Senin, 22 September 2008

Kooptasi Modal Asing dan Kebijakan Energi Nasional

Minyak atau gas adalah komoditas strategis yang digunakan semua orang, langsung atau tidak langsung. Sadar atau tidak, penggunaan minyak masih mendominasi kehidupan manusia di dunia. Konsumsi energi dunia yang masih bersandar pada energi fosil (minyak bumi, gas, batubara) akan sangat berpengaruh pada pola konsumsi sebuah negara. Eksploitasi energi fosil yang tidak dipertimbangkan pasokan alternatifnya menyebabkan energi fosil makin menipis. Sementara konsumsi energi yang begitu besar seiring dengan percepatan proses industrialisasi di kawasan Barat maupun di Asia khususnya Cina dan India menyebabkan pasokan energi juga mengalami keterbatasan (baca : krisis).
Dalam hal kinerja umum, indikasi dari tidak optimalnya pengelolaan industri migas nasional salah satunya ditunjukkan dengan produksi dan cadangan migas yang kecenderungannya terus menurun, sementara cost recovery meningkat. Produksi migas sangat menentukan penerimaan negara dan cadangan migas sangat menentukan ketahanan supply migas negara. Implikasinya penerimaan negara dari sektor migas berkurang dan ketersediaan supply migas nasional makin mengkhawatirkan. Kebijakan yang selama ini ditempuh pemerintah untuk meningkatkan produksi dan cadangan adalah dengan memberikan insentif-insentif dalam pengusahaan migas kepada kontraktor bagi hasil/KPS (sekarang istilahnya adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama, KKKS). Sekarang Indonesia cenderung kian ‘bermurah hati’ memberikan insentif-insentif yang semakin besar dan longgar bagi para kontraktor migas internasional. Mulai yang terkait aspek finansial saja (CR, perubahan pola bagi hasil, investment credit, pajak, DMO fee), hingga dengan aspek jaminan ketahanan migas nasional (DMO holiday, DMO fee). Di satu sisi hal itu merupakan daya tarik bagi investasi, namun disisi lain hal itu mencerminkan bargaining position dan sikap politik pemerintah Indonesia semakin hari terlihat semakin menurun. Berbagai insentif yang diberikan tersebut ternyata kecenderungannya tidak selalu berkorelasi positif terhadap hasil yang diharapkan (produksi dan cadangan tidak semakin meningkat dengan peningkatan insentif yang diberikan).
Beberapa implikasi dan konsekuensi yang ditimbulkan dari berbagai insentif tersebut justru cenderung negatif, diantaranya: pertama, DMO Holiday menyebabkan ketergantungan Indonesia terhadap minyak impor semakin besar (ketahanan energi, sebagai aspek terpenting, menjadi rentan). Kedua, Pengubahan DMO Fee menyebabkan Indonesia harus membeli minyaknya sendiri dari pasar internasional dengan harga lebih mahal. Implikasinya, biaya produksi dan pengadaan BBM dalam negeri juga menjadi lebih tinggi, harga BBM untuk rakyat relatif menjadi lebih mahal. Ketiga, Cost Recovery sejak 2001 hingga kini terus meningkat,mengurangi porsi pemerintah dalam bagi hasil. Data Panja Anggaran DPR 2007 menunjukkan bahwa cost recovery diperkirakan mencapai Rp. 93,2 triliun, sehingga penerimaan Migas di APBN 2007 diperkirakan hanya 46,3% (Rp. 148,2 triliun) saja dari total pendapatan kotor migas yang mencapai Rp. 320,4 triliun. Keempat, Pengubahan porsi bagi hasil pemerintah yang semakin lama semakin kecil menyebabkan semakin banyak sumber daya migas Indonesia ibaratnya secara ‘ijon’ telah dikuasai pihak asing_merugikan kepentingan generasi mendatang.
Ketahanan supply migas yang semakin bergantung pada impor dan digunakannya acuan harga internasional untuk BBM dalam negeri adalah beberapa diantaranya. Harga minyak dunia, yang notabene sangat dipengaruhi oleh perilaku ekonomi-politik perusahaan-perusahaan minyak dunia yang besar (yang juga mendominasi produksi migas Indonesia) justru terlihat menjadi driving faktor lebih berpengaruh terhadap pergerakan produksi minyak Indonesia. Dengan kata lain, pemerintah sebaiknya mewaspadai kemungkinan konspirasi global akan hal ini, sehingga tidak serta merta menggunakan insentif sebagai instrumen untuk memacu peningkatan produksi dan cadangan migas nasional.
Kebijakan energi nasional semacam ini, tentunya bukan hal yang baru, sejak pemerintahan Orde baru sudah dilakukan. Tragisnya, ketika Pemerintahan Megawati Soekarno Putri menerbiktan UU Migas No. 22 Tahun 2001 sebagai pintu masuk atas liberalisasi industri Migas Nasional yang bertentangan dengan UUD 45 khususnya pasal 33. Keluarnya UU No. 22/2001 tentang Migas semakin mengukuhkan cengkeraman korporasi asing atas kekayaan Migas Indonesia dan tentunya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004 juga menjadi alat pencengkeraman abadi oleh asing terhadap kekayaan Migas Indonesia. Faktanya adalah hampir 90% Industri migas nasional telah dikuasai oleh corporate asing (Exxon,cevron, BP dll) dan hal yang wajar terhadap bargain position pemerintahan yang lemah. Hukum perminyakan nasional- bahkan hukum ekonomi Indonesia memakai doktrin ekonomi liberal yang mengajarkan negera tidak boleh campur tangan dalam ekonomi. Semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Jantung fenomena kultur market global merupakan kenyataan bahwa dominasi pasar global adalah nafsu keserakahan yang tak peduli dengan humanism.
Kerja keras DPR dengan Hak angket BBM menjadi pintu masuk untuk membongkar kebijakan energi nasional yang selama ini tidak menguntungkan Negara. Harapan ini antara lain untuk melakukan pembenahan kebijakan energi nasional, penilaian ulang tentang efektifitas bentuk Kontrak Kerjasama Migas, Pembongkaran praktek mafia perdagangan Migas, Transparancy Cost recovery dan Peningkatan efisiensi pengadaan BBM. Bahkan diharapkan dapat mengungkap persoalan sejenis di sektor-sektor lain yang masih dihinggapi virus manipulasi dan inefisiensi. Namun, sejauh ini justru Pansus Hak Angket BBM belum secara signifikan mampu membongkar seluruh kejahatan kebijakan energi nasional, bahkan ada kecenderungan sudah terkooptasi oleh dominannya mafia perminyakan yang secara leluasa memainkan seluruh kebijakan energi nasional.
Praktek mafia energi nasional tidak hanya mendominasi impor minyak mentah dan BBM akan tetapi menguasai jalur distribusi minyak yang berdampak pada membengkaknya anggaran yang harus dikeluarkan negara, dimana ditaksir inefisiensi akibat praktek mafia ini mencapai US$ 2,1 miliar per tahun. Rantai kejahatan yang dilakukan actor-aktor energi yang tidak memiliki integritas nasional menjadi ancaman keutuhan Negara bangsa. Actor-aktor energi ini tentunya tidak berjalan sendiri akan tetapi menjadi bagian integral dari stakeholder yang menjadi kakitangan kaum pemodal asing. Kebijakan energi nasional yang salah urus ini adalah merupakan bagian dari potret kepemimpinan nasional yang sampai sekarang belum mampu membawa keluar rakyat Indonesia dari krisis multidimensi. Bahkan rakyat selalu dikorbankan atasnama Negara demi keuntungan kelompoknya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar