Jumat, 16 Juli 2010

Demokrasi Multipartai dan Kualitas Demokrasi

Sejak hadirnya era reformasi, Indonesia sejatinya telah melakukan perubahan secara signifikan dan fundamental dalam desain sistem ketatanegaraan yang mengatur tata penyelenggaraan kehidupan berbangsan dan bernegara. Hal ini tergambarkan melalui proses amandemen UUD 1945 selama empat kali. Dinamika transisi demokrasi yang sedang dijalankan tidak dapat dilepaskan dari tuntutan publik yang menghendaki adanya perubahan dari orientasi kehidupan otoritarian menuju democratic. Perubahan sistem demokrasi memunculkan sistem kehidupan demokrasi liberal multipartai dalam pemilu. Sistem demokrasi liberal multipartai merupakan tatanan yang menjamin setiap partai politik dapat berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi berdasarkan undang-undang.

Sistem demokrasi multipartai yang diadopsi dari barat, kini telah masuk dalam tiga fase kehidupan transisi demokrasi, yakni pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009. Prakteknya konsolidasi demokrasi telah terjebak dalam aspek procedural sehingga produk politik yang dihasilkan tidak pernah menyentuh masalah substansi bangsa. Kualitas partai politik cenderung mengalami degradasi secara tajam, karena “popularitas” telah menjadi ukuran bagi pencapaian demokrasi dalam pembangunan partai politik. Kontestan politik dari tahun ketahun juga mengalami pertumbuhan yang pesat sampai pada tahun 2009. Pertumbuhan sistem multipartai justru berbanding terbalik dengan perbaikan kesejahteraan rakyat. Parpol semakin menjauhkan diri dari persoalan yang menghimpit rakyat dan mendekatkan diri pada kekuatan modal.

Melihat fenomena demokrasi yang muncul selama ini, tentunya nilai-nilai demokrasi itu dipandang sudah banyak terpenuhi. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan yakni, bagaimana dengan kualitas atau efektivitas yang akan dihasilkan. Sementara sistem multipartai yang menjadi pilihan belum memberikan kepastian akan menopang kekuatan sebuah pemerintahan presidensial seperti yang ada sekarang. Dari perjalanan 12 tahun reformasi, kualitas demokrasi ternyata tak hanya ditentukan oleh proses semata, akan tetapi dari hasil proses itu sendiri juga akan berdampak sejauhmana kemanfaatannya bagi masyarakat. Tidak seperti saat ini, instabilitas yakni keberadaan pemerintah kurang mendapat dukungan parlemen, sehingga format politik yang dibangun itu tidak mengarah pada terbentuknya pemerintahan yang kuat.

Dampak multi partai di Indonesia dapat kita rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat “Decision Making” berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan negara yang strategis meliputi aspek; politik, ekonomi, diplomasi dan militer. Bila kita mengamati secara fokus hubungan antara eksekutif dan legislatif, Presiden mengalamai resistansi karena peran legislatif lebih dominan dalam sistem multi partai. Sebenarnya posisi Presiden RI sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR. DPR yang merupakan lembaga negara, justru menjadi resistansi dalam sistem pemerintahan kita, karena mereka bias dengan kepentingan primordial masing-masing. Menyamakan visi dan misi dari 9 fraksi, dengan ideologi dan kepentingan yang sangat mendasar perbedaannya akan sangat sulit dicapai. Peran DPR, tak lebih sebagai opposisi yang selalu menentang pemerintah. Jika situasi dan kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas politik dalam negeri dan tentunya menjauhkan kesejahteraan dan keadilan bagi mayoritas rakyat.

Kebebasan politik dan reformasi yang semestinya menggaransi kemajuan dan kesejahteraan, dalam realitas politiknya tidak terbukti. Banyaknya partai politik tidak otomatis merupakan cerminan dari tingginya semangat demokrasi dikalangan elit politik. Kemudahan mendirikan parpol menstimulus elit untuk berlomba memperebutkan kekuasaan tanpa pertimbangan matang. Banyaknya partai politik didirikan tanpa elaborasi ideology yang jelas dan visi yang terukur serta aplikatif. infrastruktur kelembagaan partai politik dan basis konstituennya lemah sehingga gagal membangun kekuatan politik yang pantas diperhitungkan.

Penyederhanaan partai politik merupakan agenda rasional politik yang penting untuk dilakukan dalam memperkuat sistem presidensial. Gagasan untuk menyederhanakan parpol mencuat ke permukaan, dengan adanya usulan untuk merevisi UU Pemilu. Di dalam rencana revisi UU Pemilu tersebut diusulkan untuk meningkatkan parliamentary treshold (PT) yang selama ini 2,5 persen, menjadi 5 persen pada pemilu 2014 nanti. Upaya mengendalikan laju pertumbuhan partai politik secara alamiah dan democratic dengan menaikan ambang batas 5 persen untuk pemilu 2014 harus menjadi agenda bersama dalam rangka untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan keberlanjutan pembangunan demi tercapainya kesejahteraan umum. Kemudian, penyederhanaan partai politik juga akan mempermudah terbentuknya koalisi secara permanen partai politik dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden sehingga ketika menang mendapat dukungan mayoritas.

Langkah-langkah penyederhanaan partai politik dengan menaikan parliamentary threshold 5 persen harus di lakukan secara koheren dan sinergis antar instansi kenegaraan. Penyederhanaan parpol dimungkinkan untuk mengurangi ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh dominannya partai politik di parlemen dalam melakukan check and balances terhadap pemerintahan sehingga dapat dicapai keseimbangan dan keselarasan dalam memajukan pembangunan.

Minggu, 18 April 2010

Negara Pelayan Modal

(Sebuah Keprihatinan terhadap upaya paksa Negara dalam men-privatkan Pelabuhan Tanjung Priok)

Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata. Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud.
Sebagai sebuah bangsa yang memiliki kedaulatan ekonomi dan politik berdasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila, kini Indonesia hanya sekedar menjadi pasar, sasaran eksploitasi alam, dan sasaran eksploitasi tenaga kerja murah bagi kemajuan negeri-negeri kapitalis maju. Produktivitas rata-rata masih sangat rendah sementara, konsumtivisme dipaksa menjadi budaya dominan. Pengangguran semakin banyak, kemiskinan bertambah, dan praktek percaloan bukan sekadar budaya di sektor ekonomi tapi, juga melanda sektor politik dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Penghancuran industri strategis nasional oleh Negara justru marak terjadi pada era reformasi. Atasnama “efisiensi” Negara melakukan program privatisasi terhadap seluruh asset strategis sebagai satu paket kebijakan nekolim. Pemerintah selama ini beragumen bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk menutup deficit anggaran. Privatisasi dipercaya sebagai jalan menghilangkan intervensi politik (birokrasi Negara) terhadap BUMN. Privatisasi juga dianggap cara yang paling ampuh untuk menyehatkan dan meningkatkan kinerja BUMN.
Privatisasi menjadi satu paket dengan liberalisasi ekonomi dan deregulasi yang kini berujung pada dominasi modal asing terhadap 90% pengelolaan migas, 50% penguasaan perbankan nasional
Privatisasi sebagai upaya untuk mengambilalih ekonomi nasional. Penguasaan asset-aset strategis nasional seperti air, tanah, migas dan lain-lain pada hakekatnya sebagai bentuk penjajahan baru. Agresifitas kekuatan modal asing dalam melakukan ke privat-an terhadap ruang-ruang public selama ini justru telah memuluskan penyedotan surplus ekonomi rakyat. Meluasnya pembentukan ruang-ruang privat inilah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai neo kolonialisme (NEKOLIM) ekonomi Indonesia.
Kegagalan pemerinah dalam pengelolaan ekonomi public (BUMN) sebagai bagian dari warisan struktur ekonomi colonial sentralistik yang mendoron ifisiensi dan eksploitasi BUMN. Negara justru telah bertransformasi menjadi pelayan kapitalisme global yang jelas bertolakbelakang dengan amanat pasal 33 UUD 1945.

Liberalisasi Sektor Pelabuhan
Agresifnya modal asing dalam melakukan ekspansi kekuasaan ekonomi politik melalui produk regulasi di wilayah Indonesia sudah tidak dapat terbendung. Aset strategis termasuk pelabuhanpun (Pelindo) secara perlahan sudah dikuasai oleh modal asing, Saat ini kepemilikan sahan perusahaan afliasi PT Pelindo II sebanyak 51 persen kepemilikan sahamnya dimiliki oleh Grosbeak Pte.Ltd sebuah anak perusahaan Hutchinson Port Holding dari Hongkong. Perusahaan ini memperoleh konsesi 20 tahun untuk mengelola pelabuhan priok.
Pelabuhan di kota-kota besar khususnya di Medan, Batam, Jakarta, Surabaya/Gresik/Tuban, Makassar menjadi pilot project terhadap keberhasilan ekspansi modal asing sebagai Port Operator. Paket liberalisasi pelabuhan ini sebenarnya untuk memuluskan jalannya liberalisasi perdagangan, system yang menghilangkan proteksi Negara dengan membentuk kawasan ekonomi khusus (KEK) di beberapa kawasan pelabuhan strategis.
Melalui UU Pelayaran No.17 Tahun 2008, paket liberalisasi pelabuhan memiliki legitimasi secara hukum. Peluang masuknya orang ataupun perusahaan dalam membangun atau mengelola terminal di pelabuhan Indonesia yang selama ini dioperasikan Pelindo akan semakin mudah. Produk legislasi inipun menjadi ancaman terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia dan tentunya akan mengurangi pendapatan Negara berupa pajak dan deviden yang pada tahun 2007 mencapai Rp.1,180 triliun. Seiring dengan itupun, bahwa paket UU no.17/2008 menguatkan program Free Trade Agreement di tingkat kawasan ataupun G to G yang menegaskan pada ketiadaan biaya tariff (tarrif non barrier) pajak bea.
Dalam satu sisi, kondisi ini merupakan tantangan terhadap percepatan perdagangan bebas, namun kondisi real industri nasional yang sedang mengalami kebangkrutan dalam dasawarsa terakhir tentunya akan kalah bersaing dengan industri Negara maju yang sudah menancapkan kakinya di Indonesia. Kran liberalisasi yang dibuka secara luas dan kekuatan modal asing yang terus meluaskan ekspansi jajahannya tentunya akan berdampak buruk terhadap kedaulatan ekonomi politik.
Liberalisasi tidak mengenal batas social dan budaya, mereka merangsek dan menghancurkan pondasi kehidupan budaya rakyat. Tidak terkecuali upaya penggusuran makam mbah Priok secara paksa oleh Pelindo II adalah contoh kecil dari agresifnya kekuatan modal dalam menghancurkan tradisi/keyakinan warga. Atasnama modal, kekuasaan telah sewenang-wenang terhadap perlindungan hak asasi manusia dan hak ulayat warga yang mempertahankan tradisi/keyakinan tersebut secara turun temurun.
Oleh karena itu, pelabuhan harus dikembalikan pada fungsi awalnya yang tidak hanya sebagai pusat perdagangan (ekonomi) tetapi juga sebagai basis kekuatan politik dan benteng pertahanan dari ancaman perdagangan bebas yang tidak mengenal toleransi sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Proteksionisme dan monopolistic terhadap peran pelabuhan oleh negaralah yang dapat menjaga dan memperkuat basis ekonomi nasional dari ancaman perdagangan bebas sehingga pondasi dan tatanan ekonomi nasional dapat bangkit dan berdiri sejajar dengan bangsa lain.

Minggu, 31 Januari 2010

FTA = Modus Operandi Penjajahan Modern

Sebuah Pengantar
Satu mekanisme yang sekarang paling banyak dipakai untuk mempercepat ekspansi kapitalisme neo-liberal adalah melalui perdagangan bebas. Pada prinsipnya perdagangan bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi. Liberalisasi yang menghilangkan peran pemerintah dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat dan menyerahkannya pada peranan pasar (baca: pemilik modal).

Indonesia dalam prakteknya telah mengikatkan diri dengan dua perjanjian perdagangan internasional, yakni WTO dan AFTA. Perjanjian perdagangan bebas di tingkat multilateral melalui WTO (World Trade Organization) yang sebelumnya bernama GATT (General Agreement Trade and Tariff), sedangkan ditingkat kawasan disebut FTA (Free Trade Agreement). Pembukaan pasar melalui penghapusan segala bentuk hambatan perdagangan dan menghilangkan segala sesuatu yang dianggap distorsi bagi pasar bebas. Kebijakan liberalisasi perdagangan yang merupakan bagian dari kebijakan neoliberalisme dijalankan mealui penghapusan proteksi, tarif bea masuk dan hambatan non tarif lainnya.

Seluruh strategi pembangunan ekonomi di sebuah negara sekarang dihapus dan diganti oleh perjanjian perdagangan bebas. Indonesia adalah contoh bagaimana sebuah negara di lucuti kedaulatan ekonominya lewat IMF yang telah membuka kran liberalisasi, kemudian amandemen ke-4 UUD 1945 khususnya pasal 33 sehingga menjadi konstitusi neoliberal yang ramah terhadap pasar. Inilah pola invasi nekolim abad 21 melalui konstitusi, hukum positif dan perjanjian-perjanjian pasar bebas.

Pasca kebuntuan perundingan WTO, Indonesia telah melakukan perjanjian perdagangan bebas dengan negara maju seperti Jepang, China, Korea, Australia, New Zealand, AS, Uni eropa dan lainnya. Perjanjian perdagangan bebas hampir meliputi seluruh bidang yang berkaitan dengan investasi dan perdagangan. Kesepakatan dalam FTA lebih menyeluruh dibandingkan dengan perjanjian dalam WTO karena menyangkut seluruh aspek liberalisasi perdagangan barang dan jasa. Padahal d engan kesepakatan WTO, kepentingan Indonesia sangat dirugikan akibat berbagai aturan pembukaan pasar dan liberalisasi yang menyebabkan arus impor negara berkembang tertinggal.

FTA (pertama kali lewat AFTA tahun 2002, China-ASEAN FTA tahun 2004 dan Indonesia – Jepang EPA tahun 2007), ASEAN Korea FTA, ASEAN-Jepang, ASEAN- Australia/NZ FTA, , sedang dirundingkan pula FTA dengan India, FTA dengan Uni Eropa, FTA-AS, FTA dengan EFTA ( Europen Free Trade Area), perlahan namun pasti Indonesia membuka lebar-lebar bagi invasi nekolim. Bentuk perdagangan bebas ini mengarah pada “ single market and productiona base” kawasan yang memiliki kompetensi ekonomi tinggi dan kawasan yang berintegrasi penuh pada perekonomian global serta “free flow of goods, capital, services, and skilled labor”. Indonesia adalah pasar terbesar di ASEAN, tetapi tunduk penuh pada kepentingan negara maju.

Pada perjanjian ASEAN-Australia/NZ (AANZA-FTA), sekitar 86% dari pos tarif Indonesia secara bertahap akan dipangkas menjadi nol persen pada 2015. Dan sekitar 13% tarif menjadi nol persen pada 2009. Dari Australia, 92% tarif menjadi nol persen pada tahun pertama. Lebih dari 70% pos tarif Selandia Baru juga langsung nol persen di tahun pertama. Sementara produk peternakan, seperti daging dan susu, dari kedua negara itu dinolkan pada 2017-2020.

Padahal jika dicermati perjanjian tersebut justru merugikan Indonesia. Selama ini misalnya neraca perdagangan non migas Indonesia baik dengan Australia dan New Zealand selalu negatif. Artinya tanpa perdagangan bebas pun, Indonesia lebih banyak mengimpor barang dari kedua negara tersebut. Australia selama ini dikenal sebagai pemasok utama susu, daging sapi dan sejumlah bahan pangan ke Indonesia.

Jika tarif diturunkan menjadi nol persen maka dapat dipastikan ketergantungan pada impor akan semakin tinggi. Sementara industri pertanian yang kini terseok-seok akibat gempuran produk-produk impor akan semakin terpukul. Sekedar catatan hingga saat ini Indonesia mengimpor sejumlah produk pertanian antara lain: gandum sebanyak 100% dari total kebutuhan gandum dalam negeri, kedelai 61%, gula 31%, susu 70%, daging sapi 50%, garam 66%, dan kapas sebanyak 80%.

Belum lagi dampak free trade dalam bidang jasa. Sektor jasa seperti pendidikan, kesehatan sangat berpotensi tergulung akibat kalah bersaing dengan negara-negara sekelas Australia dan Singapura. Ide-ide dan budaya-budaya dari negara-negara tersebut akan makin mencengkram.


Agresifnya Rejim Perdagangan Bebas
Polemik masalah liberalisasi perdagangan yang berlangsung di Indonesia saat ini berkaitan dengan pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Aggreement/ACFTA) sebenarnya bukanlah hal baru. Dalam sejarah perdagangan internasional, polemik tersebut sudah berlangsung sejak ratusan lalu.

Sudah lebih 5 tahun, sejak tanggal 4 November 2004 di Phnom Pen Kamboja ditandatanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation atau kerja sama ekonomi negara-negara Asean dengan China dalam bentuk Asean- China Free Trade Area (ACFTA). Kesepakatan kerja sama ini sendiri dibangun di atas argumen-argumen dan mempunyai tujuan yang sangat ideal.

Mengingat China sebagai negara yang mempunyai pertumbuhan tertinggi di dunia sekarang ini, dengan penduduk 1,2 miliar jiwa, ditambah dengan penduduk Asean sekitar 500 juta jiwa maka menjadi total penduduk di dua kawasan ini menjadi sekitar 1,7 miliar jiwa. Jumlah penduduk yang sangat besar ini tentu menjadi pasar empuk produk dan jasa ke dua belah pihak.

Tujuan lainnya adalah meliberalisasi perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif serta mengembangkan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan kedua belah pihak, termasuk memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif kedua belah pihak. Khusus mengenai tarif bea masuk barang-barang hasil pertanian, termasuk sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan yang semuanya dikelompokan dalam EHP (Early Harvest Programme). Kerja sama ini mempunyai target mempercepat implementasi penurunan tarif barang-barang tertentu dimana di tahun 2010 akan menjadi 0%. Pengaruh pertama sebagai konsekuensinya adalah akan membanjirnya produk-produk hasil pertanian atau buah-buahan dari sesama negara ASEAN maupun dari China ke Indonesia. Dan konsekuensi ini sudah terjadi bahkan sejak ACFTA itu sendiri belum dimulai.

Kelompok kedua dalam Normal Track, yakni jadwal penurunan tariff yang telah disepakati oleh masing-masing negara anggota. Dalam hal ini NT dibagi menjadi dua bagian yaitu NT1 dan NT2 (flesibilitas). Kelompok ketiga, Sensitive Track yakni penurunan tarifnya agak lama dibandingkan dengan penurunan normal track. Terdiri dari Sensitive List ; tariff BM akan diturunkan/dihapuskan menjadi maksimal 20% pada tahun 2012 dan menjadi 0-5% pada tahun 2018, Highly Sensitive List; tariff BM akan diturunkan/dihapuskan menjadi maksimal 50% pada tahun 2015 dan menjadi 0-5% pada tahun 2020, GEL (General Exclusion List) merupakan daftar produk yang dikecualikan dari liberalisasi karena alasan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini sesuai dengan artikel 9 b GATT. Contohnya bahan peledak, minuman keras, limbah kimia. Tarif yang berlaku adalah tariff Umum (MFN).

Sebagai negara industri yang memiliki kemajuan pesat, China terus melakukan invasi pasarnya ke negara berkembang dalam rangka meningkatkan surplus pedagangan luar negerinya. Bahkan kebangkitan ekonomi China menyebabkan ancaman bagi industri negara maju sehingga secara cepat melakukan proteksionis terhadap pasar domestic. Berbeda dengan negara berkembang, Indonesia secara konsisten membuka perdagangan bebas yang telah menjauhkan dari asas keadilan.

Membanjirnya produk China di pasar domestic, menyebabkan usaha produk TPT menurun dari 57% pada tahun 2005 menjadi 23% pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik, 2008). Industri besi baja, tekstil dan produk tekstil (TPT), kimia anorganik dasar, furnitur dan lampu hemat energi menjadi lima sektor yang dikhawatirkan terkena dampak paling serius akibat pemberlakuan perjanjian ACFTA ini. Selain itu, ACFTA dipastikan mengancam kelangsungan industri yang selama ini berbasis pasar dalam negeri, dan dampaknya memicu meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diprediksi mencapai 7,5 juta orang secara nasional.

Paling tidak di lingkungan sektor usaha tekstil saja akan terjadi PHK sebanyak 1,2 juta orang. Industri tekstil merupakan salah satu sektor usaha yang terancam, karena selama ini tekstil nasional hanya menguasai 22% pasar tekstil domestik, dan 78% lainnya dipenuhi oleh tekstil impor. Dari 78% tekstil yang diimpor itu, 71% di antaranya masuk ke Indonesia secara ilegal.

Karena itu pemberlakuan pasar bebas ASEAN-China sudah pasti menimbulkan implikasi yang sangat negatif. Pertama, invasi produk asing terutama dari China di tengah lemahnya infrastruktur ekonomi, modal, daya saing, dan dukungan pemerintah, dapat menyebabkan hancurnya sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Sektor industri pengolahan (manufaktur) dan industri kecil menengah (IKM) merupakan sektor ekonomi yang paling terkena dampak realisasi perjanjian perdagangan bebas ini. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi.

Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Begitupula diproyeksikan lima tahun ke depan investasi di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM. Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya dikatagorikan akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari China (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).

Kedua, pasar lokal dan nasional yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Data statistik Kementerian Perdagangan RI, misalnya, menunjukkan, walaupun jumlah total perdagangan RI dan China meningkat cukup drastis dari US$ 8,7 miliar pada 2004 menjadi US$26,8 miliar pada 2008, namun toh Indonesia mencatat defisit perdagangan sebesar US$ 3,6 miliar. Artinya impor barang dari China lebih besar dari pada ekspor barang ke China.

Sebagai contoh, harga TPT China lebih murah antara 15% hingga 25%. Selisih harga yang lebih murah 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan apalagi bila perbedaannya besar. Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah pilihan pragmatis dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil China atau setidaknya pedagang tekstil.

Ketiga, kondisi ini akan membuat karakter perekomian nasional semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing, bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor sedangkan sektor-sektor vital ekonomi nasional juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi nasional Indonesia?

Keempat, jika di dalam negeri saja kalah bersaing bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan China? Data menunjukkan tren pertumbuhan ekspor non migas Indonesia ke China sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%. Ini lebih kecil dengan tren pertumbuhan ekspor China ke Indonesia yang mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat memungkinkan berkembang justru ekspor bahan mentah bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh China yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.

Secara umum, neraca perdagangan Indonesia dengan China dan negara-negara anggota ASEAN semakin defisit sebagaimana data ekspor-impor Indonesia yang baru dirilis BPS. Ekspor Indonesia ke China selama Januari-November 2009 mencapai US$ 7,71 miliar sedangkan impornya US$ 12,01 miliar. Dengan Singapura, ekspor Indonesia tahun 2008 US$ 12,86 miliar dan impor US$ 21,79 miliar. Indonesia juga mengalami defisit neraca dagang dengan Thailand sebesar US$ 2,67 sedangkan dengan Malaysia defisit US$ 2,49 miliar (Kompas, 5/1/2010). Ini sangat mengkhawatirkan di tengah arus liberalisasi perdagangan yang dijalankan Indonesia.

Kelima, terpangkasnya peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional karena perannya digantikan impor dampaknya juga menimpa penyediaan lapangan kerja. Tentu ini sangat memberatkan para pekerja dan pendatang baru dunia kerja. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang sedangkan pada periode Agustus 2009 jumlah pengangguran terbuka mencapai 8,96 juta orang.


Kebijakan Proteksi terhadap Pasar Domestik
Kontruksi ekonomi Indonesia telah dibangun diatas landasan kepentingan ekonomi politik pasar bebas. Perekonomian yang dibangun atas dasar hukum pasar tidak akan mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan bisa diperoleh ketika banyaknya asset-aset kekayaan alam dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan produksi dan pasar dalam negeri. Pemanfaatan asset ini harus dibangun diatas landasan konstitusi UUD 1945.

Langkah yang paling tepat dalam menguatkan industri nasional adalah dengan melakukan kebijakan proteksionisme, yakni melakukan perlindungan terhadap industri dalam negeri dari serangan produk luar negeri. Kebijakan perlindungan terhadap industri dalam negeri semata-mata untuk memperkuat basis fundamental ekonomi nasional yang menopang hajat hidup rakyat. Penguatan basis fundamental ekonomi nasional dengan memberikan pelayanan yang baik (perijinan), memprioritaskan pasokan energy untuk kepentingan industri nasional, memprioritaskan pemanfaatan bahan baku untuk kebutuhan industri dalam negeri, membangun infrastruktur distribusi yang cepat dan membangkitkan budaya cinta produk dalam negeri, memerangi pungutan liar terhadap industri dan memberikan bantuan subsidi yang lebih besar terhadap industri kecil-menengah agar bisa mempertahankan dan bahkan mengembangkan usahanya. Yang paling penting adalah harus melestarikan budaya eksportir bahan jadi yang memiliki nilai tambah (lebih) dan membangun kapasitas pengolahan sendiri (penguatan industri nasional).

Peran negara yang berpihak pada kepentingan nasional dan kebijakan proteksionisme atau nasionalisme ekonomi harus terus diperkuat. Proteksionisme diperlukan khususnya sektor strategis yang akan mendatangkan kekayaan dan modal nasional seperti sektor migas, pertanian (pangan-termasuk perikanan dan komoditas tropis). Yakni memberikan proteksionisme terhadap sektor strategis yang menguasai hajat hidup rakyat banyak dan sektor non strategis yang diserahkan kepada pasar yang diregulasi secara baik dan tepat.