Senin, 22 September 2008

Ambil Alih Perusahaan Batubara pengemplang Royalti Negara

Buruknya pengurusan sektor pertambangan khususnya tambang batubara membuat negara ini tersandera oleh kuatnya dominasi corporate asing yang tidak memiliki integritas terhadap kedaulatan ekonomi politik Indonesia. sumber daya energy ini menjadi komoditas dagang yang sejak lama merugikan Negara_dengan berbagai cara. Itu ditunjukkan tarik ulur dan kurang tegasnya pemerintah memaksa perusahaan tambang membayar tunggakan royalty sebesar 13,5 % dari total produksi per tahun hingga 7 tahun lebih, sehingga Negara dirugikan sekitar 16,4 Triliun. Indonesia, sang pemilik batubara terkesan tak berdaya dengan ulah pengusaha penyandera tunggakan. Sudah terlalu banyak kemewahan diberikan negara ini terhadap pelaku pertambangan asing. Salah satunya perlakuan Lex Spesialis, yang disebut-sebut perusahaan tercantum dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), yang ditandatangani bersama pemerintah Indonesia.

Perusahaan tambang melakukan pengemplangan royalty kepada Negara adalah : PT Kideco Jaya Agung Rp 448,091 miliar dan USD 30,513 juta; PT Kaltim Prima Coal USD 115,628 juta; PT Kendilo Coal Indonesia USD 6,642 juta; PT Arutmin Indonesia USD 68,601 juta; PT Berau Coal Rp 284,275 miliar dan USD 23,816 juta; dan PT Adaro Indonesia Rp 131,703 miliar dan USD 85,001 juta. Keenam perusahaan telah menangguk keuntungan luar biasa karena menguasai 60 persen lebih produksi batubara Indonesia, yang sebagian besar diekspor. Tahun lalu, produksi batubara mencapai 207,5 juta ton. Belum lagi windfall profit dalam tujuh tahun terakhir bersama naiknya harga batubara dunia. Bisa dibayangkan berapa tambahan keuntungan yang mereka raup, jika tahun 2006 harga batubara mencapai USD 50 per ton, tahun ini mencapai USD 120 per ton.

Dalam aspek regulasi Presiden SBY harus bertanggungjawab – yang saat itu menjabat Menteri Pertambangan dan Energi di masa presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengeluarkan PP No 144 tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan NIlai yang merugikan negara di sektor pertambangan. Meliputi minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batubara, bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit. PP ini jelas menguntungkan pebisnis dan negara tujuan ekspor, karena pembelian bahan-bahan tambang - yang tidak terbarukan ini menjadi bebas pajak, apalagi Indonesia mengekspor sebagian besar dalam bentuk bahan mentah. Ironisnya PP yang secara jelas merugikan Negara, selama 7 tahun dibiarkan oleh angen kaum modal asing yaitu menteri ESDM- Purnomo Yusgiantoro

Sudah jelas bahwa, kuatnya corporate asing dalam melakukan eksploitasi kekayaan alam maupun rakyatnya telah di legitimasi dengan rapuhnya integritas pejabat Negara yang menjadi kakitangan/antek-antek perusahaan asing. Watak feudal dan konservatif yang direpresentasikan oleh Pemerintahan SBY-JK dan Purnomo Yusgiantoro (Menteri ESDM) merupakan hambatan bagi terwujudnya kemandirian secara ekonomi dan kedaulatan secara politik, artinya bahwa kehendak untuk memerdekakan seluruh rakyat tidak akan terwujud ketika kakitangan imperialis asing masih kuat mendominasi seluruh sektor rakyat. maka sudah saatnya mengembalikan kedaulatan Negara untuk mengurus industry pertambangan untuk hajat hidup seluruh rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar