Rabu, 07 Januari 2009

Tahun Politik, Tahun Janji

Hiruk pikuk demokrasi telah membuat mayoritas rakyat terbius dalam “mimpi” perubahan, tidak terkecuali para intelektual, politisi, seniman/artis sampai aktifis pun telah dibuat mabuk atas demokrasi procedural lima tahunan. Ratusan orang bahkan sampai ribuan orang dari latar belakang ambil tiket dalam satu loket “partai politik” untuk mendapatkan kursi kekuasaan, ibarat “negeri loket” mengambil istilah Hariman Siregar. Loket kekuasaan akan menimbulkan antrian yang cukup panjang, bahkan saking tidak sabarnyapun bisa menyebabkan jatuhnya korban-korban politik antrian.

Dalam tahun politik, tentunya semua kontestan politik terus melakukan serangan-serangan ke jantung rasio rakyat untuk berebut pengaruh yang kemudian pada hari “H” bisa memberikan suaranya. Rakyat selalu dijadikan obyek dengan dalih atas nama demokrasi dan perubahan, bahkan beberapa kelompok yang ambil bagian di politik parlementarisme yang masih ragu, memanfaatkan gerakan massa menuntut sebagai ruang untuk melakukan kampanye, orang gerakanpun menyebutnya sebagai strategi taktik-pengabungan parlementarisme dan gerakan ekstraparlementer, sesuatu yang sah dilakukan bukan?

Berbeda dengan yang sudah yakin 100% tentang jalan pemilu sebagai jalan perubahan. Fase transisi demokrasi yang masih dikendalikan pasar, tentunya ruang dan alat politik modernpun menjadi tumpuan untuk merebut hati rakyat. Berbagai atribut caleg maupun capres bertebaran di hampir semua tempat, tembok, jembatan, jalan, sampai tidak satu ruangpun di belahan negeri ini yang kosong atribut politik- semua penuh sesak, sesesak kehidupan kota. Kehidupan penuh sesak akan politik perebutan kekuasan justru telah menjauhkan dari kehidupan real masyarakat strata social rendah yang berkubang atas kemiskinan. Masyarakat terus dipaksa dengan pasokan-pasokan politik yang sungguh menggiurkan akan kekuasaan, namun ketika sudah berkuasa mereka-mereka abai terhadap tugas sejatinya mengadopsi istilah Multatulli “memanusiakan manusia”.

Dalam tahun politik inilah, elit dan pemburu kekuasaan lainnya telah memanusiakan manusia dengan dalih untuk berebut pengaruh rasio rakyat, akibatnya ada relasi yang kuat antara caleg/capres dengan pemilih/konstituen. Kehidupan semacam ini ibarat hukum ekonomi, ada penawaran-ada pembelian/supply – demand, artinya fase ketiga transisi demokrasi telah memakai hukum pasar dan produk yang ditawarkanpun supaya diterima dipasaran membutuhkan strategi pemasaran yang jitu.

Pertarungan politikpun menyeruak dalam benak public, antar caleg dalam satu partai dan antar partai dalam berebut suara rasio rakyat yang ditunjukkan dengan maraknya atribut yang terpampang dipenjuru tempat, bahkan yang paling menarik sebenarnya pertarungan Capres. Seolah-olah para politisi bertarung merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan merayu rasio suara rakyat bahwa “sayalah yang paling pantas dan mampu melakukan perubahan. Sebut saja mulai dari Megawati, Rizal Ramli, Sultan HB X, Sutiyoso, SBY, Wiranto, SB, Amin Rais. Mereka mencari sensasi politik seolah-olah pro terhadap penderitaan rakyat, padahal sejatinya mereka memiliki rekam jejak yang sama-sama buruk. Hiruk pikuknya pertarungan politik kekuasaan ini membuat mereka lupa akan realitas kehidupan rakyat atas : langkanya elpiji/gas, pasokan bbm, sembako mahal, bencana alam, kekerasan aparat Polri atas petani suluk bungkal-bengkalis Riau. Para politisi malah menjadikan komoditas kasus-kasus rakyat sebagai bargain position kekuasaan, ataupun melakukan cuci tangan atas periodisasi pemerintahan SBY-JK yang dibangun atas politik power sharing partai politik ; PBB, PKB, PAN, Golkar, Demokrat, PPP, PBR.

Tahun politik memaksa para politisi untuk ekstra kerja keras, meluangkan harta, waktu ataupun tenaganya untuk benar-benar memanusiakan pemilih dengan harapan mereka mau memilihnya, apalagi semenjak keputusan ditengah jalan MK soal Suara Terbanyak telah membuyarkan harapan para politisi yang dekat dengan pimpinan partai ataupun yang memiliki popularitas tinggi untuk duduk dikursi kekuasaan. Konsekuensinya adalah para politisi bukan hanya bekerja keras namun juga menawarkan trand mark “JANJI POlITIK” berupan visi-misi-sampai program yang kalau jadi nanti rakyat akan sejahtera, memberikan pendidikan –kesehatan gratis, mengutamakan produk dalam negeri, sembako murah,memberantas korupsi dan lain-lain. melihat sepintas dari janji-janji para politisi hampir memiliki kesamaan, walaupun kalau di terjemahkan memiliki perbedaan.

Para politisi memang mesti berjanji. Sebab, kata ungkapan tua, jangan pernah menagih sesuatu yang tak pernah dijanjikan. Keliru jika kita tak meminta janji, dan melulu bukti. Janji adalah penawaran. Dari sana kita akan menilai: adakah ia layak “dibeli” atau diabaikan. Janji mencerminkan sedikit-banyak kualitas sang calon. Kebanyakan janji akan sangat bernuansa populis—membela kepentingan rakyat banyak. Sebut saja, janji untuk menumpas pengangguran, meringkus para penjarah uang negara, atau menggelontorkan subsidi rakyat miskin.

Para politisi bakal semakin “didesak” untuk mengajukan sederet rencana populis lantaran krisis ekonomi menghadang. Jutaan orang terancam kehilangan pekerjaan, jumlah kaum miskin potensial bertambah banyak. Tapi, dengan akal sehat, kita bisa meraba: mungkinkah janji itu terwujud? sebab mustahil diwujudkan atau memang sesuatu yang realistis. Selain itu, nyaris semua menjanjikan perubahan. Cuma, periksa juga pilihan jalan yang disodorkan. Karena, jangan-jangan, mereka hanya bisa menyebut "tujuan", tanpa pernah sanggup merinci metode pencapaian. Sebab, menurut pepatah, the devil is in the details.

Mengidentifikasi, mencatat janji politisi merupakan upaya untuk melakukan penghakiman atas para politisi yang berebut kekuasaan ketika ribuan janji tersebut tidak terealisasi. Menghakimi dengan tidak memilih pada periode selanjutnya adalah kepastian dan pegangan pemilih. Nah, dari sekian para politisi yang berebut kursi parlemen, partai politik dan capres yang ingkar janji bahkan telah meruntuhkan pondasi ketatanegaraan, mana yang layak dan tidak layak untuk dipilih? Apakah pemilih kita semakin cerdas? Meningkatnya golput di hampir pilkada adalah buktinya. Sekarang saatnya para politisi jangan mengumbar janji ketika tidak bisa menghadirkan ditengah rakyat, nanti akan di tagih janji oleh pemilih/rakyat.

Sabtu, 03 Januari 2009

Mentalitas Bangsa Klien

Oleh : Kuntowijoyo
Mungkin tulisan ini masih sangat relevan dengan situasi hiruk-pikuknya demokrasi prosedural 2009. tulisan yang pernah di publis di harian kompas edisi Kamis 23 Desember 2004. selamat membaca :
KITA belajar dari Pemilu 2004, pilpres 2004, tayangan teve, kehidupan sehari-hari, dan dari hubungan internasional. Kesimpulannya tidak menggembirakan. Kita sekarang jadi bangsa klien (klien yang tergantung pada patron).

Melalui modal dan produk, kita menjadi klien Amerika, Eropa, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, dan RRC. Melalui tenaga kerja Indonesia (TKI)/ tenaga kerja wanita (TKW), kita menjadi klien Malaysia dan Timur Tengah. Melalui teve, kita menjadi klien Amerika, Jepang, Amerika Latin, Taiwan, dan India. Melalui utang, kita menjadi klien IMF, Bank Dunia, ADB, CGI, dan IDB.

Presiden 2004-2009 harus dapat mengubah bangsa klien menjadi bangsa mandiri. Sementara itu, mentalitas kita pun juga harus berubah. Pada tahun 1945, kita sudah berubah dari bangsa terjajah menjadi bangsa mandiri. Kemudian kita terpuruk menjadi bangsa klien. Kalau salah urus, dari bangsa klien kita bisa jadi bangsa kuli, dari bangsa kuli menjadi "gelandangan di rumah sendiri"-istilah Emha Ainun Nadjib.
Bangsa klien
Ada kesamaan dan perbedaan antara bangsa terjajah dan bangsa klien. Kesamaannya, keduanya punya ketergan- tungan; satu pada penjajah, satunya lagi pada patron. Perbedaannya, ambillah sampel Surakarta awal abad ke-20 untuk bangsa jajahan dan Indonesia awal abad ke-21 untuk bangsa klien. Akan terlihat ada dua perbedaan, yaitu konkret atau abstraknya permasalahan yang dihadapi dan kesatuan motif masing-masing.

Pertama, bangsa terjajah menghadapi penjajahnya secara konkret. Demikianlah, pada awal abad ke-20, orang Solo bisa melihat meneer dan mevrouw dengan mata kepala di Societeit Harmonie, dan tuan dan nyonya Belanda naik trem yang melintas jantung kota di depan paheman Radyo Poestoko. Akan tetapi, pada awal abad ke-21 ini bangsa klien hanya tahu secara abstrak bahwa ada kapitalisme Amerika. Orang bisa mengebom Kedutaan Amerika, restoran cepat saji KFC dan McDonald’s, tetapi tidak bisa mengebom kapitalisme Amerika. Orang bisa mendemo pertemuan IMF, tetapi tak bisa mendemo institusi IMF. Negara-negara tujuan TKI/TKW sepertinya abstrak. Kita bisa mencaci maki majikan TKI/TKW di Malaysia, di Arab Saudi, dan di Timur Tengah, tetapi tak bisa menggugat negara-negara berdaulat itu.
Kedua, keduanya mempunyai kesatuan motif sendiri-sendiri. Elite dan massa bangsa jajahan awal abad ke-20 mempunyai kesatuan motifnya sendiri, demikian pula bangsa klien pada awal abad ke-21 ini. Michel Foucault menyebut kesatuan motif itu dengan unities of discourse-kesatuan wacana, artinya di permukaan sejarah ada kesatuan motif yang menghubungkan unit-unit pengetahuan. Elite dan massa bangsa jajahan pada awal abad ke-20 mempunyai kesatuan wacana penghubung sistem pengetahuan mereka, yaitu kemajuan.
Dengan merujuk pada kemajuan, dalam ilmu pengetahuan Padmosusastro dari Solo, pemimpin majalah Sasadara, mengganti takhayul tentang raksasa yang memakan bulan dengan ilmu kodrat tentang kedudukan Bulan, Matahari, dan Bumi. Atas nama kemajuan, priayi di Kasunanan Solo mendirikan perkumpulan Abipraya. Atas nama kemajuan, perkumpulan proto-nasionalis Budi Utomo berdiri pada tahun 1908. Atas nama kemajuan, dalam agama, Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912. Karena kemajuanlah orang Jawa di Surakarta mencukur rambut yang semula digelung dan orang China memotong kucir (taucang).
Adapun pada awal abad ke-21, sekarang ini sebagai bangsa klien secara diam-diam juga punya semacam unities of discourse, yaitu kemakmuran. Elite dan massa bangsa klien mengidamkan kemakmuran. PTN BHMN dan PTS terkenal menarik bayaran mahal karena lulusannya dapat mendatangkan kemakmuran. Akademi komputer, sekretaris, dan manajemen laku keras. Juga LPK (lembaga pendidikan kejuruan) dan LPTK (lembaga pendidikan tenaga kerja) banyak didirikan karena mereka bisa mendatangkan kemakmuran bagi pengelola dan peserta. Dengan alasan kemakmuran, di masa depan orang memasukkan anaknya ke fakultas-fakultas kedokteran, ekonomi, teknik, dan informatika.

Mentalitas
Di sini ini akan dikemukakan empat mentalitas bangsa klien, yaitu kompleks inferioritas, sindrom selebriti, mistifikasi, dan xenomani.
1. Kompleks inferioritas. Sebagai bangsa klien, kita tidak merasa bangga bila belum mengonsumsi barang-barang impor, yang tampaknya buatan luar negeri atau setidaknya barang-barang produk franchise.


Inferioritas itu akan makin terasa-bagi elite-bila kita sempat ke luar, ke negeri-negeri yang menjadi patron. Tidak ada pengemis di Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur, Tokyo. Sekolah kita juga tertinggal jauh. Sementara kita masih bergulat dengan iptek, negeri-negeri patron sudah bergerak ke humaniora sebab iptek itu sudah taken for granted bagi negeri luar.


Penelitian Taufiq Ismail (1997) pada SMU di beberapa negeri menunjukkan bahwa wajib baca buku sastra di Indonesia adalah nol, sementara negeri jiran Malaysia enam judul buku dan Amerika Serikat 32 judul buku.


2. Sindrom selebriti. Dalam tayangan teve, kita pun meniru Amerika dengan American Idol, gemerlap bintang dalam hadiah Oscar, Miss America, dan Miss Universe. Hasilnya ialah maraknya tayangan semacam dalam teve kita. Meskipun banyak tayangan yang bermanfaat, ada pula yang menyakitkan hati mengingat banyaknya kemiskinan.


Kita pun senang nonton selebriti. Kita jadi tahu banyak soal selebriti, kekayaan mereka, kawin-cerai, dan gosip. Penyanyi, bintang sinetron, bintang iklan, model, dan foto model jauh lebih kaya ketimbang dosen, pemikir, sastrawan, dan PNS pada umumnya. Semua selebriti serba ceria, semua serba mewah. Kita semua ingin jadi selebriti. Bagi teve sendiri menjual selebriti itu mudah. Ada Kabar-Kabari, ada Cek & Recek, ada Kiss, ada Eko Ngegosip, ada Star7. Sekarang ada jalan untuk jadi selebriti: ada AFI, KDI, Indonesian Idol.

Rumus "selebriti" dan "enteng-entengan" itulah yang dengan baik ditangkap oleh perancang iklan pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) pada pilpres 5 Juli 2004. Juallah capres dengan nalar selebriti, tidak dengan nalar kenegaraan, nalar rasionalitas, atau nalar hati nurani, pastilah orang akan tertarik. Lalu muncul iklan dan berita capres-cawapres menyanyi di depan massa, fisik capres dipuji-puji di warung kopi. Capres-cawapres ditampilkan sebagai selebriti.

3. Mistifikasi. Mistifikasi artinya menganggap sesuatu sebagai misteri. Kebanyakan mistifikasi dilakukan oleh rakyat di bawah. Kemakmuran itu irasional, tak terpahami. Pengalaman sehari-hari petani ternyata mendukung gagasan itu. Seorang petani tebu TRI yang bekerja selama lebih dari 18 bulan dinyatakan bahwa rendemen tebunya rendah padahal ia masih harus menyewa tanah dan membayar orang untuk mencabuti pokok-pokok tebu. Sementara itu, petani lain sawahnya diserang hama wereng padahal ia sudah mengeluarkan uang untuk membeli pupuk, menyewa pembajak, dan membayar penyiang. Bila rasional, mereka yang terjatuh dapat memakai cara- cara konvensional pula untuk menyiasati kemakmuran. Mereka dapat menjual tanah dan beralih profesi, uang untuk dana pensiun, atau masuk pasar tenaga kerja di kota, bertransmigrasi, para istri jadi TKW, anak perempuan jadi PSK, suami jadi TKI.

Mereka yang berkesimpulan bahwa kemakmuran adalah misteri menghadapi misteri dengan misteri. Tidak usah memasuki pasar, pergilah ke dukun pesugihan, dukun pengganda uang, pelihara tuyul, cari jimat, bertapa, minta restu penunggu gunung, berdoa di tempat keramat, dan banyak perilaku menyimpang lain. Mistifikasi kemakmuran juga terjadi pada pembeli togel, penjudi, koruptor, dan permainan "ketangkasan" meskipun mereka tidak ke dukun.

4. Xenomani. Kegandrungan pada produk asing itu dialami oleh semua tingkat-ini pasangan kompleks inferioritas. Kelas atas berbelanja, berobat, sight seeing, membeli rumah, dan menyekolahkan anak ke Singapura, Jepang, Eropa, dan Australia. Mereka juga berulang tahun satu miliar di hotel Jakarta yang ball-room-nya disulap jadi ball-room hotel mewah di Amerika, pesta manten di Perth, dan sekurang-kurangnya berlibur ke Bali atau Disney Land.

Kelas menengah makan di Pizza Hut, McDonald’s, KFC, sarapan kopi dan sepotong Dunkin’ Donuts. Kelas bawah membeli jeans Levi’s buatan Bandung, sepatu Gucci buatan Magetan, hem-eh-T-Shirt "Man" buatan Tangerang, ayam KenTuku Yogya, handuk berhuruf China, dan makan di restoran Kei Mura. Ketiga kelas bersama-sama suka menonton telenovela Amerika Latin, kartun Jepang, dan film Amerika.

Karena sekarang ini kita menjadi bangsa klien, mentalitas kita telah rusak. Agar supaya mentalitas itu tidak mengganggu kesehatan mental elite dan massa, harus dilakukan perubahan. Perubahan itu ialah dari bangsa klien kembali jadi bangsa yang mandiri.

Jumat, 02 Januari 2009

Menapaki Lorong Gelap Demokrasi 2009

Sekitar 97 hari lagi, pesta demokrasi akan dilangsungkan dengan 38 kontestan parpol nasional dan 6 parpol local aceh. 1001 macam strategi politik kampanye dalam rangka untuk menarik simpatik rasionalitas politik rakyat terus dilakukan, baik mulai dari iklan di media, poster dan spanduk yang terpampang di jalanan, membumikan calon dengan door to door dan seterusnya. Pesta demokrasi 2009 memaksa para pemburu kekuasaan untuk menawarkan produk “program janji” dan memaksa pemilih untuk menggunakan hak suaranya. Walaupun, kesemuanya serba kalkulatif untuk diprediksikan.

Sejak kejatuhan rejim otoritarian Orde Baru, kita sudah mengalami fase transisi demokrasi dengan perjalanan transisi demokrasi perjalanan bangsa ini, arah demokrasi yang sedang dianut oleh bangsa ini kemudian layak dan sangat perlu untuk ditimbang keberadaan. Dalam perspektif dan evaluasi saya, tentunya perjalanan transisi demokrasi hanya berkutat dalam diskursus wacana perebutan kekuasaan yang sangat procedural—bukan membumikan demokrasi secara subtantif sehingga distribusi kesejahteraan untuk mayoritas rakyat semakin jauh.

Pemilu 2009 akan menjadi tahapan penting dalam sejarah politik bangsa ini. Pada fase ketiga pemilu demokratis tersebut, bukan hanya harapan digantungkan, melainkan sebuah realitas perubahan yang dinanti sebagai jawaban atas kejenuhan masyarakat. Pemilu bukan ritual demokrasi, melainkan proses kesinambungan politik antara masa lalu dan masa depan. Dalam makna itu, pemilu jangan diletakkan dalam pengertian absurd bahwa seolah-olah pemilu hanya mendistribusikan mandat (legitimasi) dari konstituen kepada para wakil. Ini yang kerap memproduksi lahirnya kelompok golput--bahkan gerakan radikal dalam bentuk yang sangat ekstrem--karena kinerja politik tidak berpihak kepada kepentingan umum, hanya menguntungkan kelompok yang berkuasa.

Pesimisme Perubahan
Menurut pandangan pribadi saya, pesimisme politik atas penyelenggaraan pemilu 2009 terjadi karena pertama, Politik hari ini merupakan cermin dari kehidupan politik masa lalu yang menyisakan berbagai ketegangan-ketegangan yang belum terselesaikan, kasus pilkada Maluku utara dan Jatim merupakan sedikit persoalan penyelenggaraan pilkada secara nasional yang berujung pada persengketaan hingga saat ini, bahkan sengketa pilkada ini sungguh akan mengancam tahapan-tahapan pemilu, mulai dari pembentukan KPUD, Panwas dan seterusnya. Belum lagi kalau terjadi berbagai perubahan mendasar atas keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap berbagai procedural pelaksanaan pemilu 2009, seperti pengabulan gugatan suara terbanyak, menangya gugatan partai Republiku di PN Selatan dan sejumlah keputusan drastis lainnya dari MK yang akan mengisi kedepan.

Kedua, kuatnya oligarki elit dan partai politik akan memundurkan kehidupan berdemokrasi. Dalam kurun waktu setahun terakhir, kita telah di jejali oleh prilaku elit politik yang rendah moralitas dan berperilaku korup. Gambaran ini merupakan cerminan dari ketiadaan kapasitas, kapabilitas dan integritas partai politik yang hanya mengejar dan mempertahankan kekuasaan bukan mendistribusikan kesejahteraan dan kemakmuran ke public akibatnya proses ini telah memperdalam jurang antara si kaya-miskin atau elit politik dengan kehidupan real mayoritas rakyat. Alih-alih memberikan perubahan untuk mayoritas rakyat, justru meninggalkan konstituen-berselingkuh dengan kekuatan pemodal/capital-dengan membuat berbagai regulasi dan produk hukum yang melanggengkan kekuasaan pemodal. Bahkan pondasi moralitas yang seharusnya menjadi cermin bagi public dengan sengaja di rusak oleh institusi negara (bukan oknum) dengan mengatasnamakan kepentingan negara.

Sementara itupun, demokrasi pasar yang sedang berlangsung saat ini, kemudian memaksa semua pihak secara demokratis bertarung dengan berbagai cara dalam memenangkan rasionalitas politik rakyat. untuk memenangkan perebutan kekuasaan baik di legislative maupun di presiden, semua konstentan selalu berburu suara rakyat dengan tidak hanya ber-modal social- akan tetapi financial yang tidak kecil. Dalam mendorong hal tersebut tentunya partai politik akan memburu caleg-caleg yang memiliki popularitas, uang yang banyak sehingga hal-hal prinsip tentang rekruitmen kader ataupun kaderisasi dan pendidikan politik selalu terabaikan atas nama demokrasi. Rekruitmen kader/caleg didasarkan hanya untuk mendulang suara/swing votegetter yang biasanya dihasilkan orang yang memiliki popularitas dan uang banyak yaitu artis/seniman dan lain-lain. Kita menyadari bahwa hampir 90% rekruitmen kader partai politik yang menjadi konstestan pemilu 2009 tidak mendasari prinsip/tahapan yang sangat terukur dan terarah apalagi rekam jejaknya, semua memang serba tidak mungkin.

Ketiga, dalam menapaki fase-fase transisi demokrasi yang sudah berjalan dua kali, tentunya memberi pelajaran yang berharga terhadap kehidupan politik rakyat, rakyat semakin cerdas menentukan pilihannya dan semakin berani melakukan tuntutan terhadap hak-haknya mendatangi institusi pemerintahan daerah dengan gerakan mobilisasi massa. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan gerakan menuntut sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat.

Peningkatan Golput di Pilkada yang mencapai 40% lebih dari suara pemenang di hampir seluruh daerah merupakan cerminan dari ketidakpuasan public terhadap pilihannya. Pilkada DKI Jakarta mencapai 37%, Pilkada Jabar mencapai 32,6%, Pilkada Jateng mencapai 45,25%, Pilkada Jatim mencapai 40% lebih, Pilkada Sumut mencapai 40%, Pilkada Sumbar mencapai 35,70%, Pilkada Babel mencapai 39,98%, Pilkada Sulsel mencapai 45% dan pilkada-pilkada tingkat kota/kabupaten yang memenangkan golput.

Jalan Terakhir
Fase ketiga transisi demokrasi menjadi harapan terakhir bagi proses pembumian demokrasi substansi. Demokrasi pasar yang telah memproduksi “kemiskinan”, “pengangguran”,”anarkisme massa”, menguatnya etnonasionalisme”, “kehancuran industri nasional”, dan “liberalisasi asset-aset strategis bangsa” dan seterusnya harus segera dihentikan demi kepentingan negara. Demokrasi harus diletakkan dalam rangka membangun kehidupan berbangsa secara demokratis dengan menjunjung tinggi keberagaman, pluralism yang termaktub dalam Bhinneka Tunggal Ika. Namun dengan melihat berbagai proses transisi demokrasi dengan melihat berbagai instrument-instrumen politiknya, apakah harapan itu semakin mendekat kepada rakyat? tidak.

Pemilu 2009 bukan jalan terakhir dari persoalan krisis multidimensi, sekedar mekanisme procedural dengan cap “demokratis” yang di adopsi dari barat. Jalan terakhir bagi politisi-politisi konservatif, tua-uzur-jompo, caleg pro asing, capres-cawapres pro asing/modal, partai politik pro modal dan lain sebagainya, artinya bukan menyerahkan pada waktu atas kemunculan pemimpin baru/muda yang memiliki visi, misi yang terukur dan terarah sesuai dengan UUD 1945 tetapi kemunculannya dihasilkan dari pertarungan-pertarungan sejarah dalam menegakkan kedaulatan dan kemandirian bangsa. Soekarno, M.Natsir, Tan Malaka, Hatta, dan lainnya merupakan cermin atas bangkitnya pemimpin-pemimpin baru yang dihasilkan dari pertarungan sejarah melawan kolonialisme dan menorehkan jejak-jejak sejarah bagi keberlangsungan negara bangsa.

Kemunculan SBY, Megawati, JK, Sultan Hamengkubuono X, Prabowo Subiyanto, Yusril Iza Mahendra, Hidayat Nur wahid, Gus Dur, Rizal Ramli dan lain-lain tidak dihasilkan dari pertarungan sejarah, namun mereka dihasilkan dari demokrasi pasar yang menonjolkan popularitas/citra/dan mempertahankan dinasti politik dan terbukti telah menorehkan jejak hitam atas pelanggaran HAM, Memanipulasi kepentingan negara atas kekuasaan, dan lain sebagainya. Menjadi yakin bahwa Pertarungan sejarah dalam mekanisme procedural 2009 hanya melanggengkan kekuasaan pro status quo ataupun paling tidak hanya mendistribusikan kekuasaan yang terakhir dan pemimpin yang dihasilkanpun hanya berani dan pandai bersolek di depan kamera dan media massa.

Kita bisa membayangkan apa yang bakal terjadi dalam pelaksanaan pemilu hanya mendistribuksikan kekuasaan, mulai dari amuk massa, konflik antar caleg, parpol dan seterusnya akibat dari rumitnya pelaksanaan pemilu, minimnya sosialisasi KPU, rendahnya integritas anggota KPU dan lain sebagainya. Pemilu 2009 harus menjadi stimulus untuk menampar mimpi mayoritas rakyat dan elit politik akan ketidakjelasan arah demokrasi dan bangsa ke depan yang selalu didominasi oleh kepentingan modal asing. Kita telah terjerat dalam kubangan hutang luar negeri yang banyak, menjadi kakitangan asing dan selalu terkooptasi oleh kepentingan modal yang telah mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat. Pemilu 2009 akan menjadi pelajaran terakhir dan penting atas agenda-agenda distribusi kesejahteraan-kemakmuran dan agenda perubahan atas kehidupan negara bangsa yang lebih baik, adil.