Minggu, 28 Desember 2008

Menebar Janji, Menjauhkan dari Rakyat

Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun depan bisa jadi merupakan momentum penting penguatan sistem demokrasi negara ini. Seperti halnya di negara demokrasi mana pun, mekanisme pemilu acapkali menentukan ”nasib” penguatan demokrasi secara signifikan karena di situlah kita memilih tokoh yang bakal memandu demokrasi itu.

Tensi politik menjelang mekanisme procedural semakin panas. Kesibukan partai politik, caleg, capres dan cawapres sampai pada tim sukses dalam mempersiapkan ajang perebutan kekuasan terlihat dimana-mana. Berbagai atribut partai maupun caleg tersebar di sudut tempat strategis yang memungkinkan terlihat oleh public dan kemudian harapannya adalah public akan bersimpati dan memilihnya. Sementara, pertarungan diantara partai politik peserta pemilu maupun caleg, capres dan cawapres dalam memperebutkan rasionalitas suara rakyat semakin sengit. Pertarungan tidak hanya dalam medan politik iklan yang mencoba untuk mensosialisasi dan mengenalkan berbagai program namun sudah dalam medan politik real [baca:daerah pemilihan] untuk berebut kerendahan sikap pemilih. Pemilu menjadi alasan elit politik untuk kembali menjamah kegelisahan rakyat dan kembali lagi meninggalkan rakyat ketika mendapatkan kekuasaannya.

Sekarang elit politik dan pemburu kekuasaan lainnya telah disibukan dengan mekanisme procedural dan menebar “virus” janji yang bisa menyembukan penderitaan rakyat, namun kesibukan tersebut justru tidak berhubungan dengan yang dihadapi rakyat sehari-hari, rakyat terus dipaksa untuk memikirkan dan menemukan jalannya sendiri dari gempuran krisis. Sementara elit politik terus menjejali kesadaran sejati rakyat atas ketidakpercayaan pemilu dalam membawa perubahan kesejahtaraan. Wujud ketimpangan perilaku elit politik yang nafsu kekuasaan semakin tinggi dengan rendahnya partisipasi politik rakyat.

Realitas POlitik Rakyat
Pemilu merupakan indikator dari pemerintahan yang demokratis, mekanisme sirkulasi kepemimpinan yang dilakukan secara demokratis dengan melibatkan partisipasi seluruh rakyat, maka keberadaannya sangat penting terhadap perubahan politik nasional yang dilakukan secara reguler/periode (demokrasi prosedural). Keberadaannya sesungguhnya telah menyita energy elit politik pemburu kekuasaan dalam rangka merebut dan mempertahankan kekuasaannya.

Namun, dalam proses perjalanannya demokrasi berjalan semakin liar tidak terkontrol sehingga bukan perubahan menuju perbaikan kesejahteraan namun demokrasi telah terbajak oleh elit politik dan mengakibatkan kesejahteraan rakyat semakin kritis. Bahkan negara telah abai dalam melindungi warganegaranya dari tekanan politik-ekonomi global yang semakin mengganas, bahkan tekanan ini telah dilegalisasi atasnama kepentingan public dalam bentuk Undang-undang dimana hampir 90 % produk hukum yang dihasilkan pasca reformasi 98 cenderung bermuatan politis dan memihak kepentingan asing, sebut saja UU Migas no 2 tahun 2001, UU air,UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU PMA, UU BHP, UU Minerba dan seterusnya. Disinilah bisa disimpulkan bahwa negara telah terkooptasi oleh kepentingan modal/asing dengan mengatasnamakan iklim investasi, pertumbuhan, akhirnya liberalisasi perdagangan, kemudian disisi lain ketidakberdayaan dalam mengelola warganegaranya merupakan indikasi dari lemahnya peran negara. Padahal menurut Francis Fukuyama (Memperkuat Negara, 2005), salah satu ciri negara kuat adalah kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat tanpa harus menebar ancaman, paksaan dan kecemasan berlebihan.

Faktanya, hampir 90% produk kebijakan pemerintahan SBY-Kalla justru telah menuai persoalan baru karena ketiadaan fondasi sistem yang kuat tetapi lebih memprioritaskan pada capaian politik popularitas dan berkarakter selebritas. Setiap kebijakan yang dikeluarkan selalu memberikan “politik suap”dalam rangka meredam berbagai gejolak social, sebut saja BLT, Beasiswa, dan sejenisnya dan cenderung dipaksakan ke public. rakyat dipaksa untuk menerima tanpa memberikan solusi yang visioner sehingga apa yang terjadi hari ini seperti kelangkaan elpiji, pupuk, dan phk massal dll merupakan akibat dari ketiadaan bangunan sistem yang kokoh dalam membangun perekonomian nasional. Bahkan fondasi perekonomian yang telah dibangun funding father melalui UUD 45 telah diliberalisasikan dalam bentuk amandemen UUD.

Kebijakan yang tidak pro rakyat justru telah menjadi bom waktu yang dapat merusak kehidupan rakyat dan negara. Rakyat dipaksa menerima dan menjalankan semua kebijakan pemerintahan walaupun tidak menyelesaikan persoalan, sehingga dengan menerimanya tersebut kemudian rakyat juga dipaksa untuk mencari dan menemukan jalannya sendiri dalam menghadapi hidup yang semakin tidak bersahabat dinegeri yang kaya. Akibatnya adalah meluas dan meningkatnya suhu radikalisasi massa rakyat dalam menuntut keadilan atas kebijakan pemerintahan menjadi indicator meningkatnya tingkat kesadaran rakyat. protes warga atas kelangkaan elpiji, pupuk, langkanya solar dan minyak, politik tembang pilih korupsi, perilaku korup dan amoral elit politik, penegakkan supremasi hukum, tuntutan kesejahteraan guru, lapangan kerja [baca:PNS] sampai protes terhadap pendidikan mahal menjadi fakta atas kebijakan yang tidak pro rakyat.