Minggu, 12 Oktober 2008

Krisis Ekonomi Global = Kegagalan Kapitalis Pasar Bebas

Jatuhnya perusahaan financial di bursa saham Wall Street penopang ekonomi AS, membawa pengaruh besar terhadap perekonomian dunia. Nama-nama besar seperti Lehman Brothers, American International Group, JP Morgan’s, Merril Lynch, Goldman Sach dll sudah mengibarkan bendera putih. Simbol-simbol kekuasaan ekonomi kapitalis yang menerapkan ekonomi pasar bebas justru tidak berdaya menghadapi gempuran krisis ekonomi global yang terus merangsek ke sendi-sendi ekonomi. Kondisi ekonomi AS saat ini ditandai dengan inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, angka pengangguran yang melonjak, serta deficit budget dan deficit neraca pembayaran yang terus membengkak.

Keguncangan Wall Street bermula dari krisis subprime mortgage loan, yakni kredit pemilikan rumah (KPR) kepada para debitor menengah bawah yang hidupnya sangat bergantung pada pendapatan tetap yang pas-pasan. Ketika inflasi membengkak, mereka tidak bisa lagi mampu membayar bunga dan cicilan pokok.

Situasi yang sudah dimulai sejak sekitar lima tahun silam itu akhirnya meledak pertengahan 2007. Nilai surat berharga dengan underlying asset subprime mortgage merosot tajam, sehingga tidak bisa dijual pada harga wajar. Dalam kenyataan, nilai pasar yang wajar sulit diketahui karena banyak dan bervariasinya derivasi dari surat berharga dengan basis subprime mortgage. Total kerugian investasi di subprime mortgage mencapai lebih dari US$ 800 miliar, bahkan ada yang memperkirakan jauh di atas US$ 1 triliun.

Perkiraan bahwa krisis subprime mortgage segera berakhir tidak terbukti. Satu demi satu, perusahaan finansial mengumumkan kerugian akibat investasi di berbagai derivasi subprime mortgage yang bernilai triliunan dolar AS. Ketika harga subprime mortgage ambruk, utang melonjak tajam, jauh melebihi aset. Kerugian itulah yang kini harus ditolong oleh semua pembayar pajak, termasuk mereka yang selama ini tergolong hidup susah. Sekitar lima tahun terakhir, ekonomi AS sesungguhnya tidak lagi sehat. Daya beli masyarakat menengah bawah relatif tetap, bahkan sebagian mengalami penurunan berujung pada stagnansi yang berkelanjutan.

Masalahnya, jika krisis ekonomi yang melanda AS ini berlangsung dalam waktu yang lama, pengaruhnya sungguh akan sangat besar bagi stabilitas ekonomi-politik dunia. Pertama, sektor keuangan saat ini merupakan sektor yang paling tersebar dan paling terkait secara global. Krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis di sektor finansial, dengan sendirinya menghela ekonomi negara lain ke jalur krisis; kedua, konsumsi AS adalah yang terbesar di dunia dan menjadi sumber utama permintaan ekonomi dunia. Jatuhnya tingkat konsumsi di AS, sangat jelas membuat pertumbuhan ekonomi dunia melambat yang itu berarti, AS mengekspor krisis internalnya ke seluruh dunia; dan ketiga, sebagaimana dikemukakan John Bellamy Foster, seiring meningkatnya finansialisasi ekonomi dunia adalah kian mendalamnya penetrasi kekuasaan imperial terhadap negara-negara dengan kondisi ekonomi sedang berkembang (underdeveloped). Tujuan dari penetrasi ini, menurut William I. Robinson adalah untuk menghancurkan otonomi para aktor nasional dan selanjutnya menstrukturkan serta mengintegrasikan mereka ke dalam jaringan transnasional yang lebih luas.

Penetrasi yang digerakkan melalui kebijakan globalisasi-neoliberal tersebut, menyebabkan negara-negara yang sebelumnya telah tergantung pada investasi asing kian tergantung padanya (khususnya investasi portofolio) dan keharusan untuk membayar utang kepada kapital internasional. Hasilnya adalah sebuah lingkaran setan; negara-negara berkembang yang mengikuti resep globalisasi-neoliberal, “fundamental ekonominya” membaik menurut kriteria sektor finansial tapi, bersamaan dengannya tingkat suku bunga meningkat, terjadi penghancuran industri (deindustrialization), pertumbuhan ekonomi rendah, dan kian mudahnya ekonomi negara tersebut diserang krisis akibat pergerakan cepat keuangan global.

Gambaran diatas menjelaskan bahwa, Amerika yang selalu menagung-agungkan ekonomi Pasar bebas yang melahirkan efisiensi ekonomi maksimal melalui “invisible hand” atas prinsip supply and demand justru telah menggali lubang kuburnya sendiri.


Indonesia dalam Arus Utama Ekonomi Global
Ekonomi Indonesia tidak terlepas dari krisis keuangan AS ini. Modal dan transaksi ekonomi dengan AS cukup aktif hidup dalam perekonomian Indonesia. Sebagai salah satu contohnya, Lehman Brothers, yang utangnya mencapai USD 600 miliar, menyatakan diri bangkrut. Bukan rahasia lagi, Lehman Brothers banyak berinvestasi di perusahaan-perusahaan besar Indonesia. Akibat langsung kita saksikan, saham-saham perusahaan-perusahaan Indonesia yang terkait dengan Lehman Brothers anjlok jauh di atas rata-rata anjloknya saham-saham di Indonesia.

Dengan pola seperti ini, bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan yang dijalankannya tidaklah membuahkan kemajuan dan kebebasan tapi, pembangunan yang menghasilkan keterbelakangan dan ketertindasan.

Bahkan dalam sejarah Indonesia, baru pertama kali perdagangan bursa saham di tutup pada awal pembukaan saham (8/10) karena dalam perdagangan saham IHSG anjlok mencapai 10,38%. Anjloknya saham IHSG karena tidak di dukung dengan transaksi yang memadai.

Kepanikan justru terjadi dimana-mana, mulai dari perdagangan saham, perbankan, industry dan tentunya adalah masyarakat luas. Walaupun tidak terkena dampak secara langsung, akan tetapi aura krisis keuangan global justru telah meresahkan seluruh komponen bangsa. Bahkan pemerintahan dalam hal ini telah melakukan intervensi dengan melakukan 10 langkah penangan perekonomian nasional. Bahkan menurut beberapa sumber ketiga pilar ekonom nasional ( Menkeu, BI dan Bappenas) sedang getol-getolnya mencari dana talangan untuk mengatasi dampak krisis keuangan di dalam negeri. Alhasilnya adalah nihil, karena beberapa lembaga donor internasional juga mengalami keterbatasan financial dan banyak aspek lainnya.
Langkah-langkah SBY, justru tidak focus dan cenderung reaksioner. pertama adalah buy back sejumlah BUMN, artinya adalah pembelian beberapa saham BUMN dengan maksud untuk menguatkan kepemilikan saham nasional justru tidak berfungsi secara maksimal dalam mengatasi krisis keuangan global, bahkan dana sebesar Rp. 4 triliun ini adalah merupakan subsidi pemerintahan terhadap BUMN untuk mengamankan BUMN yang bersangkutan dalam menghadapi krisis keuangan global. Kedua, sektor real harus bergerak. Dalam kacamata saya, Indonesia yang luas dengan berbagai aspek geografisnya harus focus pada sektor real apa? Memang betul bahwa sejarah 97-98 ketika Indonesia yang sedang mengalami krisis ekonomi justru yang pertama kali mampu menggerakkan perekonomian nasional adalah sektor real khususnya perdagangan (UKM) dan pertanian.
Apa yang sebenarnya menjadi pokok jalan keluar yang cepat dalam mengatasi krisis keuangan global, pertama adalah menyediakan dan menstabilkan pasar pangan nasional. Produksi pangan nasional harus dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Kedua adalah persediaan energy nasional yang dapat menggerakkan industrialisasi nasional. Ditengah-tengah harga bbm internasional yang memiliki kecenderungan menurun, pemerintahan SBY harus berani menurunkan harga BBM baik industry maupun subsidi. Hal ini dilakukan adalah bahwa industry-industri dan masyarakat tetap bertahan dan mampu menggerakkan industry mereka dan kemudian dapat menopang perekonomian nasional. Ketiga, komitmen dan keseriurasan pemerintahan SBY harus di buktikan dengan melakukan penyitaan harta hasil kejahatan korupsi para pelaku korupsi yang sekarang ini masih menghirup udara bebas. Korupsi BI, BLBI, Illegal Logging dan lain sebagainya yang berada di lingkarang istana, DPR, Departemen-departemen, pemerintahan daerah dan lain-lain. Langkah ini tentunya harus dilaksanakan secara tegas tanpa ada politik tebang pilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar