Kamis, 15 Oktober 2009

Penyelenggara Negara Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

Bau tak sedap bailout Bank Century terus saja mengalir. Kebijakan sepihak pemerintah dalam menyelamatkan bank yang sejak awal berdiri sudah bermasalah dengan dalih akan berdampak sistemik adalah tidak terbukti. Telah terjadi dispute antara pemerintah dan DPR dalam memberikan penjaminan terhadap bank yang sejak awal berdiri sudah bermasalah. Dimana DPR hanya mengalokasikan Rp. 1,4 T, sedangkan pemerintahan tanpa persetujuan DPR mengelontorkan dana talangan sebesar Rp. 6,76 T. Menurut UU BI Tahun 1999, dinyatakan bahwa sumber dana darurat untuk mengatasi perbankan nasional berasal dari dana APBN yang dikumpulkan/disimpan para nasabah pada bank-bank peserta LPS.

Berdasarkan Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, Keuangan Negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud mencakup keseluruhan kegiatan di bidang keuangan negara yang meliputi perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Tapi dalam kasus Century, justru penyelenggara negara dengan sengaja dan berjamaah melakukan pencurian uang negara dan rakyat untuk kepentingan golongan yang diperuntukkan kepentingan mempertahankan kekuasaan.

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter telah lalai dalam melakukan pengawasan terhadap bank-bank yang bermasalah. Sedangkan Menkeu sebagai otoritas keuangan dengan sengaja melakukan manipulasi keuangan negara dalam melakukan penyelamatan bank century. Hal yang tidak wajar ketika kelalaian ini telah berlangsung lima tahun. BI pun secara resmi telah menyatakan lalai dalam melakukan pengawasan terhadap bank Century, artinya bahwa Boediono selaku Gubernur BI dan Sri Mulyani selalu ketua KKSK telah menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya (abuse of discreation) untuk mengeluarkan kebijakan bailout. Akibat kelalaian dan tidak menjalankan fungsi dan UU BI, maka negara mengalami kerugian sebesar Rp. 6,76 T. Kelalaian penyelenggara inilah yang justru akan berdampak sistemik terhadap kepercayaan publik. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, kerugian negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.


Korupsi Berjamaah

Sudah menjadi rahasia umum, hampir semua instansi pemerintah di Indonesia sudah menjadi sarang korupsi sistemik. Korupsi telah menyatu dan membudaya dalam sistem birokrasi, berlangsung dengan mulus dan dalam waktu lama tanpa bisa terendus semua perangkat hukum dan aparat penegak hukum. Celah hukum dimanfaatkan betul untuk berbuat korup. Semua prosedur adminitrasi dibuat sedemikian rupa. Kalaupun dugaan korupsi sempat masuk ranah hukum, justru aparat penegak hukum malah bisa masuk dalam jaringan sistem korupsi yang sistemik.

Kita patut menduga dalam kasus bailout bank century telah terjadi tindak pidana korupsi dan perbuatan melawan hukum dari penyelenggara negara. Korupsi yang patut diduga melibatkan lingkaran istana, pengusaha yang dekat dengan kekuasaan, Parlemen, Partai Politik, Kepolisian dan lainnya dilakukan dengan sengaja dengan memanfaatkan celah-celah hukum positif. Pengelontoran bailout century sarat kepentingan politik dan diperuntukkan untuk mempertahankan kekuasaan.

Korupsi berjamaah yang dilakukan oleh banyak orang yang memiliki otoritas atau keahlian dengan cara sistematis bahkan kerap melibatkan aparat penegak hukum dan sehingga secara hukum positif sulit untuk dibuktikan. Inilah yang menjadi tugas berat bagi seluruh komponen bangsa untuk komitmen dan konsisten dalam menuntuk keadilan publik. Dan tidak jarang para pelaku (koruptor) melakukan berbagai upaya/rekayasa untuk mengamankan hasil korupsinya dengan upaya hukum dan politik. Seperti memaksa Perpu no.4 Tahun 2008 yang sudah ditolak DPR tanggal 18 Desember 2008 untuk disyahkan menjadi UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) dan untuk keduakalinya digagalkan lagi oleh DPR. Dalam kandungannya dijelaskan bahwa Perpu No.4 tahun 2008 tentang JPSK tersebut memberikan kekebalan hukum bagi BI dan Menkeu terhadap segala keputusannya. Kedua merusak citra KPK dengan mengungkap berbagai skandal yang melibatkan pimpinan KPK. Ketiga restrukturisasi BPK yang belum selesai dan sarat kepentingan dalam mengamankan kekuasaan.

Ketiadaan upaya negara dalam melakukan hak paksa kepada koruptor yang telah menggunakan keuangan negara untuk kepentingan kelompok merupakan sinyalmen bahwa bangsa ini telah terjangkiti penyakit korupsi luar biasa. Inilah satu bentuk kejahatan sistematis yang telah merusak dan telah berkhianat terhadap cita-cita pendiri bangsa untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Penyebab utamanya, para penyelenggara negara (eksekutif, legislative, yudikatif) lebih mengutamakan menyejahterakan diri sendiri. Dengan alasan demi kesejahteraan umum, bisa merancang sebuah tindakan yang justru memperkaya diri sendiri.

Rabu, 19 Agustus 2009

Menggugat Pengkhianatan terhadap Proklamasi 1945, Pancasila dan UUD 1945

Harapan untuk merdeka dalam kesejatiannya memang masih sulit diwujudkan dalam tatanan kehidupan berbangsa selama ini. Bahkan peringatan Kemerdekaan dari tahun ke tahun hanya dijadikan aksesoris sejarah yang patut ditanggalkan nilai dan spirit perjuangannya. Kata merdeka hanya dijadikan makna simbolik terhadap terbebasnya dari hegemoni Kolonialisme dan imperalisme Belanda. Begitupun dalam peringatan kemerdekaan RI ke-64 dengan upacara seremonial yang terkesan cukup meriah.


Ditengah peringatan Kemerdekaan RI ke-64 justru bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang memprihatinkan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa 64 tahun merdeka negara bangsa-Indonesia masih dalam kungkungan penjajahan asing, bahkan makna penjajahan dalam abad globalisasi ini lebih mudah masuk dalam kehidupan rakyat karena dengan mudahnya elit politik dan aparat negara telah melegitimasinya dalam bentuk amandemen pondasi dasar UUD 1945. Konstitusi tersebut kemudian menjadi pintu masuk bagi kekuatan modal asing secara liberal tanpa mengindahkan kepentingan publik.


Beranjak dari persoalan amandemen UUD 1945 tanpa amanat rakyat telah berdampak pada rusaknya tatanan kehidupan bernegara. Bukti yuridisnya adalah timbul otonomi daerah tanpa kendali, terbentuknya lembaga ad hoc negara yang justru telah melampui wewenang lembaga negara yang sudah ada, sistem pemilu multipartai, pemisahan TNI-Polri sebagai aparat penjaga keamanan nasional dalam menghadapi ancaman terorisme/separatisme baik dari dalam maupun luar negeri yang sewaktu-waktu mengancam keutuhan NKRI, sistem demokrasi langsung yang mengarah pada kemandegan kehidupan bernegara yang akan memunculkan ego power lembaga negara (exsprit de corps) yang sudah pasti telah terjadi disintegrasi antar lembaga negara.


Dalam konteks yang lebih teknis, bahwa amandemen UUD 1945 justru telah menjadi pintu masuk bagi terciptanya liberalisasi secara konstitusional dalam segala bidang. Dalam ranah penguasaan dan peruntukan tanah melalui UU Perkebunan, UU Migas, UU PM, Perpres tanah, UU Air, UU Minerba, UU BI dan lain-lain memperlihatkan bahwa penguasaan dan peruntukan 40 juta Ha lebih dialokasikan untuk pertambangan, 32 juta Ha untuk kehutanan, 9 juta Ha lebih untuk perkebunan dan 95 juta hektar untuk migas yang penguasaannya hampir 90% oleh modal asing seperti Newmont, Freeport, Exxon, Total dll. Sementara untuk pertanian hanya 11,8 juta hektar. Bukan hanya soal penguasaan tanah akan tetapi kandungan di dalam tanahnyapun dalam bentuk emas, batubara, dan lain-lain dengan motivasi "keruk habis" untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional merupakan satu bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi UUD 1945 pasal 33.


Sementara, proses ketergantungan secara ekonomi yang termanifestasikan dalam bentuk Utang luar negeri dan sistem perdagangan (trade) dari tahun ketahun telah mengalami peningkatan yang massif. Dalam periode 2009 Utang Indonesia mengalami peningkatan sebesar 400 Miliar, sedangkan sistem perdagangan yang justru tidak memberikan proteksi terhadap industri nasional dengan adanya Free Trade Area. Bahkan dalam konteks konsumsi pangan nasional (beras, kedelai, garam, susu, daging dll), masih memiliki ketergantungan dari asing. Bahkan dalam ranah keuangan, dimana 65 % – 70 % bank investasi dan bank sentral nyapun juga dalam pengaruh modal asing. Kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa dalam Indonesia tidak memiliki kemandirian secara ekonomi, yang dari tahun ke tahun memiliki kecenderungan untuk mengkooptasikan kekayaan alamnya untukdi keruk habis oleh kekuatan modal asing demi memenuhi kebutuhan pasar.


Kemudian, dalam sistem politik nasional justru selama 64 tahun merdeka, kita masih memiliki ketergantungan secara politik terhadap asing, terutama dalam mengadopsi berbagai sistem ketatanegaraan maupun dalam sistem multipartai yang justru tidak sesuai dengan kultur dan budaya bangsa yang telah dicita-citakan bersama. Sistem Multipartai inilah yang menyebabkan ketiadaan satu sentimen bersama dalam menumbuhkan national interest dalam mewujudkan keadilan dan kemandirian.


Ironis, dalam usianya ke-64 tahun, sejatinya Indonesia sebagai negara bangsa sudah lepas landas dari keterbelakangan dan ketergantungan terhadap kekuatan modal asing sehingga mampu menjadi bangsa yang merdeka dalam kesejatiannya untuk mewujudkan kemandirian dalam bidang ekonomi. Hal ini diperparah dengan perilaku elit politik dan aparat negara yang menjadi antek-antek kekuatan modal asing untuk melakukan proses penjajahan gaya baru terhadap negeri sendiri. Bukti inilah yang kemudian menjadi satu acuan bahwa elit politik dan aparat negara telah melakukan satu pengkhianatan secara sistematis terhadap konstitusi UUD 1945 dan cita-cita bersama bangsa.


Generasi Penunggu

Sudah satu dasawarsa proses transisi demokrasi yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru, belum satupun lahir generasi yang memiliki dedikasi dan integritas nasional yang mumpuni. Menurut Pramudya ”..situasi revolusioner akan selalu melahirkan kepemimpinan yang kuat”, ternyata premis ini belum tepat ketika memotret situasi gerakan reformasi 1998 karena belum lahirnya kekuatan progresif yang mampu membawa rakyat keluar dari jeratan explotation d’lhome par lhome.


Memang, kita patut sadar khususnya generasi muda untuk membuka hati dan pikirannya terhadap carut-marutnya tatanan kehidupan berbangsa. Generasi penerus hanya menjadi katalis perubahan akan tetapi tidak menjadi satu instrumen yang berperan dan menjalankan secara konseptual dan integral terhadap agenda-agenda perubahan. Inilah yang menjadi dosa sejarah generasi penerus yang telah membiarkan satu keadaan bangsa terjerumus dalam kubangan liberalisasi pasar yang menghancurkan kehidupan rakyat.


Kekuatan muda baik yang berada diberbagai sektor belum mampu menjadi pendobrak dan pelopor perubahan, bahkan masuk dalam pusaran budaya hedonisme, individualisme sehingga lupa akan proses historically terbentuknya negara bangsa. Mereka tidak cukup untuk memberanikan diri mengambil inisiatif/terobosan atas kebuntuan sistem bernegara dan cenderung pasrah terhadap keadaan menjadi generasi penunggu ditengah dominasi arus utama yang menjadi corong kelompok liberal.


Kepasrahan ini tentunya tidak beralasan, karena kekuatan muda yang memiliki integritas, dedikasi dan idealisme dalam melakukan perubahan tiap waktu terus menipis. Tetapi ditengah dominasi kelompok oportunis dan pengkhianat pasti masih ada satu kekuatan murni yang mampu diajak untuk bersekutu menyelamatkan dan mengambil kekuasaan negara. Menyatunya kekuatan muda yang memiliki dedikasi, idealisme dan integritas terhadap perjuangan negara di berbagai bidang seperti birokrasi, intelektual, TNI dan Polri, Politikus, budayawan dan seniman, dan lain-lain merupakan satu taktik untuk melakukan lompatan sejarah untuk mendekontruksi dan merekontruksi tatanan kehidupan bernegara yang berlandaskan pada cita-cita bersama yakni Pancasila dan UUD 1945.

Rabu, 12 Agustus 2009

Nasionalisme

Benedict anderson dalam bukunya imagine community mencoba mendefenisikan bangsa sebagai sebuah imagined political community - - and imagined as both inherently limited and sovereign. Kata kuncinya adalah proses membayang (imagined) yang terjadi diantara anggota komunitas tersebut untuk merasa terhubung satu sama lain walaupun tidak pernah terjadi kontak secara fisik. Proses membayang inilah yang kemudian melahirkan sebuah sikap loyalitas dari setiap anggota kelompok tersebut kepada kelompoknya yang dikenal dengan nama nasionalisme. Sikap yang dalam catatan sejarah menjadi pendorong utama lahirnya nation-state diberbagai kawasan dunia. Tetapi mengapa kita harus dan merasa perlu untuk terus membayangkan diri kita sebagai bagian dari komunitas imajiner yang bernama bangsa itu?
Jika mengambil asumsi bahwa setiap manusia rasional adalah individualis dalam arti bahwa dalam pilihan tindakan yang akan diambilnya selalu berdasar pada profit taking, maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme yang membuat setiap penganutnya rela untuk mengorbankan nyawanya sekalipun untuk kepentingan bangsanya adalah sebuah pilihan tindakan yang irasional. Benarkah demikian? Ternyata pilihan-pilihan tindakan rasional manusia itu sendiri terbatas. Keterbatasan manusia akan informasi yang ada membuat manusia mengambil pilihan memaksimalkan informasinya yang terbatas dengan cara membuat kerjasama. Selain itu, emotional bounded yang dimilikinya memaksa dia untuk terus mencari bentuk-bentuk identitas yang membuatnya nyaman dan tidak dibatasi oleh berbagai keterbatasan manusia seperti umur dll. Pada titik inilah, keterbatasan itu coba dimaksimalkan dengan cara mengidentifikasikan diri pada kelompok-kelompok tertentu seperti suku, bangsa dan agama. Maka semangat untuk berbangsa pada kemudian menjadi sebuah pilihan tindakan yang harus diambil oleh seorang individu guna memaksimalkan keterbatasan yang dimilikinya.
Sekalipun demikian, kemampuan nasionalisme untuk menjadi sebuah kekuatan yang efektif dalam memobilisasi massa akan tercapai hanya jika setiap individu yang terlibat didalamnya itu secara alami percaya bahwa mereka dilahirkan untuk berkorban kepada bangsanya. Artinya nasionalisme akan maksimal ketika berbasis kepada ‘believe’ anggotanya dan bukan itungan rasional. Dan faktor ‘believe’ ini terbentuk oleh rentang kesejarahan yang panjang dan diceritakan turun-temurun dengan berbagai mdia yang ada. Masalahnya adalah sampai sejauhmana faktor ‘believe ‘efektif saat ini?
Apa yang kita alami selama puluhan tahun pasca kemerdekaan adalah sebuah model pembangunan rasa kebangsaan yang berbasiskan believe tadi. Berbagai mitos dan upacara coba diciptakan, mulai dari media pendidikan sampai informasi, untuk memperkuat fondasi kepercayaan rakyat bahwa sejak awal kita ditakdirkan sebagai sebuah bangsa. Efektivitasnya terlihat pada proses pencapaian kemerdekaan indonesia. Tetapi hari ini, ketika 20% masyarakat Indonesia masih ada dibawah garis kemiskinan, ketika lapangan pekerjaan sangatlah sempit, ketika diskriminasi manusia dengan latar belakan etnis, suku, maupun geografis daerah masih ada, ketika korupsi sudah menjadi budaya bangsa ini, ketika pelayanan publik hanya menjadi sebuah mimpi indah, maka masihkah kita percaya bahwa kita masih satu bangsa? Bagi kami, nasionalisme jangan dituntut kepada rakyat semata, tetapi juga kepada negara untuk mulai berpikir bagaimana meningkatkan daya tawarnya dimata rakyat indonesia melalui tindakan yang mewujud dalam bentuk yang riil dan terukur berupa kesejahteraan dan kemakmuran mereka yang mengikat diri dalam kebangsaan indonesia. Dan hal itu harus segera dilakukan, karena hari ini, kepercayaan tadi telah berubah bentuk menjadi kekecewaan.
Anderson mencoba mendeskripsikan kontruksi nasionalisme yang dibangun di indonesia. Kontruksi nasionalisme merupakan warisan dari kolonial belanda, dimana pola kebangkitan ini berawal dari kebijakan politik etisnya hindia belanda yaitu imigrasi, irigasi dan edukasi. Dalam konteks kebijakan ini adalah dengan maksud untuk memperkuat fungsi-fungsi adminitrasi pemerintahan belanda dalam melakukan penyelenggaraan pemerintahan di negeri jajahannya. Tanpa di sadari kemudian politik etis khususnya edukasi menjadi alat kelompok priyayi/bangsawan untuk mengenyam pendidikan belanda. Akibatnya adalah kebijakan pemerintahan hindia belanda ini keluar dari konteksnya, yaitu kelompok terdidik negeri jajahannya menyadari akan bentuk-bentuk ketimpangan yang dilakukan oleh kolonial belanda. Dari basis persoalan ini kemudian kelompok muda/priyayi ini mencoba untuk menyebarluaskan proses kesadaran akan kepemilikan negeri sendiri. disisi lain pengaruh pendidikan tradisional/ pensantren juga berpengaruh. Asimilasi dua unsur pendidikan menyebabkan pola-pola perjuangan akan membebaskan diri tidak selesai, artinya masih tidak secara total melakukan pembebasan tetapi masih menempel pada kekuasaan pemerintahan hindia belanda dengan ikut terlibat dan mengenyam pendidikan. Kemudian anderson juga memberikan catatan kritis bahwa konsepsi modernitas yang dipakai pemerintahan hindia belanda dengan politik etisnya mampu membangkitkan semangat pembebasan nasional dan disini peran pemuda merupakan inti dari kebangkitan bangsa jajahannya. Dari sini kemudian muncul sikap patriotisme, dimana sikap ini berangkat dari rasa memiliki, menghargai sebagai bangsa yang terjajah yang bersifat anti kepentingan.
Kemudian anderson, dalam imaginated community menjelaskan bahwa bahasa merupakan salah satu faktor pembentuk dari bangsa. Artinya bahwa bahasa merupakan alat untuk melakukan dialog sehingga antara individu dalam masyarakat memahami akan realitas sosial, dari proses memahami ini kemudian melakukan bentuk tindakan-tindakan konkrit, walaupun hal ini masih bersifat primordial, akan tetapi bahasa ini mampu mempersatukan seluruh bangsa, komunitas dan lain-lain.
Dari beberapa hal diatas maka dapat di ulas secara kritis bahwa konsepsi nasionalisme yang merupakan warisan dari kolonial merupakan kontruksi kelompok-kelompok elit/borjuasi/priyayi yang cenderung dipaksakan sehingga apa yang terjadi pada saat sekarang ini adalah buah dari kontruksi tersebut, artinya adalah bahwa proses integrasi nasional yang cenderungdipaksakan oleh elit/borjuasi nasional akan bersifat mendua, satu pada persoalan integrasi yang cauvinis yang membabi buta dan integrasi dengan pola koersif akan menyebabkan disintegrasi yang selalu menghantui bangsa ini.

Sumber : Anderson, Benedict (1983): The last Wave in Imaginated Community : Reflections on the Origion and Spread of Nationalism. London: verso. Pp. 104 -28

Globalisasi vs Nasionalisme

Sekarang isu yang menarik adalah tentang globalisasi yang dipertentangkan dengan nasionalisme. Adakah globalisasi seperti yang dibayangkan oleh orang-orang yang begitu keras membela apa yang dinamakan globalisasi?
Hakikat globalisasi ialah mekanisme pasar yang diberlakukan untuk seluruh dunia tanpa mengenal batas-batas negara. Kita semua mengetahui bahwa mekanisme pasar dalam bentuknya yang paling awal mengandung ekses-ekses yang sangat tidak manusiawi.
Itulah sebabnya dalam perkembangannya mekanisme pasar bertahan karena dibuat manusiawi dengan menciptakan kekuatan-kekuatan pengimbang atau pembatas dalam bentuk sistem perpajakan progresif yang mewujudkan redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan. Juga diciptakan pengaturan tentang persaingan ekonomi yang sehat, sistem asuransi jaminan sosial, undang-undang tentang pembelaan usaha kecil dan menengah, undang-undang tentang perlindungan perburuhan, dan masih banyak lagi. Keseluruhan pembatasan, imbangan, dan koridor tersebut hanya bisa efektif kalau ada pemerintahan yang memaksakannya. Negara bangsa mempunyai pemerintahan yang efektif bagi bangsanya.
Tetapi adakah satu pemerintah yang berlaku bagi semua umat manusia di dunia? Jelas tidak ada. Maka globalisasi adalah mekanisme pasar tanpa imbangan, tanpa pembatasan, dan tanpa koridor. Yang terjadi ialah ekses berupa diisapnya bangsa-bangsa yang lebih lemah oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat. Yang berlaku adalah survival of the fittest.
Karena itu, globalisasi hanya ada dalam khayalan. Apakah bangsa Amerika Seri-kat, Uni Eopa, Jepang, dan China tidak nasionalistis? Apakah kemajuan mereka tidak didorong oleh semangat yang tidak mau kalah dengan bangsa lain, yang didorong oleh cinta pada bangsanya ketimbang mencintai bangsa lain asalkan tidak merugikan bangsa lain?
Dalam era menuju abad 21, ada sebuah pergeseran nasionalisme yang dirumuskan pada awal abad 20 dengan nasionalisme menyongsong abad 21. Pada nasionalisme abad 20 dilatarbelakangi oleh dua aspek. Pertama, gerakan nasionalisme muncul sebagai reaksi atas kolonialisme dan imperialisme barat. Kedua, paham nasionalisme muncul di tengah-tengah "perang dingin" antara blok kapitalisme dan komunisme yang saling mengintai.
Sementara perubahan global yang menyebabkan pergeseran nasionalisme abad 21 adalah, pertama, rontoknya sistem marxisme atau leninisme sebagai ideologi kenegaraan. Kedua, kebangkitan agama-agama sebagai fenomena yang menarik dicermati menyongsong abad 21.
Karena itu, diperlukan artikulasi nilai-nilai kebangsaan menyongsong abad 21 atau lebih tepat disebut redefinisi nasionalisme, termasuk dalam kaitan dengan kebangkitan agama-agama. Hal itu tentu saja merujuk kepada konsep nasionalisme para pendiri negara ini. Dalam konteks seperti itu, Pancasila muncul tidak hanya sebagai ideologi yang berciri anti kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme, tetapi juga sebagaimana yang dirumuskan Bung Karno sebagai "Hoggere Optrekking" (pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi).
Kita punya pijakan sejarah yang jauh lebih kuat. Seperti dikemukakan, CF Ernest Renan saat berpidato di Universitas Sorbone (1982). Katanya, apakah suatu bangsa itu? Pertanyaan itu dapat kita jawab dengan cepat karena kita memiliki pijakan kuat melalui dasar negara yang disebut Bhinneka Tunggal Ika.
Konseptor persatuan nusantara melalui Bhinneka Tunggal Ikan, Mpu Tantular, tak hanya telah meletakkan landasan politis bagaimana mengatasi pluralisme agama, tetapi sudah dikembangkan landasan teologi kerukunan yang jauh lebih mendasar dan memadai. Dalam konteks pergulatan bangsa di tengah-tengah problem kemajemukan, Pancasila telah teruji dan tampil sebagai ideologi yang paling cemerlang dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Meski problem kemajemukan kita jauh lebih kompleks.
Salah satu tantangan nasionalisme Indonesia sekarang ini, selain globalisasi yang mengaburkan batas-batas negara dengan mengedepankan kepentingan ekonomi, adalah bahaya fundamentalisme agama yang bias dan menjurus pada lahirnya terorisme. Karena itu, perlu ditegaskan arah kebangsaan kita dengan menarik tegas batas-batas kekuasaan negara dan kekuasaan agama sebagai wilayah "privat".

Konsep Nasionalisme Perlu Ditinjau Ulang
Dampak negatif pelaksanaan UU tentang Otonomi Daerah berupa sikap eksklusifisme kedaerahan yang melahirkan kecendrungan persaingan tidak sehat antarkabupaten dan provinsi menjadi ancaman integrasi bangsa. Kecenderungan antarkabupaten yang tajam dilatarbelakangi motivasi mengejar pertumbuhan ekonomi guna mewujudkan kemandirian daerah. Mengenai konflik kepentingan mengenai kepemilikan wilayah seperti terjadi antara Riau dan Jambi dalam memperebutkan Pulau Berhala. Dalam konteks ini tepat membicarakan nasionalisme dengan tafsir dan makna baru. Konsep nasionalisme harus dapat menjelaskan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang. Bangsa menurut pengertian Benedict Anderson adalah sebuah komunitas yang dibayangkan . Ia mengatakan:
bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun toh dibenak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Anderson, terj. 2001:8).
Bayangkan bagaimana konsep nasion atau bangsa itu dapat diterapkan untuk penduduk yang tersebar di kepulauan yang banyak seperti Indonesia. Pengertian nasionalisme memang tidak mudah diterangkan karena menurut Brown, ia berkaitan dengan dua penjelasan yakni sebagai kategori praktik dan analisis. Brown mengemukakan tiga konsep tentang nasionalisme. Pertama mengenai ideologi, kesetiaan emosional (emotional loyalty), dan kepentingan (interest) Ketiga spektrum itu memiliki kecenderungan kuat saling tarik menarik dari sudut orientasinya masing-masing. Ketiganya dapat dijelaskan melalui 3 pendekatan: kontruktivis, primordialis, dan situasionalis.
Dalam pendekatan konstruktivis, nasionalisme merupakan ideologi yang bermuatan psikologis dan bernuansa mitos politis. Menurut pandangan ini, nasionalisme adalah identitas nasional yang dibangun dengan dasar kerangka institusional dan dirumuskan secara sederhana dan simplistis untuk mendiagnosa masalah-masalah kontemporer. Mungkin dapat diajukan contoh disini bahwa pernah muncul istilah Kebangkitan Nasional Kedua untuk memberi makna dalam peringatan setiap tanggal 20 Mei pada masa pemerinathan B.J. Habibie. Gejala seperti ini mungkin termasuk upaya disengaja untuk menguatkan nasionalisme Indonesia. Biasanya ungkapan-ungkapannya sloganistis.
Dalam pendekatan primordialis, nasionalisme dilandasi pada sebuah masyarakat organik dan alamiah. Cerminannya adalah kekuatan emosional yang etnosentrik, misalnya dengan mengatakan bahwa mereka atau bangsa itu merasa berasal dari nenek moyang yang sama (common ancestry). Demikian pula mitos yang berkembang mengenai asal-usul yang sama (myths of common origin). Jika tarikan ke nasionalisme konstruktif yang ideologis sifatnya psikologis dan mitos politis, maka tarikan ke primordialis bersifat instinktif. Pendekatan situasionalis menerankan bahwa identitas etnik dan identitas kebangsaan merupakan sumber daya yang diolah oleh kelompok individu dalam rangka memenuhi kepentingan bersama.
Dalam konteks perubahan yang melaihrkan tantangan dan peluang, masyarakat memiliki sejumlah pilihan dan jawaban untuk mengatasi situasi permasalahan yang dihadapi. Pendekatan ini dapat menjelaskan maslaha-masalah yang ditimbulkan dari situasi-situasi ketimpangan ekonomi dan kekuasaan. Situasi itu dapat menimbulkan gerakan etnik dan nasionalis untuk mempertahankan identitasnya. Pendekatan primordialis dapat menerangkan mengapa nasionalisme diterjemahkan sebagai identitas yang kental atau padat. Sedangkan pendekatan situsionalis menerangkan bahwa nasionalisme sebagai suatu identitas yang cair. Ini dapat dimengerti karena pada sudut primordialis, nasionalisme diikat dengan kesetiaan emosional. Sedangkan pada sudut situsionalis pengertian nasionalis didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang bersifat situsional. Tarik-menarik antara sudut pandang konstruktivis dan situasionalis terlihat pada yang pertama bersifat ideologis (kepercayaan yang dianggap benar sehingga harus diperjuangkan) dengan sudut situsionalis didasarkan pada rasionalitas.
Munculnya gejala disintegrasi sosial dan disintegrasi nasional boleh jadi karena selama ini mampatnya aspirasi lokal atau daerah ke permukaan. Nasionalisme negara terlalu kuat menekan kepada nasionalisme yang bersifat primordialis yang pada prinsipnya memang hidup. Demikian pula nasionalisme negara kurang memperhatikan perkembangan di dalam masyarakat yang karena munculnya berbagai kepentingan tidak tertampung di dalam perwujudan nasionalisme negara.
Konflik yang bermuatan kesukubangsaan memang bukan monopoli di indonesia saja. Ketegangan itu lazim juga terjadi di Asia tenggara mulai dari yang permanen seperti di Burma (Myanmar) sampai yang ekspresinya tenang sepeerti di Singapura. Menurut Brown munculnya kesadaran kesukubangsaan dipengaruhi atau berkaitan dengan struktur kekuasaan. Ketidakadilan yang diperlihatkan oleh sebuah kekuasaan berakibat pada masyarakat sukubangsa yang merasa dirugikan atau didzalimi. Dalam konteks itu kesukubangsaan menjadi kendaraan untuk mengejar kepentingan-kepentingan baik dalam aspek ekonomi dan politik (Brown 1994:xi-xii).
Pelaksanaan UU otonomi daerah memberi peluang besar bagi daerah untuk mengelola potensinya untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi dua gejala yang mencolok kini: yaitu elite yang lebih mementingkan dirinya sendiri dan kedua terlalu kuatnya semangat kedaerahan.

Negara, Masyarakat dan Demokratisasi Indonesia Dewasa Ini: Jejak Langkah Mencari Indonesia

Sebuah bangsa dapat dicitrakan dalam kaitannya dengan nilai-nilai sejarah dan budayanya. Maka muncullah ungkapan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah (tentu juga budayanya), Presiden Soekarno pun memberikan warisannya tentang slogan “Jass Merah” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) pada generasi-generasi muda yang pada waktu itu memang menjadi tulang punggung bagi kebangkitan nasional dari proses penjajahan, karena dengan sejarah itulah kita akan selalu memahami dan mengetahui asal usul kita dan sekaligus posisi kita sebagai sebuah negara bangsa di tengah dominasi kapitalisme. Sungguh ironis, apakah bangsa Indonesia telah menghargai sejarah dan budayanya sendiri? Bangsa ini terbukti sedikit sekali mempunyai perhatian dan apalagi memelihara sumber, situs, dan bangunan bersejarah. Di sana sini bahkan didengar banyaknya benda-benda bersejarah yang hilang (dicuri) atau dirusak. Bukankah peninggalan sejarah merupakan jembatan antara masa lampau dengan masa kini? Sementara itu ditengarai bangsa ini mudah melupakan yang baik-baik , tetapi mudah mengingat yang buruk-buruk . Sedangkan para elite penguasa menggunakan sejarah dalam arti historiografi sebagai alat legitimasi kekuasaannya. Tampaknya sejarah telah dipakai secara lebih praktis hanya untuk kepentingan kelompok atau golongan untuk memperkuat posisi politiknya masing-masing. Lalu masih hidupkah nasionalisme pada bangsa ini.
Di mana pula nilai-nilai budaya malu, tenggang rasa, gotong royong masih ada. Atau sudah menguap entah ke mana. Jangan lupa bahwa Kabinet sekarang ini diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu. Padahal nilai-nilai tersebut sangat diperlukan ketika bangsa ini menmghadapi berbagai krisis yang berpangkal pada krisis moral. Tantangan berat bangsa ini ke luar adalah menghapus citra sarang teroris dan ke dalam sebagai tempat berkecamuknya konflik antar anak bangsa sendiri yang telah menelan korban jiwa dan harta yang sangat besar. Dapatkah nilai-nilai sejarah (perjuangan bangsa) diberi makna baru untuk membangun Indonesia kini dan masa depan.

Menjadi ke – Indonesia- an
Sesungguhnya masa lampau dari penduduk di kepulauan ini telah memperlihatkan bukti-bukti sejarah yang merupakan faktor-faktor yang melandasi terbentuknya keindonesiaan. Sepanjang sejarah Indonesia menunjukkan faktor integratif dan disintegratif. Memang konsep kebangsaan dalam terminologi Indonesia baru muncul awal abad ke-20. Akan tetapi kerangka dan akar-akarnya dapat dilacak dalam abad-abad sebelumnya. Aspek-aspek geo-historis memperlihatkan kemungkinan bagi lahirnya bangsa Indonesia.
Meskipun Indonesia adalah konsep politik, tetapi ia bermakna historis-sosiologis. Tampak adanya proses-proses integratif dari bagian-bagian yang dahulu merupakan wilayah Hindia Belanda, kemudian menyatakan dirinya sebagai bangsa merdeka. Sekilas bahwa beraneka ragam budaya yang digambarkan dari rekam jejak sejarah masa lalu menjelaskan bahwa proses transformasi budaya barat yang dibawa oleh para pedagang dengan para ulama mampu memberikan warna budaya yang beraneka ragam. Budaya barat yang didefinisikan dengan modernitas, sedangkan budaya lokal sebagai budaya tradisional dan bersifat lentur, mengakibatkan pada dialog-dialog yang lentur dengan penuh kekeluargaan dan tidak kaku ternyata mampu mengembangkan budaya barat dan lokal yang bertransformasi pada budaya baru hasil dari proses dialog tersebut. Hal ini terus berkembang ketika pada pedagang dari Cina dan India dengan membawa agama Budha dan Hindu. Proses modernitas dari dialog dua budaya besar ini kemudian berkembang pesat yang menyebabkan menjadi sorotan dari negeri-negeri lain di belahan dunia, muncul raksasa nusantara seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit membuktikan bahwa kontruksi nusantara yang dicoba diintegrasikan mampu membawa nama harum nusantara dengan segala kelebihannya mampu mengundang negara barat untuk datang tidak terkecuali Islam pun yang dibawa oleh pedagang Gujarat dan Persia. Transfromasi dua budaya besar ini kemudian berlangsung secara lentur dan mampu melakukan dialog secara damai yang menghasilkan transformasi budaya yang memiliki budaya luhur/adiluhung. Bentuk transformasi yang sangat terasa dan kental sekali adalah tradisi budaya Islam dengan aktor “wali songo” mampu menyebarkan ajaran budaya Islam dengan cepat dan diterima ditengah-tengah tradisi budaya Hindu dan Budha yang masih melekat. Walaupun jejak sejarah ini hanya tersentral pada Jawa, namun diluar jawa seperti Gowa, Ternate, sampai Atjeh yang kemudian dikenal dengan kerajaan Samudra Pasai sebagai representasi budaya Islam yang berkembang secara pesat. Kemunculan kerajaan-kerajaan Islam ini kemudian menjadi tolak ukur atas transformasi budaya yang dihasilkan dari proses dialog, negosiasi antara budaya lokal dan luar. Ditambah lagi dengan kekayaan nusantara sebagai penghasil rempah-rempah (yang pada waktu itu banyak dicari orang) membuat nusantara menjadi sorotan para saudagar luar. Sementara menguatnya tradisi Islam di nusantara, datanglah pedagang Portugis, Spanyol dan kemudian Belanda dengan membawa berbagai budaya Barat. Kedatangan Barat diawali dengan proses ketegangan-ketegangan antara budaya lokal dan pendatang. Ketegangan ini kemudian memunculkan berbagai reaksi dengan melakukan penolakan-penolakan, alhasil proses dominasi dan terdominasi terjadi. Wilayah yang lemah akan jatuh dalam genggaman kolonial, akan tetapi bagi wilayah yang mampu mempertahankan batas wilayahnya menjadi bangsa yang berdaulat.
Proses ketegangan yang memuncak kemudian memunculkan perlawanan dari kelompok menengah/priyayi/bangsawan seperti Pangeran Diponegoro di Jawa, Tuanku Imam Bonjol di Padang, Pattimura di Makasar, Tengku Umar di Atjeh dan lain-lain. Akan tetapi upaya perlawanan ini tidak mengoyahkan Kolonial untuk melakukan terobosan politiknya untuk mempengaruhi pribumi dalam hal ini adalah priyayi dan kaum bangsawan seperti kerjasama (bangsawan dijadikan alat birokrasinya untuk menjangkau rakyat). Berbeda ketika kedatangan saudagar Belanda dengan VOC nya yang membawa armada perang dengan peralatan yang canggih (pada waktu itu), artinya bahwa proses transformasi dua budaya besar ini mempunyai kecenderungan dengan kekerasan, yang berakibat pada terjadinya disintegrasi antara budaya-budaya yang pernah dibangun dengan tatanan budaya sebelumnya. Pergeseran budaya yang sudah terbangun ini, kemudian berantakan ketika kedatangan penjajahan Hindia Belanda. Terjadinya transformasi budaya yang cenderung dipaksakan ini kemudian membuat tatanan budaya lokal dan tatanan sosial menjadi terganggu. Ketika proses transformasi budaya lokal dengan penjajah terus berlangsung dan tidak berjalan secara mulus seperti transfromasi budaya cina, india dan islam, maka dengan membawa konsep dan proyek modernitas (kapitalisasi) mencoba untuk terus melakukan metode yang mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Proses ketegangan-ketegangan yang berlangsung terus menerus ini kemudian agak sedikit terselesaikan ketika pemerintahan Belanda menerapak kebijakan Politik etis, artinya kelompok-kelompok menengah ini bisa mengenyam dunia pendidikan (budaya barat), alhasil adalah munculnya golongan –golongan menengah yang mencoba untuk mengkontruksikan tatanan ke Indonesia-an menjadi bangsa yang terbebaskan dan mandiri. Menurut Anderson dalam “imaginated community” bahwa kelompok muda menjadi inti dari perjuangan kebangkitan nasional dari proses penjajahan Kolonial. Kelompok-kelompok muda/borjuasi/priyayi yang pernah merasakan pendidikan ala Barat mampu membangkitkan kesadaran rakyat untuk berdaulat dan sekaligus mandiri melalui sistem pendidikan ataupun perkumpulan-perkumpulan seperti Boedi Oetomo 1905, ISDV, dan kemudian munculnya gerakan sumpah pemuda pada 1928 dan seterusnya. Kalaupun ditelisik, bahwa peranan Jong-jong tersebut dalam mengintegrasikan dalam sebuah konsolidasi nasional dengan menyatakan bahwa perlunya integrasi secara nasional sebagai negara bekas kolonial Belanda. Karena adanya persamaan tersebut maka mau tidak mau bahwa negara bangsa menjadi keniscayaan pada waktu itu. Sampai pada era kemerdekaanpun, peranan pemuda ( klas borjuasi nasional) mampu memberikan kesadaran dan juga membangkitkan nusantara ini untuk menjadi bangsa sendiri yang mandiri dan berdaulat. Tepat 17 Agustus 1945 Indonesia menjadi sebuah bangsa yang diakui oleh dunia. Jadi keindonesiaan adalah proses yang diperjuangkan, baik ketika dalam penjajahan dulu dan ketika di alam merdeka sekarang. Semangat dan nilai para pejuang bangsa dapat dilihat melalui bukti-bukti sejarah yang disebut sebagai simpul-simpul ingatan kolektif bangsa. Konsekuensi dari perlawanan, mereka dibuang atau diasingkan dan banyak yang hingga akhir hayatnya.

Kelemahan Politik Borjuasi Indonesia
Sebelum membicarakan sejarah Indonesia yang luar biasa ini, pertama-tama adalah perlu untuk menjawab pertanyaan tentang peranan modal internasional, yakni imperialisme. Dengan begitu akan membimbing kita secara benar kepada permasalahan (diskusi tentang) sejarah Indonesia pasca-kolonial yang luar biasa tersebut. Proposisi yang hendak di kemukakan di atas adalah: negara Indonesia adalah instrumen dari kelas kapitalis Indonesia, yaitu persekutuan antara keluarga pasca 65 yang paling berpengaruh dengan modal internasional, yang menggunakan alat-alatnya dengan begitu kuasanya.
Menurut Frant Fanon dalam perjuangan antikolonialismenya mengusulkan gaya resistensi total yang radikal terhadap serangan politis dan kultural total dari misi pengadaban kolonial. Fanon diakhir manifesto revolusionernya dalam The Wretched of the Earth mengatakan, “Kebebasan total adalah kebebasan yang memperhatikan seluruh aspek kepribadian”. Prinsip yang mendasari proyek Fanon tentang “kebebasn total”, mensyaratkan tokoh yang diperbudak dari si terjajah untuk menolak hak pengakuan istimewa terhadap si ‘tuan” kolonial. Fanon dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa negara-negara terjajah harus berusaha menciptakan manusia seutuhnya, manusia yang sudah tidak mampu diiciptakan oleh Eropa.
Fanon menulis kembali narasi modernitas Barat untuk memasukkan tokoh-tokoh dari para korbannya yang terapresiasi dan terpinggirkan. Dalam versi yang sudah direvisi ini, industrialisasi menceritakan kisah tentang eksploitasi ekonomis, demokrasi yang dipecah oleh suara-suara protes pemilik hak pilih, teknologi yang dikombinasikan dengan perang, dan sejarah pengobatan yang oleh Fanon dilekatkan terus-menerus pada teknik penyisaan.
Fanon mengedepankan kapasitas nasional untuk menyaring pengalaman dominasi yang terbagi. Fanon berkata, nasionalisme merespon kekerasan kolonialisme dengan memperbesar solidaritas vertical antara kaum tani, pekerja, pemilik modal, pemilik tanah feodal dan kaum borjuis. Dalam The Wretched of the earth, Fanon mengemukakan nasionalisme dalam kapasitasnya untuk menghilangkan luka-luka sejarah yang dibebankan oleh struktur “Manichean” budaya kolonial yang membatasi bangsa terjajah ke dalam eksistensi manusia yang hampir tidak ada atau terbatas.
Dengan demikian tugas seorang nasionalis dalam pandangan Fanon dalam rehabilitasi kultural menjadi sangat penting. Dalam kerangka yang lebih luas, tuntutan atas solidaritas yang lebih besar dan lebih ekspansif menjadi sangat mendesak dibandingkan solidaritas budaya nasional. Hal itu dilakukan karena kesadaran nasional seharusnya membuka jalan bagi timbulnya komunitas global yang tercerahkan secara politis maupun etis.

Terputus Dari Imperialisme
Tetapi, apakah hakekat dari persekutuan dengan modal internasional ? Richard Tanter, dalam makalahnya yang dipersembahkan pada Universitas Monash, dengan tepat mengidentifikasi dua hal penting yang berkaitan dengan hubungan ekonomi: "ketergantungan" pada ekspor minyak (dan gas) dan pinjaman IGGI. Dengan menggunakan konsep "negara rentenir (rentier state)", Tanter menjadikan "negara" sebagai sesuatu yang tergantung. Tapi, dalam hal ini, lagi-lagi kita harus lebih rinci: siapa atau apa yang tergantung? Juga kepada siapa atau untuk apa ?"
Aku akan jelaskan dengan cara begini : ekonomi Indonesia sangat tergantung pada kesinambungan ekspor minyak dan gas bumi (dahulu karet dan gula) dalam jumlah besar (juga ekspor kayu dan tekstilnya), demi pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sangat tergantung pada sejumlah besar pinjaman luar negeri. Bila ekspor tersebut jatuh pada tingkatan tertentu, maka peluang investasi akan mengecil/merosot. Sehingga, keuntungan investasi yang ada pun akan cenderung merosot, kecuali jika biaya investasi tersebut juga menurun (dapat dikurangi). Dalam keadaan demikian, tentu saja sangat berat bagi para keluarga tersebut untuk mengeduk keuntungan yang sama dengan masa sebelumnya. Sehingga kemudian akan timbul tekanan bagi patron politik untuk menyalurkan uang demi mensubsidi keuntungan tambahan. Inilah problem sosial yang diakibatkan oleh terlalu jatuhnya tingkat ekspor dan pinjaman luar negeri, atau kenaikannya yang tidak terlalu tinggi. Sejalan dengan itu, timbul kebutuhan untuk mengendalikan ketegangan politik yang terkandung di kalangan kelas buruh dan tani, sebagaimana juga terkandung di kalangan kelas menengah dan pengusaha non-keluarga.
Dominasi imperialisme terhadap Indonesia merupakan sesuatu yang sangat umum, atau berada pada tingkat makro. Ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang tergantung demi pertumbuhannya kepada ekspor komoditi tunggal (energi) karena Indonesia adalah bagian dari sistem kapitalis dunia, yang pasarnya untuk komoditi-komoditi lain pada hakekatnya telah dikuasai oleh negeri-negeri industri besar. Namun, melalui kebijakan ekonomi IGGI (sekarang CGI), pasar bagi Indonesia dengan sendirinya dimonitor agar dapat dijamin ruangnya. Oleh karena itu. Indonesia memang pro-Barat, akan tetapi kebijakan pro-Barat-nya mengikuti alurnya sendiri. Indonesia mengarah ke pembangunan kapitalis, di ruang yang tersedia baginya, akan tetapi sedapat mungkin akan memperluas ruangnya, sekecil apapun. Bahkan secara budaya, Indonesia tidaklah seperti Filipina ataupun Amerika Latin, yang dipengaruhi kebudayaan Imperialis Amerika. Rezim Indonesia berusaha mengembangkan kebudayaan elitis, kosmopolitanisme ala Indonesia, ketimbang kebudayaan elit ala Amerika, Jepang, ataupun Belanda.
Mengapa kelas kapitalis yang kecil dan baru, dalam ekonominya yang belum dalam taraf industrialisasi maju, justru sanggup berdiri bebas (independen) dari negeri-negeri imperialis dalam mengejar berbagai kepentingannya sendiri yang pro-Barat, pro kepentingan kapitalis ? (Misalnya dalam isu pangkalan perang, Vietnam, penunjukan duta besar, sektor-sektor ekonomi yang terbuka bagi modal asing, dan lain sebagai nya). Karena Indonesia, sebagai negeri bekas jajahan/kolonial, memiliki sejarah yang luar biasa yang bertolak dari pernyataan umum: revolusi nasional telah memberikan kemerdekaan politik, tapi tidak kemerdekaan ekonomi. Ini-lah proposisi utama bagi semua negeri neo-kolonial. Dalam kasus ini, kurangnya kemerdekaan ekonomi ini-lah yang dapat menjelaskan kesinambungan kekuasaan politik imperialis dalam berbagai bentuk dan cara --atau paling tidak selama dekade 70-an, awal dekade 80-an, sebelum resesi sempat menggoyahkan negeri-negeri Dunia Ketiga.
Indonesia telah dan merupakan subyek dari kungkungan kekuasaan ekonomi imperialis pada tingkat umum atau makro. Dalam konteks historis: Indonesia yang ditinggalkan oleh penjajah/kolonial Belanda (dan pendudukan Jepang), merupakan Indonesia yang terbelakang dan belum terindustrialisasikan, serta tidak sanggup bersaing dengan negeri-negeri kapitalis besar. Ekonominya hanya sanggup berkembang di sekitar ruang yang telah dimiliki sebelumnya. Imperialisme tidak mencampurinya secara langsung, akan tetapi memanfaatkan keterbelakangan ekonominya.

Karena adanya campur tangan imperialis-lah, sejarah Indonesia memiliki aspek yang luar biasa. Perang Dunia II menghancurkan arti penting posisi Belanda sebagai negeri imperialis. Jepang tidak hanya menduduki Indonesia, tetapi juga menghancurkan basis modal (ekonomi) dan hegemoni (politik) Belanda, terlebih-lebih negeri Belanda sendiri diduduki Jerman dan dijadikan ajang peperangan. Belanda tidak bisa memulihkan martabat politiknya di Indonesia, walaupun ia turut serta dalam peperangan melawan Jepang. Walhasil, walaupun Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, dan kehadiran sebagian kepentingan ekonomi Belanda bisa dipulihkan, namun tidak terdapat dominasi mutlak ekonomi neo-kolonial Belanda terhadap Indonesia. Apalagi pada tahun 1957-1958, kehadiran ekonomi Belanda mutlak lenyap.
Di samping itu tidak ada kelas kapitalis asing yang secara ekonomi dan politik, dominan. Indonesia tidak lain merupakan bagian yang dikuasai dan diperas oleh sistem imperialis, sebagaimana juga negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya. Akan tetapi imperialis tidak mempunyai agen --apakah itu boneka atau pun sekutu— yang efektif di negeri ini. Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa memang benar kelas kapitalis dan pemilik tanah-lah yang berkuasa. Mereka bisa berkuasa melalui partai-partainya --Masyumi, NU, PNI dan lain sebagainya. Uang dan kekuasaan partai-partai ini selalu saja pada akhirnya, berasal dari kelas-kelas yang berpunya, walaupun mereka mengakui butuh dukungan rakyat, yang dipenuhi dengan konsesi nyata atau retorika. Kekuasaan mereka sebenarnya amatlah lemah. Tidak cukup mufakat yang mereka hasilkan mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan. Juga terdapat persaingan mengenai fraksi mana yang akan memimpin. Pemerintahan jatuh bangun. Walaupun pada dekade 50-an ada kemajuan di bidang ekonomi, tapi sangat lambat. Dan yang terpenting, proyek politik kelas borjuis yang mencoba berkuasa ini --berupa konsolidasi kekuasaan demokrasi borjuis-- mengalami kegagalan. Ketimbang pertanyaan Hary J. Benda, aku pikir pertanyaan Feith mengenai mengapa demokrasi konstitusional gagal, adalah benar-benar sepenuhnya absah. Mengapa? Karena hal tersebut merupakan proyek politik yang sangat penting bagi kelas yang berkuasa pada waktu itu --jadi, tentu saja, sangat penting untuk memahami mengapa mereka gagal.
Dengan kelas kapitalisnya yang kurus kering, --yang disengsarakan oleh Perang Dunia-- dan ekonominya yang belum terindustrialisasi, serta tidak hadirnya kelompok ekonomi asing yang memiliki boneka atau sekutu lokal, maka tidak mengherankan bila mereka gagal. Pertanyaan pokoknya: penyebabnya tidak lain adalah kelemahan politik dan kecilnya borjuis serta tuan tanah Indonesia, atau lebih tepatnya, itulah hakekat sebenarnya dari kelemahan mereka.
Di dalam dan di antara mereka sendiri, berbagai kelas tersebut tentu saja terpecah-belah. Sangat jelas tercermin dari banyaknya jumlah partai yang mengemban kepentingan kelas kapitalis dan tuan tanah Indonesia: Masyumi, NU, PSII, PNI, dalam banyak hal, dan bahkan PSI. Pemilahan tersebut mencerminkan fakta bahwa kelas kapitalis Indonesia secara mendasar masih berbasis kedaerahan. Kebijakan Belanda dahulu menyebabkan pasar nasional dikuasai hampir sepenuhnya oleh modal Belanda dan Cina. Sebagian besar pengusaha pribumi hanyalah melayani pasar regional atau mengekspor dari daerah masing-masing. Sebagai akibat tatanan politik semacam itu, mereka menjadi semakin terseret atau terlibat ke dalam berbagai pandangan yang mencerminkan dominasi keagamaan, budaya dan ideologi masing-masing daerah. Partai-partai tersebut, walaupun berusaha untuk menjadi dan bermakna pada tingkat nasional, namun tetap saja pada dasarnya merupakan partai yang berbasis kedaerahan. Oleh karena itu kelas penguasa terpecah-pecah ke dalam batas-batas kedaerahan, etnik, keagamaan dan budaya.

Kelemahan Ideologi: Warisan Kerakyatan
Tapi ada kelemahan yang lebih penting. Kecilnya pasar dalam negeri, tentu saja mencerminkan status ekonomi kolonial yang terlalu mengutamakan layanan pada modal Belanda yang berorientasi pada pasar ekspor. Kapitalisme masuk ke Hindia Belanda tidak melalui revolusi borjuis, tetapi melalui kolonialisme. Hubungan-hubungan sosial feodal dan pra-borjuis tidak sepenuhnya "hancur lumat (remuk redam)" dengan adanya ledakan kemampuan teknologi dan tenaga produktif (productive forces) yang memerlukan hubungan-hubungan sosial yang baru. Jadi ideologi dan cara berpikir feodal juga tidak dihancur-lumatkan oleh ledakan gagasan-gagasan borjuis baru. Di Indonesia, feodalisme sedikit demi sedikit dikikis oleh menipulasi kolonial, demi kepentingan imperialis. Ideologi dominan yang hidup di setiap tingkatan masyarakat Indonesia pada umumnya berwatak pra-borjuis. (Buku roman Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer pada intinya menganalisa bagaimana ideologi pra-borjuis tersebut mendapatkan tantangan dari borjuis nasional, dan tantangan tersebut gagal).
Gambaran mendasar dan esensial ideologi yang diterima oleh semua partai terkemuka tersebut adalah panggilan keagamaan mereka, yang merupakan bentuk yang biasanya terdapat pada ideologi feodal. Tentu saja, gagasan-gagasan borjuis, yakni "modernisme," selalu harus bertarung untuk memperoleh tempat di antara ideologi-ideologi tersebut. Akan tetapi, untuk tujuan menegakkan suatu "demokrasi konstitusional" yang stabil, ideologi-ideologi yang ada pada waktu itu tidaklah memadai. Panggilan keagamaan, yakni pengutamaan pada keyakinan dan kepercayaan (ketimbang pada akal dan ilmu), pengutamaan pada segala yang kolektif (ketimbang pada individu), pengutamaan pada kepemimpinan kolektif-organik (ketimbang pada "perwakilan profesional"), semuanya akan menghadang usaha hegemoni Gramscian (yang berusaha memekarkan dan meranumkan ideologi borjuis).
Keadaan buruk masih saja menghadang kelas kapitalis Indonesia yang baru lahir tersebut, termasuk menghadang para pengagum nilai-nilai demokrasi borjuis (seperti PSI, Hatta), karena sementara itu kaum nasionalis juga berjuang dengan menggunakan ideologi pra-borjuis untuk menghimpun kekuatan, dan pada saat yang sama menyebarkan gagasan-gagasan demokrasi kerakyatan dan keadilan sosial. Konsep Marhaen-nya Soekarno cocok dengan (memperoleh tanggapan dari) kesadaran yang benar-benar ada dan hidup pada saat itu rasa kebersamaan beserta kepemimpinan organiknya; hubungan patron-klien yang meluas dapat digunakan untuk menghimpun kekuatan.
Aku sepenuhnya yakin bahwa tradisi pergerakan nasional adalah radikalisasi (sedemikian rupa) hegemoni ideologi pra-borjuis, sehingga sanggup memojokkan kekuatan borjuis, dan juga menguntungkan kaum kiri. Hal tersebut bisa terjadi karena kepemimpinan politik --baik yang revolusioner atau pun yang patron-- telah berhasil mengangkat gagasan "klien kolektif (kebersamaan-persaudaraan) sebagai dasar kejayaan Marhaen dan Rakyat. (Dan tentu saja, berbagai keterbelakangan jenis-jenis feodal juga menghendaki masuknya agama ke dalam parlemen). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa salah satu konsep yang pertama-tama diperkenalkan oleh Orde Baru adalah "massa mengambang". Seringkali kita mengkritik konsep tersebut sebagai bagian dari otoritarianisme Orde Baru. Tapi pada kenyataannya, konsep tersebut hanyalah merupakan suatu pernyataan terbuka tentang kunci untuk memapankan demokrasi borjuis. Di Indonesia disebut "massa mengambang"; di Barat. Konsep
tersebut merupakan prasangka untuk menentang apa yang mereka sebut sebagai "sarang-sarang tikus," "ekstrimis," "penghasut," dan "kesenangan berpamer-pamer." Gagasan bahwa massa sebagai penentu melalui kotak-kotak suara pemilu, yang sebenarnya tidak berbeda dengan "massa mengambang," tidak lain merupakan hakekat demokrasi borjuis. Hanya di Indonesia, konsep tersebut dengan brutal dipaksakan karena, sederhana saja, konsep tersebut bukan bagian dari hegemoni ideologi.

