Minggu, 30 November 2008

[Be] Rebut Kekuasaan Parlemen

Sistem politik yang sedang berjalan telah memberikan harapan warga negara untuk berpartisipasi secara langsung dan bahkan untuk menjadi legislative maupun eksekutif. Ditengah kuatnya oligarky parpol, tercermin dalam produk hukum sistem politik dan pemilu telah memberikan batasan-batasan yang tidak demokratis dan cenderung sebagai alat politik parpol besar untuk menghadang lawan-lawan politiknya. Pemenuhan syarat parliamentary threshold (PT) 2,5 %, Elektoral threshold (ET) 20 %, atau 20% perolehan kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional agar dapat mengusung capres secara matematis sulit untuk tercapai ditengah kuatnya kontestasi 43 partai politik peserta pemilu.

Geliat demokrasi juga tidak disia-siakan oleh pencari kekuasaan legislative untuk berburu keuntungan suara rakyat, bahkan ada salah satu partai politik yang resah dengan minimnya pendaftaran calegnya kemudian mengiklankan “lowongan caleg” di media. Sindrom caleg yang begitu meluas telah menjadi konsumsi public, mereka berasal dari berbagai latar belakang mulai dari politisi, aktifis, artis/seniman, praktisi sampai ibu rumah tangga, antara keturunan darah “biru”politik dengan rakyat biasa, tua - muda, yang mampu - tidak berpunya dan seterusnya. Mereka bertaruh dan bertarung dengan merelakan hartanya untuk membiayai harapannya menjadi anggota legislative, sebuah jabatan yang prestius dan terhormat dimata public. Namun, belakangan ini lembaga negara tersebut justru telah menyebarkan bau busuk amoral dan koruptif yang menusuk kehidupan rakyat miskin. Mereka berlomba-lomba mendekati dan meminta belas kasihan “kebaikan” suara rakyat untuk memilihnya sebagai wakilnya dengan berbagai argumentasi yang justru sangat ilusif dan jauh dari realitas sosial.

Panggung politik parlementarisme seolah-olah menjanjikan akan perubahan, setidaknya a personal change pada caleg-caleg dan tentunya adalah menjauhkan perubahan itu dari tangan rakyat. gambaran ini terlihat jelas ketika Pemilu 2004, bahwa ketika musim demokrasi procedural telah datang, maka para pekerja politik (baca:caleg) selalu merangkul hati rakyat dengan berbagai macam janji perubahan. Namun, ketika mereka sudah mendapatkan kursi kekuasaan parlemen, mereka selalu berpaling dari rakyat, meninggalkan konstituen dan kembali merangkul kekuatan modal. Akibatnya adalah persekutuan antara caleg dan pemodal yang tidak memiliki integritas memiliki peluang menggadai asset-aset strategis negara yang seharusnya dikuasai negara. sebut saja ; penjualan indosat, Migas, Pendidikan, dan seterusnya.

Gairah masyarakat dalam politik belum diimbangi dengan agenda-agenda penting yang berhubungan langsung pada upaya mengeluarkan rakyat dari problemnya. Bahkan agenda tersebut justru lebih didominasi oleh nafsu sebagai rent seeker. Menjadi orang dihormati dengan materi yang lebih dari cukup, mereka baru aktif didunia politik saat pemilu mulai dekat. Rata-rata mereka dihinggapi penyakit “last minute mentality”, mereka bekerja dan memperhatikan nasib rakyat diakhir waktu saat mereka butuh suaranya.

Demokrasi “Kompetisi”
Beberapa hari yang lalu Wapres Jusuf Kalla memberikan statemen di salah satu televise swasta tentang pemilu 2009 lebih rumit dari pemilu 2004. Penilaian ini tentunya cukup mengejutkan masyarakat luas, karena keluar dari Wapres yang notabene nya adalah representative pemerintahan. Namun, kita bisa membaca pikiran Wapres dalam mengobyektifkan penilaian tersebut. Tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu yang belum maksimal tersosialisasikan ditengan masyarakat. Sistem pencontrengan yang akan menyulitkan pemilih dimana mayoritas pemilih memiliki tingkat pendidikan rendah, sistem suara terbanyak memaksa para caleg untuk bekerja keras ke basis konstituen dimana kompetisi secara demokratis akan terjadi dalam satu partai. Bisa dibayangkan, terjadinya konflik antara caleg di satu dapil dalam satu partai politik artinya bahwa rentan terjadinya konflik dalam satu partai politik ketika melakukan perebutan suara rakyat dalam satu daerah pemilihan.

Demokrasi yang mengarah ada liberalisasi memaksa tidak hanya partai politik akan tetapi para caleg-caleg untuk melakukan kapitalisasi politik dalam menunjang perebutan panggung parlementarisme. Artinya praktek “jual beli” suara ataupun nomor urut (masih sangat menentukan) akan semakin menguat. Setiap caleg dipaksa untuk membuat instrument politik sampai tingkat TPS, mengumpulkan logistic untuk menopang kerja-kerja kampanye politik selama 9 bulan.

Tidak salah jika sebagian pengamat memandang politik kita sekarang ini lebih mirip badut-badut politik yang menampilkan panggung permainan, atau panggung sandiwara. Mereka mau saja ditempatkan di daerah yang sama sekali tidak mengetahui persis kultur dan problem daerah, hanya karena dianggap sebagai “daerah basah”. Lebih lucu lagi, sebagai ketua partai politik di daerah A memilih jadi caleg di daerah B yang sama sekali bukan wilayah “kekuasaannya”. Kemudian mereka yang selama ini aktif disuatu partai, tetapi kemudian menjadi caleg di partai yang berbeda. Tidak jauh lucunya ketika ada orang baru dalam satu partai atau karena memiliki popularitas (biasanya artis, pengamat public, anak pejabat partai dll) memperoleh perlakuan khusus dengan memberikan nomor urut jadi. Buat pendidikan politik publik, tentu bukan hal yang baik, apalagi dari moral dan etika politik tentu sangat jauh, lari dari tanggungjawabnya merawat, membesarkan dan memenangkan partai.

Kita menyadari bahwa demokrasi yang sejatinya untuk memberikan kesejahteraan, justru demokrasi hari ini terinterupsi oleh kuatnya oligarki partai demi kepentingan pragmatis yang menjauhkan dari mimpi-mimpi perubahan rakyat. Demokrasi procedural 2009 memaksa semua pihak khususnya para caleg untuk berkompetisi dengan caleg-caleg lain dalam satu partai maupun lintas partai dalam mengemis belas kasihan suara rakyat. Loket-loket kekuasaan parlementarisme memang membuka peluang yang sama diantara seluruh caleg, namun terbatasnya loket tersebut (DPR dan DPD) ditengah-tengah membludaknya 43 partai politik dan 20.000 caleg DPR, 48.000 DPRD dan 10.000 DPD membuat para kandidat penguasa ini selalu berebut kekuasaan. Menang dan kalah adalah buah dari kompetisi secara demokratis, namun bagaimana pertanggungjawaban mereka terhadap konstituen dan tentunya penyandang dana para caleg? publik yang akan menilai….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar