Senin, 22 September 2008

Gerakan Kiri dan Garis Politik Parlementaris

Geliat pesta demokrasi 2009 semakin riuh rendah seiring dengan dimulainya proses kampanye terlama sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia. Kampanye tersebut dimanfaatkan oleh 34 Partai Politik (nantinya akan ditambah 4 partai politik yang memenangkan gugatan di PTUN) dan 6 partai politik local di Atjeh untuk meraih simpatik rakyat dengan berbagai janji maupun program-programnya.

Satu decade pasca reformasi yang sudah berhasil menjalankan dua pemilu secara demokrasi, harusnya nilai-nilai demokrasi secara substansial semakin meluas dengan bangunan ideology politik yang kuat. Namun dalam ranah politik real justru ketiadaan ideology politik yang jelas dari 43 partai politik peserta pemilu 2009 memberikan gambaran bahwa ada proses kegagalan dalam membangun proses politik dan demokrasi saat ini. Partai politik justru hanya dijadikan alat untuk merebut kekuasaan pragmatis yang kemudian hanya melakukan praktek-praktek culas dan korup seperti yang terlihat saat ini.

Berbicara soal ideology politik, yang menarik untuk disimak adalah munculnya fenomena gerakan-gerakan kiri yang mencoba berebut keuntungan sebagai peserta pemilu 2009. Gerakan kiri (baca : oposisi Orde Baru) yang di representasikan PRD (Partai Rakyat Demokratik) melihat bahwa panggung kekuasaan parlemen merupakan pintu masuk dalam melakukan perubahan yang fundamental. namun sejak kekalahan pemilu 1999 nama PRD kemudian kembali mewarnai panggung-panggung politik ekstraparlemen sebagai basis kekuatannya untuk melakukan tekanan politik terhadap pemerintahan.

Pada Pemilu 2004, kembali PRD berganti baju dengan POPOR untuk ikut dalam panggung politik borjuasi dan sekali lagi, begitu kuatnya arus kekuasaan politik orde baru sehingga POPOR gagal sebagai peserta pemilu. PRD yang sejak reformasi mau berkiprah dalam panggung politik borjuasi terus menemukan tembok-tembok kekuasaan yang anti terhadap demokrasi.

Memasuki pemilu 2009, kembali PRD dengan baju barunya (PAPERNAS) juga membangun kekuatan politik parlementaris juga mendapat hambatan dari kelompok status quo sehingga keberadaan PAPERNAS yang mengusung program Tri Panji yaitu : nasionalisasi perusahaan tambang, hapus utang luar negeri, dan bangun industry nasional untuk kesejahteraan rakyat menjadi momok bagi kelompok fundamental kanan. Dalam program strategis Tri Panji inilah sejatinya menjadi jalan keluar rakyat Indonesia untuk hidup lebih baik.

Dorongan garis politik parlementaris Papernas tidak berhenti disitu, dengan membangun blok kekuatan demokratis dalam melakukan perlawanan terhadap oligarki partai politik besar dengan partai-partai politik yang tidak memenuhi electoral threshold mencoba untuk melakukan konsolidasi namun karena bangunan konsolidasi tidak didasarkan pada aspek ideologis, tidak bertahan sampai sekarang. Bangunan blok baru ini adalah dalam rangka untuk mengkritisi UU pemilu yang justru menjadi alat politik partai politik besar untuk menyederhanakan (baca: meniadakan partai kecil) peserta pemilu. Sekali lagi, bangunan blok politik tersebut tidak berumur panjang karena UU Pemilu masih berpihak pada partai-partai gurem. Kemudian langkah Papernas sebagai kekuatan alternative untuk menuju politik parlementaris 2009 semakin tertutup rapat. Memang politik borjuasi dalam siklus 5 tahunan masih tidak berpihak pada kekuatan gerakan kiri.


Berebut Keuntungan menuju Politik Parlementaris

Kegagalan demi kegagalan untuk meraup keuntungan politik parlementaris tidak menyurutkan kader-kader Papernas untuk menjalankan politik organisasinya. Hampir seluruh kader Papernas baik yang ada di pusat maupun daerah berebut kursi caleg tidak hanya di PBR (Partai Bintang Reformasi) tapi di PDIP, PKB, dan sejumlah partai lainnya. Politik diaspora gerakan kiri dalam kerangka masuk politik parlementaris justru dimanfaatkan oleh kader-kader PRD untuk meluaskan program-program perjuangan yang selama ini terbentur sistem. Jalan ini merupakan salah satu jalan strategis ketika alat politik PRD baik POPOR maupun PAPERNAS selalu terhambat oleh kekuatan yang anti demokrasi.

Virus pencaleg-an yang melanda aktifis kiri dalam rangka berebut kursi politik parlementaris menjadi seksis saat ini. Apalagi representasinya adalah Papernas, yang mayoritas kadernya mengisi kekosongan kursi caleg di PBR. Fenomena ini perlu disimak karena dua partai politik ini sangat berbeda, Papernas sebagai kekuatan gerakan kiri sementara PBR merupakan partai politik berbasis Islam religious. Ada dua kutub yang berbeda dan sulit untuk ditemukan benang merah ideology politiknya. Itulah politik!, apalagi dalam masa demokrasi liberal saat ini, bangunan ideology politik semakin absurd.

Langkah yang diambil oleh Papernas saat ini secara positif adalah bukan hanya pragmatis akan tetapi lebih pada politik strategis karena pertama, untuk meluaskan panggung politik parlementaris dengan melakukan politik propaganda Tri Panji yang selama ini menjadi momok bagi kelompok fundamental kanan. Hal ini diambil karena dalam proses propaganda program tersebut selalu terbentur hambatan bukan hanya dari kelompok fundamental akan tetapi dari blok media yang sampai sekarang belum berpihak kepadanya. Nah, proses kampanye selama 8 bulan ini merupakan ruang untuk melakukan propaganda secara luas di seluruh basis-basis PBR maupun lainnya. Kedua, garis politik parlementaris (pemilu) saat ini merupakan satu-satunya alat untuk melakukan perubahan secara fundamental, cara yang paling demokratis tentunya. Lihat saja fenomena kekuatan amerika latin, bahwa perubahan atau pergantian kekuasaan dilakukan melalui Pemilu dan dimenangkan kelompok-kelompok pro rakyat seperti di Venezuela, Bolivia, chile, argentina dll. Ketiga, melakukan penguatan struktur politik organisasi di seluruh daerah. Aura politik parlementaris merupakan seluruh kekuatan rakyat adalah pemilu 2009, sehingga akan sulitlah kalau mau kita tarik dalam politik ekstraparlementaris.

Namun dalam satu sisi negatipnya, garis politik parlementaris yang diambil Papernas dengan memasukan kader-kadernya di Caleg PBR ataupun lainnya adalah bacaan politik yang salah. Pertama secara obyektif bahwa gerak perkembangan masyarakat saat ini sungguh apatis terhadap elit dengan semakin mengentalnya oligarki politik. Apatisme rakyat kemudian teraplikasikan dalam bentuk golput yang dalam banyak pilkada menjadi pemenangnya sehingga bisa dipastikan adalah pemilu 2009 angka ini justru hanya kekuasaan pragmatis, dalam beberapa fakta dijelaskan bahwa keberadaan partai politik sampai hari ini belum mampu menjawab akar persoalan rakyat Indonesia, justru yang terjadi adalah politik daur ulang yang hanya melanggengkan kekuasaan status quo.

Kedua, partai politik saat peserta Pemilu 2009 memiliki dosa sejarah masa lalu, artinya bahwa keberadaan partai PBR ataupun lainnya selama ini selalu membuat kebijakan yang tidak pro rakyat seperti Pembentukan UU PMA, UU Privatisasi, UU Migas, UU BHMN, UU BHP, UU 13 tentang perburuhan, pencabutan subsidi terhadap rakyat miskin dll. Kolaborasi dengan kekuatan reformasi gadungan tersebut tentunya menyalahi garis perjuangan politik PRD yang selama ini berpihak pada kepentingan rakyat miskin. Melihat kondisi obyektif semacam ini tentunya adalah mustahil ketika komitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat miskin yang selalu dibawa Papernas dalam setiap programnya disepakati oleh partai-partai politik tersebut termasuk PBR.

Dalam sisi yang lain, keberadaan PBR sekarang dengan masuknya caleg dari kader-kader Papernas justru menambah energi untuk melakukan radikalisasi struktur politik organisasinya yang selama ini belum pernah teruji. Karena PBR tidak memiliki sejarah se-radikal Papernas dalam melakukan advokasi terhadap perjuangan rakyat, maka dengan masuknya kader-kader Papernas tentunya akan semakin meneguhkan dan menambah semangat bukan hanya melakukan politik pemenangan akan tetapi lebih menguatkan PBR dalam garis perjuangan rakyat miskin. Struktur yang terbangun kemudian menjadi satu kekuatan alternative baru dari sekian partai politik yang ada justru hanya bergerak ketika menjelang pelaksanaan pemilu. Namun image PBR sebagai partai politik Islam justru menjadi perjuangan basis ideology sosialis religious yang menjadi harapan pembentukan tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial. Maka masuknya kader-kader Papernas ini juga merupakan lapangan teori baru antara kelompok kiri dengan kelompok kanan mampu menyatukan kekuatannya menuju perebutan kekuasaan.

Gambaran diatas tentunya menjadi gambaran umum, bahwa bangunan ideology politik gerakan kiri semakin luntur ketika dihadapkan pada politik kekuasaan borjuasi. Tidak ada pembatasan garis politik yang jelas menunjukkan dari keberhasilan dari demokrasi liberal, artinya bahwa liberalisasi (yang dulunya selalu menjadi tuntutan PRD dalam setiap aksinya melawan kediktatoran orde baru) hari ini justru telah memakan tuannya sendiri. mungkin slogan “buatlah sejarah, Jangan lari dari sejarah, atau anda akan dimakan sejarah” akan menguji kebenaran teori yang diambil oleh Papernas dalam memasuki politik parlementaris. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar