Senin, 22 September 2008

Dinamika Gerakan Mahasiswa dan Politik Kekuasaan

Pupusnya Harapan Rakyat
Hampir 9 tahun gerakan reformasi belum kunjung menghasilkan perubahan atas keadilan dan kesejahteraan rakyat, justru malah sebaliknya. Dalam logika masa transisi demokrasi hal utama dalam melakukan perbaikan pembangunan menuju proyek modernitas adalah bagaimana sebenarnya melakukan penguatan hubungan antara rakyat dan negara? Negara yang di indetikan dengan pemegang otoritas kebijakan yang didalamnya terdiri dari unsur-unsur birokrasi, hukum dan alat keamanan serta aset-asetnya yang terlembagakan dalam bentuk institusi pemerintahan, sedangkan rakyat adalah masyarakat sipil.

Nah dalam rangka menguatkan hubungan negara dengan rakyat, yang perlu dilakukan adalah bagaimana sebenarnya menguatkan pula birokrasi yang selama ini cenderung korup dan tidak accountable dengan penegakkan hukum yang memenuhi rasa keadilan serta penguatan partisipasi rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Dalam transisi demokrasi seperti inilah kembali lagi peranan mahasiswa yang termanifestasikan dalam “intelektual organik” harus mampu memberikan penyadaran dan bergerak bersama-sama dengan rakyat melakukan kontrol penuh terhadap penyelenggaran negara.
Sudah hampir 1 dekade yang telah menjalankan dua kali pemilu yang “cukup” demokratis secara langsung dan hampir 123 kali lebih pemilihan kepada daerah yang tersebar di seluruh pelosok, ternyata belum cukup dijadikan pijakan untuk lepas landas menuju masyarakat yang menjunjung tinggi ham, demokrasi dll. Munculnya kebijakan yang tidak memihak rakyat seperti impor beras, perpres 36 soal tanah, kenaikan bbm, penanganan korupsi yang “tebang pilih”, munculnya produk hukum yang diskriminatif, polemik produk hukum seperti PP 37 tentang kenaikan gaji anggota DPRD, munculnya RUU Kamnas yang mengindikasikan kembalinya orde baru ke wilayah panggung politik dengan menyerahkan otoritas sepenuhnya pada TNI, munculnya RUU Penanaman Modal, pencaplokan wilayah luar oleh Malaysia dll yang sarat akan kepentingan modal adalah serentetan pengkondisian untuk meruntuhkan martabat dan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat.
Sementara begitu banyak terjadinya konflik suku di ambon, poso, papua yang terjadi selama ini membuktikan bahwa ancaman terhadap keutuhan bangsa ini kembali menyeruak menjadi politik nasional. Sekat-sekat demokrasi yang telah dibuka ternyata belum cukup untuk mengakomodir kepentingan kelompok minoritas, bahkan justru lembaga-lembaga seperti DPR, Komnas Ham, KPK dll sebagai kepanjangan otoritas pemerintahan yang dijadikan alat legalitas semata.
Ditambah lagi persoalan ekonomi sosial seperti pengangguran tinggi, angka kriminalitas tinggi, banyaknya privatisasi bumn, anak putus sekolah semakin banyak, angka bunuh diri tinggi, penggusuran, kasus malnutrisi, bencana alam, lumpur lapindo yang telah membuat perekonomian jawa timur terganggu, kecelakaan transportasi, bencana flu burung, demam berdarah, harga sembako yang kian melonjak sampai pada tidak meratanya proses pembangunan yang menyebabkan harapan rakyat terhadap pemerintahan/elit penguasa kian pupus yang akan berakibat fatal terhadap stabilitas nasional terganggu. Ketidakpercayaan ini bukan hanya terjadi pada elit penguasa, akan tetapi juga terjadi pada partai-partai politik yang ikut membidani produk eksploitatif hukum tersebut yang cenderung bersekutu maupun beroposisi secara malu-malu terhadap pemerintahan yang ada.

Politik Kekuasaan dan Mahasiswa
Realitas sosial yang begitu pelik dihadapi rakyat tidak bisa dilepaskan oleh peranan mahasiswa yang setengah hati dalam menuntaskan berbagai problem politik ekonomi. Sehingga kembalinya mahasiswa ke bangku kampus/kuliah menjadi dosa sejarah terhadap perjuangan rakyat dalam rangka membebaskan diri dari eksplotasi negara. Mahasiswa masih malu-malu dalam melakukan perebutan kekuasaan, dimana kekuasaan dapat diterapkan pada tingkatan-tingkatan tertentu dalam realitas sosial. Seperti kampus, kampung, organisasi sampai pada struktur negara. Akan tetapi kesalahan besar terhadap mahasiswa yang masih mengusung gerakan moral justru dimanfaatkan oleh borjuasi nasional untuk mengambilalih kekuasaan politik negara. Sebenarnya banyak pelajaran yang membuktikan bahwa mahasiswa harus tidak alergi pada politik praksis (senjata orde baru untuk membungkam gerakan kritis mahasiswa).
Belajar dari pemilu 1955 yang telah melibatkan mahasiswa untuk masuk ke dalam parlemen Orde Lama, 1966 yang juga memasukan mahasiswa dalam kabinet orde baru, dan pemilu 1999 dan 2004, membuktikan bahwa gerakan mahasiswa memiliki peran yang cukup strategis dalam kancah politik nasional, akan tetapi peran tersebut tidak didukung dengan kapasitas mahasiswa sebagai negarawan untuk berani mengambil peran politik secara maksimal dalam mencapai keadilan.
Berangkat dari ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik, pemerintahan, bangkitnya gerakan mahasiswa tidak semata-mata muncul sebagai seorang “hero” yang mampu menyelesaikan segala persoalan, akan tetapi lebih melihat sebagai bagian rakyat yang terkena dampak kebijakan. Kebangkitan secara bersama-sama dan berjuang dengan rakyat untuk terus berpikir kritis, rasional dan obyektif dalam menguatkan kontrol terhadap penyelenggaraan negara sebagai bagian dari proses demokrasi dan juga merupakan bentuk reflesive secara mendalam terhadap dinamika mahasiswa yang memiliki kecenderungan semakin menurun.
Hal yang tidak kita sadari adalah mahasiswa saat ini telah mengalami degradasi moral yang akut. Hancurnya tatanan sosial sejak gerakan 98 merupakan kecerobohan dan kegagalan mahasiswa dalam mengawal agenda reformasi. kegagalan demi kegagalan tercermin pada peranan mahasiswa yang semakin hari semakin berkurang terhadap perjuangan politik rakyat. mahasiswa lebih menikmati bangku kuliah sebagai menara gading dengan menjauhkan diri dari realitas sosial. Bahkan jargon-jargon ke intelektualan telah mengilusi kesadaran rakyat ( disisi lain bahwa kampus dengan ilmu pengetahuan telah berperanan penting dalam proses pembuatan produk yang diskriminatif terhadap kelas mayoritas rakyat), Artinya bahwa ilmu pengetahuan yang menciptakan mahasiswa telah melakukan kuasa penuh yang memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah.
Dalam perspektif gerakan mahasiswa yang telah menyumbang proses perubahan demokrasi, politik kekuasaan yang telah berhasil direbut dari kediktatoran Orde Baru telah dimanfaatkan oleh elit borjuasi yang tidak bertanggungjawab. Cukup sudah mengakhiri perjalanan transisi demokrasi yang berjalan tertatih-tatih yang juga belum menemukan makna dan identitas sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Hampir satu dekade perjalanan reformasi yang belum kunjung selesai, semantara polarisasi gerakan mahasiswa semakin tinggi dan semakin terpuruknyanya realitas sosial adalah merupakan tantangan bagi gerakan mahasiswa/intelektual kritis untuk masuk dalam arus besar realitas sosial untuk membangkitkan spirit rakyat dalam usaha pembebasan diri. Sebagai intelektual dan mahasiswa yang memiliki kemauan keras dan jiwa progresif revolusioner, berbagai momentum tersebut harus dimaknai sebagai kembalinya gerakan mahasiswa dalam mengisi ruang-ruang politik yang selama ini tidak berfungsi secara maksimal demi perwujudan kesejahteraan sosial. Ketidakmaksimalan ini lebih dikarenakan ketidakmampuan aparat negara ( mayoritas memiliki karakter korup) kita dalam mengelola dan menjalankan pemerintahan.
Momentum tersebut bukan hanya dijadikan suatu hal yang biasa, akan tetapi harus menjadi pijakan bagi gerakan politik mahasiswa dan rakyat secara keseluruhan untuk menyatukan diri dalam menghadapi gelombang besar neoliberal dan kaki tangannya yang telah memaksa harga diri kita tergadai. Praktek korup aparat negara yang menyebabkan keterpurukan bangsa ini telah menjadi karakter bangsa ini secara sistematis. Keterpurukan ekonomi politik ini harus menjadi stimulus bagi elemen progresif bangsa khususnya gerakan mahasiswa dan kelompok muda yang revolusioner untuk terus tidak menyerah dalam keadaan dan bangkit menjadi manusia-manusia yang unggul dalam kapasitasnya untuk mengakhiri menjadi bangsa kuli dan membangun bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Kemandirian dan kedaulatan yang selama ini tergadaikan, harus direbut kembali dengan menguatkan peranan-peranan kelompok muda yang progresif dalam ranah politik, ekonomi, sosial dan hukum melalui wadah perjuangan partai politik dan penguatan terhadap organisasi lainya dalam rangka untuk menguatkan civil society dan peranan negara. Pergantian kepemimpinan melalui demokrasi prosedural tidak serta merta diberikan oleh kepemimpinan yang korup akan tetapi harus direbut oleh kelompok muda yang memiliki jiwa dan karakter kebangsaan yang kuat dalam membangun tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan nilai-nilai budaya. Muara-muara untuk bersinggungan dengan kekuasaan harus terus digelorakan sehingga tujuan untuk membebaskan rakyat dari sistem yang mengeksploitasi harus segera di wujudkan. Nah yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah gerakan mahasiswa atau intelektual kritis mampu dalam mengemban tugas sejarah besar tersebut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar