Minggu, 19 Oktober 2008

Rekontruksi Fundamentalisme Ekonomi Kerakyatan untuk Kepentingan Nasional

Krisis keuangan global Amerika, bermula dari krisis kredit macet perumahan KPR (subprime mortgage) terjadi pada pertengahan Juli 2007, kepada para debitor menengah bawah yang hidupnya sangat bergantung pada pendapatan tetap yang pas-pasan. Ketika inflasi membengkak, mereka tidak bisa lagi mampu membayar bunga dan cicilan pokok. Pemotongan suku bunga secara marathon, peluncuran paket stimulus ekonomi, injeksi likuiditas ke sistem financial merupakan upaya untuk melakukan peredaman dalam rangka mencegah resesi ekonomi AS dan meredam kepanikan pasar financial. Namun, justru krisis tersebut meluas ke sistem perbankan, sektor perekonomian yang dapat berpotensi memicu resesi ekonomi dan krisis financial global yang lebih luas.

Kehancuran Wall Street menunjukkan bahwa ekonomi pasar bebas yang di pegang teguh tidak mampu meningkatkan dan mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang sudah dicapai. Kehancuran Wall Street justru bukti dari kegagalan kapitalisme “pasar bebas” yang telah menjadi paham ekonomi hampir seluruh belahan dunia.

Namun, seluruh kebijakan peredaman gejolak krisis keuangan global sebut saja bail out sebesar USD 700 miliar, pemotongan suku bunga secara marathon, peluncuran paket stimulus ekonomi dan injeksi likuiditas sistem financial dan lain-lain merupakan fakta dari ketidakkonsistenan kapitalisme “pasar bebas”. Atas nama Negara, pajak rakyat digunakan untuk men-subsidi para hedge fund dan para spekulan yang selama ini hidupnya bergelimangan kekayaan.

Keprihatinan pada pasar bebas dan persaingan sempurna menemukan momentumnya ketika beberapa negara di Asia dilanda krisis moneter (1997). Krisis moneter ini menyadarkan kita dari "mimpi" Adam Smith bahwa teori pasar bebas berdasar freedom of private initiative dan globalisasi sesungguhnya tidak bekerja untuk menciptakan stabilitas ekonomi global. Sebaliknya, kebijakan globalisasi cenderung menjadi momok bagi negara berkembang. Ideologi Laissez Faire sedang menampilkan wujud aslinya sebagai incapable market, penuh market failures. Pasar penuh kegagalan-kegagalan , terutama dalam mengatasi ketimpangan- ketim­pangan structural.

Perekonomian Indonesia tidak bisa dilepaskan dari percaturan perekonomian global. Belum surutnya penanganan dampak krisis moneter 97-98 yang pernah menghancurkan perekonomian nasional. Kini krisis keuangan global AS telah merangsek ke sendi-sendi perekonomian nasional. Kuatnya arus krisis keuangan global, justru ikut berpengaruh terhadap goyahnya pasar bursa saham nasional yang menjatuhkan nilai bursa perdagangan IHSG mencapai 10,38 % (8/10), menurunkan rupiah (mencapai Rp. 10.120/dollar), instabilitas iklim investasi, menurunkan tingkat ekspor, angka pengangguran yang meningkat, daya beli menurun dan lain-lain. Kuatnya turbulensi krisis keuangan global secara pasti dapat menghancurkan industrialisasi nasional yang sedang giat-giatnya tumbuh sejak krisis moneter 98.

Energi nasional saat ini memang tercurahkan untuk mengantisipasi gejolak krisis keuangan global agar tidak meluas ke sektor lain. Berbagai upaya untuk melakukan “peredaman” 10 langkah pemerintahan, penerbitan Perpu Jaminan Nasabah Bank, kucuran buy back saham BUMN sebesar Rp. 4 trilliun merupakan wujud dari kepanikan-kepanikan elit saat ini. Kebijakan-kebijakan tersebut dan cenderung pragmatis (baca : pendekatan neolib) tidak mampu memutus mata rantai agar supaya keluar dari krisis keuangan global, tetapi justru menjadi “bom waktu” penderitaan rakyat. Memprioritaskan pada sektor portofolio daripada sektor riil membuktikan bahwa prioritas penyelamatan ekonomi nasional memiliki kecenderungan jalan ditempat dan bukan untuk kepentingan rakyat. Pengalaman krisis 98 menjelaskan bahwa sektor riil mampu bertahan dan berhasil menopang perekonomian nasional ditengah gempuran krisis. Pertanyaan besar muncul, seberapa kuat pemerintahan dapat menahan gempuran krisis keuangan global? Kapan dapat diakhrinya krisis keuangan global?

Banyak perspektif pendekatan yang berbeda dalam rangka membawa rakyat Indonesia keluar dari jebakan ekonomi neoliberal. Pertama adalah pemerintahan secara gentlemen mengakui ekonomi pasar bebas (neoliberal) tidak sesuai dengan kepentingan nasional bangsa. Kedua kebijakannya harus mampu menguatkan industri dalam negeri, artinya bahwa ditengah harga BBM dunia yang terus anjlok, seharusnya pemerintahan berkomitmen untuk berani menurunkan harga BBM nasional karena BBM merupakan energi penggerak industrialisasi nasional. Jika harga BBM turun maka sektor riil bergerak, harga-harga pangan juga akan turun, inflasi turun dan BI tidak harus menaikkan BI rate yang merugikan sektor riil. Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan pangan, energi, dan sandang dalam rangka kemandirian ekonomi sehingga tidak tergantung pada negara lain.

Seharusnya, krisis keuangan global harus dijadikan momentum oleh pemerintahan SBY-Kalla untuk mengintropeksi semua kebijakan ekonomi neoliberal yang justru merusak sendi-sendi ekonomi rakyat. Kebijakan anti rakyat justru telah menjerumuskan pemerintahan pada lubang krisis yang berkepanjangan sejak 98. Momentum untuk membangkitkan dan menguatkan industrialisasi nasional ditengah gagalnya ideology Laissez Faire dengan meneguhkan kembali spirit Pasal 33 UUD 45. Peneguhan ini dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan social sehingga blue print pembangunan nasional berpegang teguh pada hajat hidup orang banyak harus menjadi keniscayaan sejarah. Peranan Pemerintah sebagai lead mind set Ekonomi Kerakyatan, agar supaya perubahan menuju perbaikan dapat lebih terbuka segera terjadi dalam kerangka prinsip Keadilan demi Persatuan.

Ekonomi kerakyatan yang bermodalkan pada prinsip keadilan harus selalu digelorakan menjadi spirit bersama dalam mencari jalan keluar dari krisis keuangan global. Langkah yang paling konkrit adalah mengembalikan spirit nasionalisasi asset-aset strategis dan perusahan-perusahan asing yang tidak memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan rakyat, hampir 10 tahun ini telah di obral secara murah kepada pihak asing harus menjadi keniscayaan sejarah bahwa kemandirian dan kedaulatan ekonomi politik rakyat harus menjadi roh perjuangan nasional yaitu pembebasan nasional dari eksploitasi dan penindasan. Menguatkan dan mengamankan industri nasional dalam rangka untuk menggerakkan perekonomian nasional dari gempuran krisis keuangan global menjadi bukti dari keperpihakan pemerintahan pada kepentingan nasional. Ketahanan perekonomian nasional harus mampu menopang kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat sehingga ketahanan perekonomian selalu berkorelasi terhadap kemandirian dan kedaulatan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar