikasinya, biaya produksi dan pengadaan BBM dalam negeri juga menjadi lebih tinggi, harga BBM untuk rakyat relatif menjadi lebih mahal. Ketiga, Cost Recovery sejak 2001 hingga kini terus meningkat,mengurangi porsi pemerintah dalam bagi hasil. Data Panja Anggaran DPR 2007 menunjukkan bahwa cost recovery diperkirakan mencapai Rp. 93,2 triliun, sehingga penerimaan Migas di APBN 2007 diperkirakan hanya 46,3% (Rp. 148,2 triliun) saja dari total pendapatan kotor migas yang mencapai Rp. 320,4 triliun. Keempat, Pengubahan porsi bagi hasil pemerintah yang semakin lama semakin kecil menyebabkan semakin banyak sumber daya migas Indonesia ibaratnya secara ‘ijon’ telah dikuasai pihak asing_merugikan kepentingan generasi mendatang.
Ketahanan supply migas yang semakin bergantung pada impor dan digunakannya acuan harga internasional untuk BBM dalam negeri adalah beberapa diantaranya. Harga minyak dunia, yang notabene sangat dipengaruhi oleh perilaku ekonomi-politik perusahaan-perusahaan minyak dunia yang besar (yang juga mendominasi produksi migas Indonesia) justru terlihat menjadi driving faktor lebih berpengaruh terhadap pergerakan produksi minyak Indonesia. Dengan kata lain, pemerintah sebaiknya mewaspadai kemungkinan konspirasi global akan hal ini, sehingga tidak serta merta menggunakan insentif sebagai instrumen untuk memacu peningkatan produksi dan cadangan migas nasional.
Kebijakan energi nasional semacam ini, tentunya bukan hal yang baru, sejak pemerintahan Orde baru sudah dilakukan. Tragisnya, ketika Pemerintahan Megawati Soekarno Putri menerbiktan UU Migas No. 22 Tahun 2001 sebagai pintu masuk atas liberalisasi industri Migas Nasional yang bertentangan dengan UUD 45 khususnya pasal 33. Keluarnya UU No. 22/2001 tentang Migas semakin mengukuhkan cengkeraman korporasi asing atas kekayaan Migas Indonesia dan tentunya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004 juga menjadi alat pencengkeraman abadi oleh asing terhadap kekayaan Migas Indonesia. Faktanya adalah hampir 90% Industri migas nasional telah dikuasai oleh corporate asing (Exxon,cevron, BP dll) dan hal yang wajar terhadap bargain position pemerintahan yang lemah. Hukum perminyakan nasional- bahkan hukum ekonomi Indonesia memakai doktrin ekonomi liberal yang mengajarkan negera tidak boleh campur tangan dalam ekonomi. Semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Jantung fenomena kultur market global merupakan kenyataan bahwa dominasi pasar global adalah nafsu keserakahan yang tak peduli dengan humanism.
Kerja keras DPR dengan Hak angket BBM menjadi pintu masuk untuk membongkar kebijakan energi nasional yang selama ini tidak menguntungkan Negara. Harapan ini antara lain untuk melakukan pembenahan kebijakan energi nasional, penilaian ulang tentang efektifitas bentuk Kontrak Kerjasama Migas, Pembongkaran praktek mafia perdagangan Migas, Transparancy Cost recovery dan Peningkatan efisiensi pengadaan BBM. Bahkan diharapkan dapat mengungkap persoalan sejenis di sektor-sektor lain yang masih dihinggapi virus manipulasi dan inefisiensi. Namun, sejauh ini justru Pansus Hak Angket BBM belum secara signifikan mampu membongkar seluruh kejahatan kebijakan energi nasional, bahkan ada kecenderungan sudah terkooptasi oleh dominannya mafia perminyakan yang secara leluasa memainkan seluruh kebijakan energi nasional.
Praktek mafia energi nasional tidak hanya mendominasi impor minyak mentah dan BBM akan tetapi menguasai jalur distribusi minyak yang berdampak pada membengkaknya anggaran yang harus dikeluarkan negara, dimana ditaksir inefisiensi akibat praktek mafia ini mencapai US$ 2,1 miliar per tahun. Rantai kejahatan yang dilakukan actor-aktor energi yang tidak memiliki integritas nasional menjadi ancaman keutuhan Negara bangsa. Actor-aktor energi ini tentunya tidak berjalan sendiri akan tetapi menjadi bagian integral dari stakeholder yang menjadi kakitangan kaum pemodal asing. Kebijakan energi nasional yang salah urus ini adalah merupakan bagian dari potret kepemimpinan nasional yang sampai sekarang belum mampu membawa keluar rakyat Indonesia dari krisis multidimensi. Bahkan rakyat selalu dikorbankan atasnama Negara demi keuntungan kelompoknya

Gerakan Kiri dan Garis Politik Parlementaris

Geliat pesta demokrasi 2009 semakin riuh rendah seiring dengan dimulainya proses kampanye terlama sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia. Kampanye tersebut dimanfaatkan oleh 34 Partai Politik (nantinya akan ditambah 4 partai politik yang memenangkan gugatan di PTUN) dan 6 partai politik local di Atjeh untuk meraih simpatik rakyat dengan berbagai janji maupun program-programnya.

Satu decade pasca reformasi yang sudah berhasil menjalankan dua pemilu secara demokrasi, harusnya nilai-nilai demokrasi secara substansial semakin meluas dengan bangunan ideology politik yang kuat. Namun dalam ranah politik real justru ketiadaan ideology politik yang jelas dari 43 partai politik peserta pemilu 2009 memberikan gambaran bahwa ada proses kegagalan dalam membangun proses politik dan demokrasi saat ini. Partai politik justru hanya dijadikan alat untuk merebut kekuasaan pragmatis yang kemudian hanya melakukan praktek-praktek culas dan korup seperti yang terlihat saat ini.

Berbicara soal ideology politik, yang menarik untuk disimak adalah munculnya fenomena gerakan-gerakan kiri yang mencoba berebut keuntungan sebagai peserta pemilu 2009. Gerakan kiri (baca : oposisi Orde Baru) yang di representasikan PRD (Partai Rakyat Demokratik) melihat bahwa panggung kekuasaan parlemen merupakan pintu masuk dalam melakukan perubahan yang fundamental. namun sejak kekalahan pemilu 1999 nama PRD kemudian kembali mewarnai panggung-panggung politik ekstraparlemen sebagai basis kekuatannya untuk melakukan tekanan politik terhadap pemerintahan.

Pada Pemilu 2004, kembali PRD berganti baju dengan POPOR untuk ikut dalam panggung politik borjuasi dan sekali lagi, begitu kuatnya arus kekuasaan politik orde baru sehingga POPOR gagal sebagai peserta pemilu. PRD yang sejak reformasi mau berkiprah dalam panggung politik borjuasi terus menemukan tembok-tembok kekuasaan yang anti terhadap demokrasi.

Memasuki pemilu 2009, kembali PRD dengan baju barunya (PAPERNAS) juga membangun kekuatan politik parlementaris juga mendapat hambatan dari kelompok status quo sehingga keberadaan PAPERNAS yang mengusung program Tri Panji yaitu : nasionalisasi perusahaan tambang, hapus utang luar negeri, dan bangun industry nasional untuk kesejahteraan rakyat menjadi momok bagi kelompok fundamental kanan. Dalam program strategis Tri Panji inilah sejatinya menjadi jalan keluar rakyat Indonesia untuk hidup lebih baik.

Dorongan garis politik parlementaris Papernas tidak berhenti disitu, dengan membangun blok kekuatan demokratis dalam melakukan perlawanan terhadap oligarki partai politik besar dengan partai-partai politik yang tidak memenuhi electoral threshold mencoba untuk melakukan konsolidasi namun karena bangunan konsolidasi tidak didasarkan pada aspek ideologis, tidak bertahan sampai sekarang. Bangunan blok baru ini adalah dalam rangka untuk mengkritisi UU pemilu yang justru menjadi alat politik partai politik besar untuk menyederhanakan (baca: meniadakan partai kecil) peserta pemilu. Sekali lagi, bangunan blok politik tersebut tidak berumur panjang karena UU Pemilu masih berpihak pada partai-partai gurem. Kemudian langkah Papernas sebagai kekuatan alternative untuk menuju politik parlementaris 2009 semakin tertutup rapat. Memang politik borjuasi dalam siklus 5 tahunan masih tidak berpihak pada kekuatan gerakan kiri.


Berebut Keuntungan menuju Politik Parlementaris

Kegagalan demi kegagalan untuk meraup keuntungan politik parlementaris tidak menyurutkan kader-kader Papernas untuk menjalankan politik organisasinya. Hampir seluruh kader Papernas baik yang ada di pusat maupun daerah berebut kursi caleg tidak hanya di PBR (Partai Bintang Reformasi) tapi di PDIP, PKB, dan sejumlah partai lainnya. Politik diaspora gerakan kiri dalam kerangka masuk politik parlementaris justru dimanfaatkan oleh kader-kader PRD untuk meluaskan program-program perjuangan yang selama ini terbentur sistem. Jalan ini merupakan salah satu jalan strategis ketika alat politik PRD baik POPOR maupun PAPERNAS selalu terhambat oleh kekuatan yang anti demokrasi.

Virus pencaleg-an yang melanda aktifis kiri dalam rangka berebut kursi politik parlementaris menjadi seksis saat ini. Apalagi representasinya adalah Papernas, yang mayoritas kadernya mengisi kekosongan kursi caleg di PBR. Fenomena ini perlu disimak karena dua partai politik ini sangat berbeda, Papernas sebagai kekuatan gerakan kiri sementara PBR merupakan partai politik berbasis Islam religious. Ada dua kutub yang berbeda dan sulit untuk ditemukan benang merah ideology politiknya. Itulah politik!, apalagi dalam masa demokrasi liberal saat ini, bangunan ideology politik semakin absurd.

Langkah yang diambil oleh Papernas saat ini secara positif adalah bukan hanya pragmatis akan tetapi lebih pada politik strategis karena pertama, untuk meluaskan panggung politik parlementaris dengan melakukan politik propaganda Tri Panji yang selama ini menjadi momok bagi kelompok fundamental kanan. Hal ini diambil karena dalam proses propaganda program tersebut selalu terbentur hambatan bukan hanya dari kelompok fundamental akan tetapi dari blok media yang sampai sekarang belum berpihak kepadanya. Nah, proses kampanye selama 8 bulan ini merupakan ruang untuk melakukan propaganda secara luas di seluruh basis-basis PBR maupun lainnya. Kedua, garis politik parlementaris (pemilu) saat ini merupakan satu-satunya alat untuk melakukan perubahan secara fundamental, cara yang paling demokratis tentunya. Lihat saja fenomena kekuatan amerika latin, bahwa perubahan atau pergantian kekuasaan dilakukan melalui Pemilu dan dimenangkan kelompok-kelompok pro rakyat seperti di Venezuela, Bolivia, chile, argentina dll. Ketiga, melakukan penguatan struktur politik organisasi di seluruh daerah. Aura politik parlementaris merupakan seluruh kekuatan rakyat adalah pemilu 2009, sehingga akan sulitlah kalau mau kita tarik dalam politik ekstraparlementaris.

Namun dalam satu sisi negatipnya, garis politik parlementaris yang diambil Papernas dengan memasukan kader-kadernya di Caleg PBR ataupun lainnya adalah bacaan politik yang salah. Pertama secara obyektif bahwa gerak perkembangan masyarakat saat ini sungguh apatis terhadap elit dengan semakin mengentalnya oligarki politik. Apatisme rakyat kemudian teraplikasikan dalam bentuk golput yang dalam banyak pilkada menjadi pemenangnya sehingga bisa dipastikan adalah pemilu 2009 angka ini justru hanya kekuasaan pragmatis, dalam beberapa fakta dijelaskan bahwa keberadaan partai politik sampai hari ini belum mampu menjawab akar persoalan rakyat Indonesia, justru yang terjadi adalah politik daur ulang yang hanya melanggengkan kekuasaan status quo.

Kedua, partai politik saat peserta Pemilu 2009 memiliki dosa sejarah masa lalu, artinya bahwa keberadaan partai PBR ataupun lainnya selama ini selalu membuat kebijakan yang tidak pro rakyat seperti Pembentukan UU PMA, UU Privatisasi, UU Migas, UU BHMN, UU BHP, UU 13 tentang perburuhan, pencabutan subsidi terhadap rakyat miskin dll. Kolaborasi dengan kekuatan reformasi gadungan tersebut tentunya menyalahi garis perjuangan politik PRD yang selama ini berpihak pada kepentingan rakyat miskin. Melihat kondisi obyektif semacam ini tentunya adalah mustahil ketika komitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat miskin yang selalu dibawa Papernas dalam setiap programnya disepakati oleh partai-partai politik tersebut termasuk PBR.

Dalam sisi yang lain, keberadaan PBR sekarang dengan masuknya caleg dari kader-kader Papernas justru menambah energi untuk melakukan radikalisasi struktur politik organisasinya yang selama ini belum pernah teruji. Karena PBR tidak memiliki sejarah se-radikal Papernas dalam melakukan advokasi terhadap perjuangan rakyat, maka dengan masuknya kader-kader Papernas tentunya akan semakin meneguhkan dan menambah semangat bukan hanya melakukan politik pemenangan akan tetapi lebih menguatkan PBR dalam garis perjuangan rakyat miskin. Struktur yang terbangun kemudian menjadi satu kekuatan alternative baru dari sekian partai politik yang ada justru hanya bergerak ketika menjelang pelaksanaan pemilu. Namun image PBR sebagai partai politik Islam justru menjadi perjuangan basis ideology sosialis religious yang menjadi harapan pembentukan tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial. Maka masuknya kader-kader Papernas ini juga merupakan lapangan teori baru antara kelompok kiri dengan kelompok kanan mampu menyatukan kekuatannya menuju perebutan kekuasaan.

Gambaran diatas tentunya menjadi gambaran umum, bahwa bangunan ideology politik gerakan kiri semakin luntur ketika dihadapkan pada politik kekuasaan borjuasi. Tidak ada pembatasan garis politik yang jelas menunjukkan dari keberhasilan dari demokrasi liberal, artinya bahwa liberalisasi (yang dulunya selalu menjadi tuntutan PRD dalam setiap aksinya melawan kediktatoran orde baru) hari ini justru telah memakan tuannya sendiri. mungkin slogan “buatlah sejarah, Jangan lari dari sejarah, atau anda akan dimakan sejarah” akan menguji kebenaran teori yang diambil oleh Papernas dalam memasuki politik parlementaris. Semoga.

KEBANGKITAN NASIONAL : INTEGRITAS GERAKAN PEMUDA DALAM PROSES KONSOLIDASI DEMOKRASI

Krisis ekonomi politik yang berkepanjangan yang tidak pernah berujung, membuat berbagai kalangan telah menilai bahwa pemerintahan yang dihasilkan dari Pemilu 2004 secara langsung SBY-JK ini belum mampu memberikan bukti yang konkrit atas penyelesaian kemiskinan, pengangguran, korupsi, pelanggaran HAM, illegal logging, bencana alam seperti Lumpur Lapindo dan lain sebagainya. Walaupun kita sadari bahwa persoalan-persoalan tersebut tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya, mulai dari Orde Baru, Habibie, Gus Dur, Megawati yang selalu mengabdi kepada kepentingan modal/pasar.

Sejenak harapan rakyat atas pemerintahan SBY-JK selama hampir 4 tahun berkuasa telah memudar seiring dengan semakin kuatnya kelompok oposisi baik dari partai politik maupun dari seluruh gerakan rakyat. Ketidakpercayaan ini tergambarkan dengan banyaknya tuntutan-tuntutan ketidakpercayaan yang bersifat normatif sampai pada ujungnya ‘cabut mandat” adalah bentuk ekspresi rakyat yang berfungsi untuk mengingatkan pemerintahan telah menyimpang/keluar dari garis besar dan ideologi bangsa ini yaitu Pancasila dan UUD. Indikasi penyimpangan ini adalah terletak pada kebijakan-kebijakan ekonomi politik yang cenderung pro pasar, mulai dari UU Penanaman Modal, UU Sisdiknas, UU Migas dll, artinya bahwa bangsa ini telah kehilangan kemandirian dan kedaulatan secara utuh ditengah-tengah serbuan turbulensi ekonomi-politik global. Pelanggaran konstitusi negara ini justru diperparah dengan terdegradasinya politik moral aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya dengan melakukan perselingkuhan politik-ekonomi dengan pasar.
Satu dekade gerakan reformasi bergulir, ternyata apa yang menjadi harapan rakyat akan perubahan secara dratis dari cengkeraman ekonomi-politik global dan kediktaktoran Orde Baru justru semakin menjauh. Peningkatan angka kemiskinan mencapai 40 juta, 120 juta angka penggangguran, bencana alam yang terus mendera diseluruh pelosok akibat dari eksploitasi alam yang tidak ramah lingkungan, kebutuhan harga sembako yang terus melangit tidak terjamah oleh rakyat miskin. Badai korupsi yang melibatkan hampir semua instansi negara yang tidak terkendali, walaupun mendapat dukungan dari pihak internasional membuat bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi sebatas sloganistik, karena yang menjadi barometernya belum dan tidak mampu di tangkap dan asetnya dikembalikan ke negara oleh pemerintahan saat ini. Rentannya sistem pertahanan nasional yang memudahkan ancaman baik yang datang dari domestik maupun global, misalnya rekruitmen WNI menjadi Askar Wataniah Malaysia, munculnya terorisme dll. Sementara dalam ranah politik, meluasnya sengketa Pilkada di penjuru tanah air yang melibatkan partisipasi warga, membuat proses demokrasi dan pembangunan mandeg dan konflik elit politik yang menjadi sajian totonan masyarakat telah memperburuk proses transisi demokrasi yang terus menurunkan kepercayaan rakyat terhadap aparatus negara.
Parameter berjalannya proses demokratisasi adalah, terselenggaranya pemerintahan yang bersih, menguatnya lembaga-lembaga pemerintahan, dan terdidiknya civil society dalam melakukan partisipasi politik dan penyelenggaraan Pemilu secara demokratis. Pemilu merupakan instrumen politik dalam proses mensirkulasi kepemimpinan nasional sudah dilakukan dua kali dan tahun 2009 adalah momentum konsolidasi demokrasi yang ketiga kalinya semenjak gerakan reformasi. Konsolidasi demokrasi 2009, tentunya harus menjadi akhir dari transisi demokrasi sehingga bangsa ini akan tinggal landas menuju proses demokrasi yang memiliki nilai-nilai substansial yaitu demokrasi untuk keadilan dan kesejahteraan mayoritas rakyat.
Sirkulasi kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2009, harus dijadikan pijakan oleh elemen anak bangsa untuk bangkit dan merdeka secara politik ekonomi yaitu mandiri secara ekonomi dan berdaulat secara politik adalah falsafah yang harus menjadi spirit dalam membangun bangsa ini dari keterpurukan ekonomi politik. Kegagalan-kegagalan ekonomi politik ini membuktikan bahwa dominannya sisa-sisa kekuatan lama dan reformis gadungan yang masih mempertahankan kekuasaannya harus segera dihentikan. Krisis kepemimpinan nasional telah terjadi, munculnya Megawati, Gus Dur, SBY, JK, Wiranto, Sutiyoso, Sultan Hamengkubowono X dll adalah bukti dari kegagalan bangsa ini mencetak kader-kader yang memiliki integritas kuat dalam mempertahankan politik ekonomi nasional yang pro rakyat.
Sebagai bangsa yang besar dan selalu mengedapankan sikap-sikap solidaritas sebagai negara pluralisme, sampai saat ini belum memiliki ideal type kepemimpinan nasional yang tangguh dan kuat dalam memperjuangkan hak-hak seluruh rakyat. Justru yang bertengger di kekuasaan adalah merupakan persekutuan jahat borjuasi –modal- aristokrat yang selalu melakukan eksploitas dan semakin kokoh dalam mempertahankan kepentingannya. Dominan peranan partai politik yang anti rakyat dalam men-drive negara bangsa ini, mulai dari pembuatan UU, meniadakan fungsi partai, dan kuatnya kolaborasi dengan pasar menjadikan bangsa Partidozia yang rapuh karena berdiri dari kepentingan-kepentingan absurd kelompok.
Kemudian, kemunculan kepemimpinan alternatif melalui calon independen dalam Pilkada-tentunya mengarah kepada Pilpres- yang tangguh dan kuat untuk membawa rakyat keluar dari krisis ekonomi politik neoliberal selalu menjadi ancaman pemerintahan yang tunduk dan patuh terhadap kepentingan modal asing, sehingga peluang untuk melakukan perubahan mendasar dan mengangkat martabat dan identitas sebuah bangsa yang mandiri akan selalu menjadi sebuah wacana dalam ruang-ruang diskusi belaka.
Tahun 2008 merupakan momentum bersejarah, yaitu satu abad Kebangkitan Nasional, delapan puluh tahun sumpah pemuda, dan satu dekade gerakan reformasi. Momentum ini mengingatkan kita semua untuk melakukan kebangkitan secara politik-ekonomi, yaitu kebangkitan dari kebangkrutan ekonomi nasional dan terdegradasi politik moral aparatus negara yang tentunya gerakan pemuda adalah pelopor/vanguard dari kebangkitan nasional ini dalam menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia.
Terintegrasinya kekuatan muda yang membawa misi nasionalisme adalah upaya untuk membangkitkan kembali roh nasionalisme satu abad yang lalu dalam melawan kolonialisme Belanda. Dalam konteks saat ini, menguatnya turbulensi pasar global yang terus mengancam integritas bangsa dan kedaulatan negara adalah keniscayaan sejarah kalau pemuda melakukan terobosan politik dalam menjaga keutuhan NKRI. Sejarah ini kemudian harus senantiasa dikobarkan menjadi pekik perjuangan dalam mensejajarkan dengan bangsa-bangsa lain, artinya gerakan muda harus mampu membalikan sejarah masa lalu bangsa ini dalam mencapai kejayaannya menguasai negeri utara dengan kekuatan ekonomi dan politiknya.

Dinamika Gerakan Mahasiswa dan Politik Kekuasaan

Pupusnya Harapan Rakyat
Hampir 9 tahun gerakan reformasi belum kunjung menghasilkan perubahan atas keadilan dan kesejahteraan rakyat, justru malah sebaliknya. Dalam logika masa transisi demokrasi hal utama dalam melakukan perbaikan pembangunan menuju proyek modernitas adalah bagaimana sebenarnya melakukan penguatan hubungan antara rakyat dan negara? Negara yang di indetikan dengan pemegang otoritas kebijakan yang didalamnya terdiri dari unsur-unsur birokrasi, hukum dan alat keamanan serta aset-asetnya yang terlembagakan dalam bentuk institusi pemerintahan, sedangkan rakyat adalah masyarakat sipil.

Nah dalam rangka menguatkan hubungan negara dengan rakyat, yang perlu dilakukan adalah bagaimana sebenarnya menguatkan pula birokrasi yang selama ini cenderung korup dan tidak accountable dengan penegakkan hukum yang memenuhi rasa keadilan serta penguatan partisipasi rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Dalam transisi demokrasi seperti inilah kembali lagi peranan mahasiswa yang termanifestasikan dalam “intelektual organik” harus mampu memberikan penyadaran dan bergerak bersama-sama dengan rakyat melakukan kontrol penuh terhadap penyelenggaran negara.
Sudah hampir 1 dekade yang telah menjalankan dua kali pemilu yang “cukup” demokratis secara langsung dan hampir 123 kali lebih pemilihan kepada daerah yang tersebar di seluruh pelosok, ternyata belum cukup dijadikan pijakan untuk lepas landas menuju masyarakat yang menjunjung tinggi ham, demokrasi dll. Munculnya kebijakan yang tidak memihak rakyat seperti impor beras, perpres 36 soal tanah, kenaikan bbm, penanganan korupsi yang “tebang pilih”, munculnya produk hukum yang diskriminatif, polemik produk hukum seperti PP 37 tentang kenaikan gaji anggota DPRD, munculnya RUU Kamnas yang mengindikasikan kembalinya orde baru ke wilayah panggung politik dengan menyerahkan otoritas sepenuhnya pada TNI, munculnya RUU Penanaman Modal, pencaplokan wilayah luar oleh Malaysia dll yang sarat akan kepentingan modal adalah serentetan pengkondisian untuk meruntuhkan martabat dan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat.
Sementara begitu banyak terjadinya konflik suku di ambon, poso, papua yang terjadi selama ini membuktikan bahwa ancaman terhadap keutuhan bangsa ini kembali menyeruak menjadi politik nasional. Sekat-sekat demokrasi yang telah dibuka ternyata belum cukup untuk mengakomodir kepentingan kelompok minoritas, bahkan justru lembaga-lembaga seperti DPR, Komnas Ham, KPK dll sebagai kepanjangan otoritas pemerintahan yang dijadikan alat legalitas semata.
Ditambah lagi persoalan ekonomi sosial seperti pengangguran tinggi, angka kriminalitas tinggi, banyaknya privatisasi bumn, anak putus sekolah semakin banyak, angka bunuh diri tinggi, penggusuran, kasus malnutrisi, bencana alam, lumpur lapindo yang telah membuat perekonomian jawa timur terganggu, kecelakaan transportasi, bencana flu burung, demam berdarah, harga sembako yang kian melonjak sampai pada tidak meratanya proses pembangunan yang menyebabkan harapan rakyat terhadap pemerintahan/elit penguasa kian pupus yang akan berakibat fatal terhadap stabilitas nasional terganggu. Ketidakpercayaan ini bukan hanya terjadi pada elit penguasa, akan tetapi juga terjadi pada partai-partai politik yang ikut membidani produk eksploitatif hukum tersebut yang cenderung bersekutu maupun beroposisi secara malu-malu terhadap pemerintahan yang ada.

Politik Kekuasaan dan Mahasiswa
Realitas sosial yang begitu pelik dihadapi rakyat tidak bisa dilepaskan oleh peranan mahasiswa yang setengah hati dalam menuntaskan berbagai problem politik ekonomi. Sehingga kembalinya mahasiswa ke bangku kampus/kuliah menjadi dosa sejarah terhadap perjuangan rakyat dalam rangka membebaskan diri dari eksplotasi negara. Mahasiswa masih malu-malu dalam melakukan perebutan kekuasaan, dimana kekuasaan dapat diterapkan pada tingkatan-tingkatan tertentu dalam realitas sosial. Seperti kampus, kampung, organisasi sampai pada struktur negara. Akan tetapi kesalahan besar terhadap mahasiswa yang masih mengusung gerakan moral justru dimanfaatkan oleh borjuasi nasional untuk mengambilalih kekuasaan politik negara. Sebenarnya banyak pelajaran yang membuktikan bahwa mahasiswa harus tidak alergi pada politik praksis (senjata orde baru untuk membungkam gerakan kritis mahasiswa).
Belajar dari pemilu 1955 yang telah melibatkan mahasiswa untuk masuk ke dalam parlemen Orde Lama, 1966 yang juga memasukan mahasiswa dalam kabinet orde baru, dan pemilu 1999 dan 2004, membuktikan bahwa gerakan mahasiswa memiliki peran yang cukup strategis dalam kancah politik nasional, akan tetapi peran tersebut tidak didukung dengan kapasitas mahasiswa sebagai negarawan untuk berani mengambil peran politik secara maksimal dalam mencapai keadilan.
Berangkat dari ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik, pemerintahan, bangkitnya gerakan mahasiswa tidak semata-mata muncul sebagai seorang “hero” yang mampu menyelesaikan segala persoalan, akan tetapi lebih melihat sebagai bagian rakyat yang terkena dampak kebijakan. Kebangkitan secara bersama-sama dan berjuang dengan rakyat untuk terus berpikir kritis, rasional dan obyektif dalam menguatkan kontrol terhadap penyelenggaraan negara sebagai bagian dari proses demokrasi dan juga merupakan bentuk reflesive secara mendalam terhadap dinamika mahasiswa yang memiliki kecenderungan semakin menurun.
Hal yang tidak kita sadari adalah mahasiswa saat ini telah mengalami degradasi moral yang akut. Hancurnya tatanan sosial sejak gerakan 98 merupakan kecerobohan dan kegagalan mahasiswa dalam mengawal agenda reformasi. kegagalan demi kegagalan tercermin pada peranan mahasiswa yang semakin hari semakin berkurang terhadap perjuangan politik rakyat. mahasiswa lebih menikmati bangku kuliah sebagai menara gading dengan menjauhkan diri dari realitas sosial. Bahkan jargon-jargon ke intelektualan telah mengilusi kesadaran rakyat ( disisi lain bahwa kampus dengan ilmu pengetahuan telah berperanan penting dalam proses pembuatan produk yang diskriminatif terhadap kelas mayoritas rakyat), Artinya bahwa ilmu pengetahuan yang menciptakan mahasiswa telah melakukan kuasa penuh yang memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah.
Dalam perspektif gerakan mahasiswa yang telah menyumbang proses perubahan demokrasi, politik kekuasaan yang telah berhasil direbut dari kediktatoran Orde Baru telah dimanfaatkan oleh elit borjuasi yang tidak bertanggungjawab. Cukup sudah mengakhiri perjalanan transisi demokrasi yang berjalan tertatih-tatih yang juga belum menemukan makna dan identitas sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Hampir satu dekade perjalanan reformasi yang belum kunjung selesai, semantara polarisasi gerakan mahasiswa semakin tinggi dan semakin terpuruknyanya realitas sosial adalah merupakan tantangan bagi gerakan mahasiswa/intelektual kritis untuk masuk dalam arus besar realitas sosial untuk membangkitkan spirit rakyat dalam usaha pembebasan diri. Sebagai intelektual dan mahasiswa yang memiliki kemauan keras dan jiwa progresif revolusioner, berbagai momentum tersebut harus dimaknai sebagai kembalinya gerakan mahasiswa dalam mengisi ruang-ruang politik yang selama ini tidak berfungsi secara maksimal demi perwujudan kesejahteraan sosial. Ketidakmaksimalan ini lebih dikarenakan ketidakmampuan aparat negara ( mayoritas memiliki karakter korup) kita dalam mengelola dan menjalankan pemerintahan.
Momentum tersebut bukan hanya dijadikan suatu hal yang biasa, akan tetapi harus menjadi pijakan bagi gerakan politik mahasiswa dan rakyat secara keseluruhan untuk menyatukan diri dalam menghadapi gelombang besar neoliberal dan kaki tangannya yang telah memaksa harga diri kita tergadai. Praktek korup aparat negara yang menyebabkan keterpurukan bangsa ini telah menjadi karakter bangsa ini secara sistematis. Keterpurukan ekonomi politik ini harus menjadi stimulus bagi elemen progresif bangsa khususnya gerakan mahasiswa dan kelompok muda yang revolusioner untuk terus tidak menyerah dalam keadaan dan bangkit menjadi manusia-manusia yang unggul dalam kapasitasnya untuk mengakhiri menjadi bangsa kuli dan membangun bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Kemandirian dan kedaulatan yang selama ini tergadaikan, harus direbut kembali dengan menguatkan peranan-peranan kelompok muda yang progresif dalam ranah politik, ekonomi, sosial dan hukum melalui wadah perjuangan partai politik dan penguatan terhadap organisasi lainya dalam rangka untuk menguatkan civil society dan peranan negara. Pergantian kepemimpinan melalui demokrasi prosedural tidak serta merta diberikan oleh kepemimpinan yang korup akan tetapi harus direbut oleh kelompok muda yang memiliki jiwa dan karakter kebangsaan yang kuat dalam membangun tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan nilai-nilai budaya. Muara-muara untuk bersinggungan dengan kekuasaan harus terus digelorakan sehingga tujuan untuk membebaskan rakyat dari sistem yang mengeksploitasi harus segera di wujudkan. Nah yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah gerakan mahasiswa atau intelektual kritis mampu dalam mengemban tugas sejarah besar tersebut?