Kapitalis Bersenjata
Pengambilalihan perusahaan-perusahaan tersebut oleh tentara juga dianggap sebagai kekalahan partai-partai konservatif, dan dalam beberapa hal, kekalahan organisasi-organisasi politik klas borjuis dan klas pemilik tanah Indonesia. Partai-partai tradisional kehilangan inisiatifnya dalam menghadapi Angkatan Bersenjata dan Soekarno. Terlebih-lebih, ruangan telah terbuka bagi perluasan kapitalis ber-senjata karena mereka kini telah menguasai perusa-haan-perusahaan bekas milik Belanda. Dalam hal ini, pertanyaan yang harus diajukan adalah: apakah pada masa kini tentara sesungguhnya sedang mempraktekan kebebasan relatif mereka terhadap kelas yang dominan secara ekonomi? Aku pikir, dalam hal ini terdapat dua faktor yang harus diteliti. Pertama, pada akhirnya, kelas borjuis Indonesia beserta para penghisap di pedesaan, yaitu para pemil-ik tanah dan birokrat, tergantung kepada tentara untuk menentang dirinya dalam menghadapi revolusi. Kelas dominan tersebut terlalu lemah ketika menghadapi oposisi revolusioner.
Kedua, Angkatan Bersenjata Indonesia sesungguhnya diciptakan oleh revolusi nasional, gerakan yang melibatkan multi-kelas. Hal ini tidak saja tercermin dari komposisi dalam tubuh Angkatan Bersenjata, akan tetapi, yang terpenting, kurangnya identitasnya terhadap salah satu kelas di Indonesia.
Ketiga, dengan menggunakan senjatanya, banyak sekali seksi-seksi di ketentaraan yang telah aktif sebagai kapitalis. Kita tahu dengan jelas bahwa panglima-panglima daerah banyak yang melibatkan dirinya dalam penyelundupan dan/atau bekerja sama dengan pengusaha setempat.
Kemenangan tentara dalam mengambilalih perus-ahaan-perusahaan Belanda, yang tadinya dikuasai oleh buruh, mengandung dua aspek penting. Pertama, mencip-takan ketergantungan politik borjuis sipil kepada tentara, yang setuju dengan keterlibatan tentara dalam menghadapi gerakan kiri. Dengan demikian memberikan peluang bagi Angkatan Bersenjata untuk mela-kukan serangan politik yang luas. Kedua, melapangkan jalan bagi fraksi kapitalis bersenjata dalam bekerja sama dengan borjuis pribumi yang telah ada, yang lemah secara politik dan tidak bersenjata. Dengan kata lain, lebih mempercepat proses keterlibatan komersial perwira-perwira tentara. Di dalam kelas kapitalis itu sendiri sudah lama terdapat pertantangan historis, yang tumbuh akibat kelemahan politik borjuis lama ketika menghadapi gerakan revolusioner. Pertentangan tersebut adalah antara kapitalis yang BERSENJATA dengan yang TIDAK BERSENJATA.
Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa tindakan pengambilalihan perusahaan-perusahaaan Belanda oleh tentara sesungguhnya mewakili kepentingan umum kelas yang berpunya di Indonesia. Bayangkan bila kelas buruh dan tanilah yang menguasai seluruh sektor perekonomian modern Indonesia? Pertentangan akhirnya dapat diselesaikan, dengan kemenangan mereka yang paling dominan dalam kontra-revolusi 1965-1966, walaupun pertentangan di antara kelas penguasa Indonesia untuk selanjutnya berputar di sekitar sumbu itu-itu juga: misalnya MALARI atau PETISI 50. Akan tetapi, karena pertentan-gan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Kapitalis Bersenjata, kapitalis Indonesia tetap saja tidak dapat diatasi. Penghancuran fisik gerakan revolusioner hanyalah satu-satunya jalan untuk memperoleh keunggulan politik oleh karena mereka tidak mampu mengalahkannya di bidang ideologi. Oleh karena itu ada kebutuhan untuk selalu mengintip setiap kebangkitan gerakan yang berbau kerakyatan atau kiri).
Pada akhir dekade 50-an, berlangsung dua proses. Pertama, tumbuhnya kelompok kapitalis bersenjata, yang barisannya adalah Soeharto. (Yang aku maksud adalah dilihat sebagai gejala sosiologis, bukan sebagai kelompok politik yang terorganisasi). Aku menyebut Soeharto, karena kelompoknyalah, sepanjang yang aku temukan, yang pertama-tama memiliki bank dan perusahaan ekspor-impor sendiri, serta yang menjalin kontak-kontak luar negerinya sendiri, seperti dengan Malaysia. Kedua, semakin kuat kepemimpinan politik kelas borjuis yang lemah dan terpecah belah. Nasution dan lain-lainnya mulai mengklaim KEPEMIMPINAN POLITIK atas negeri ini. Perwira tentara seperti Nasution tidak lah bermaksud "membuat negeri mandiri", akan tetapi ingin diterima sebagai pemimpin politik oleh kekuatan-kekuatan sosial sejenis yang didukung oleh partai-partai konservatif unggulan. Oleh karena itu, di masa Orde Baru, ia lebih dekat hubungannya dengan para kapitalis yang berasal dari kerabat dekat (konco-konco) pelaku-pelaku utama kontra-revolusi 1965-1966. Pada masa itu, hal terse-but menciptakan tekanan kepada Angkatan Bersenjata agar mewakili kepentingan kekuatan-kekuatan tradisi konservatif. Semua itu artinya, anti-partai tapi pro kapitalis, atau kebijakan-kebijakan pro-Barat: kebi-jakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan kelom-pok-kelompok pengusaha yang ada, tapi menentang wakil-wakil politik tradisional mereka dalam merebut kekuasaan.
Tapi Angkatan Bersenjata berada dalam posisi yang tidak mampu berjuang sendiri dalam menghadapi oposisi Kiri, bahkan bila seandainya pun mereka dikalahkkan dalam aksi pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. Mereka bersaing dengan kepemimpi-nan tradisional konservatif, yakni partai-partai yang terpecah belah dan tak berkemampuan. Yang jelas, mereka juga tidak dapat bersekutu dengan gerakan buruh-tani. Bagaimana pun juga, kebutuhan mendesak kampanye mereka dalam menentang partai-partai, membawa mereka masuk ke dalam persekutuan dengan Soekarno.

Konsep Nasionalisme Perlu Ditinjau Ulang
Sejarah mencatat bahwa reformasi 98 telah menyisakan berbagai sejarah hitam politik, ekonomi bangsa yang belum selesai menentukan arahnya. Pondasi yang dibangun oleh Orde baru selama 32 tahun akhirnya hancur dengan begitu cepatnya akibat dari pengaruh kebijakannya. Kita seolah-olah membuka memori tentang tragedi 98, yang identik dengan kerusuhan rasialis (etnis Cina) sebagai buah atas kedekatannya dengan Soeharto. Kedekatan ini kemudian menyisakan catatan hitam bahwa etnis Cina yang selama ini dekat dengan kekuasaan akhirnya mendapat tudingan dari berbagai pihak atas pelayanan yang diberikan oleh Orde baru. Apa yang berikan etnis Cina untuk membantu dalam konteks pembangunan ternyata di terima pada hal yang berbeda, dalam satu sisi bahwa Orde Baru memberikan hak untuk mendukung dengan melakukan investasi pembangunan (ekonomi) tetapi dalam aspek politik ada pelarangan tradisi cina (tidak ada pengakuan agama Tionghoa). Peristiwa ini berbeda pada situasi etnis Cina di Yogjakarta, dimana kehidupan dengan pribumi selalu damai dan tidak terjadi kerusuhan rasialis. kemudian buah dari gerakan 98 adalah semakin terbukanya ruang-ruang demokrasi yang selama ini tertutup, artinya saluran demokrasi dibuka secara luas. Akan tetapi terbukanya ruang demokrasi tersebut, justru membuat arah perubahan menjadi tidak terkontrol. Konflik rasialis begitu kuatnya pasca 98- konflik sampit, Poso, Papua, sampai pada Atjeh dan lain-lain yang dikarenakan sekat-sekat politik buntu sebagai akibat dari politik kekerasan Orde Baru. Akibatnya adalah munculnya gerakan pembebasan sebuah bangsa- negara bangsa. Indonesia yang dikontruksikan oleh borjuasi nasional secara terpaksa, justru berdampak pada apa yang terjadi saat menjadi fakta empirik yaitu munculnya gerakan pembebasan. Menguatnya pembebasan Atjeh dan Papua dalam paruh tahun 2002 merupakan contoh dari kebijakan politik Orde Baru yang terus mengekspotasi wilayah tersebut tanpa memberikan kompensasi yang seimbang. Gerakan ini kemudian menyulut daerah lain untuk melakukan pembebasan walaupun dalam konteks historis sangat berbeda seperti Riau, dan lain sebagainya. Ditengah-tengah maraknya gerakan tersebut, pemerintahan ini justru sedang menata/transisi menuju konsepsi ke-indonesia-an ala demokrasi liberal. Yah, konsepsi Otonomi daerah menjadi satu bagian untuk mengatasi berbagai ketimpangan yang selama ini menjadi batu sandungan pembangunan. Proses negosiasi dan dialog atas ketegangan-ketegangan yang dimunculkan sebagai akibat dari politik Orde Baru justru dapat di selesaikan dengan jalan mengedepankan dialog perdamaian atas konflik rakyat Atjeh dan Papua, dengan memberikan otonomi secara khusus.
Seiring dengan perkembangan demokrasi liberal, dampak negatif pelaksanaan UU tentang Otonomi Daerah berupa sikap eksklusifisme kedaerahan yang melahirkan kecendrungan persaingan tidak sehat antarkabupaten dan provinsi menjadi ancaman integrasi bangsa. Kecenderungan antarkabupaten yang tajam dilatarbelakangi motivasi mengejar pertumbuhan ekonomi guna mewujudkan kemandirian daerah. Dalam konteks ini tepat membicarakan nasionalisme dengan tafsir dan makna baru. Konsep nasionalisme harus dapat menjelaskan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang. Bangsa menurut pengertian Benedict Anderson adalah sebuah komunitas yang dibayangkan . Ia mengatakan:
bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun toh dibenak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Anderson, terj. 2001:8).
Bayangkan bagaimana konsep nasion atau bangsa itu dapat diterapkan untuk penduduk yang tersebar di kepulauan yang banyak seperti Indonesia. Pengertian nasionalisme memang tidak mudah diterangkan karena menurut Brown, ia berkaitan dengan dua penjelasan yakni sebagai kategori praktik dan analisis. Brown mengemukakan tiga konsep tentang nasionalisme. Pertama mengenai ideologi, kesetiaan emosional (emotional loyalty), dan kepentingan (interest) Ketiga spektrum itu memiliki kecenderungan kuat saling tarik menarik dari sudut orientasinya masing-masing. Ketiganya dapat dijelaskan melalui 3 pendekatan: kontruktivis, primordialis, dan situasionalis.
Dalam pendekatan konstruktivis, nasionalisme merupakan ideologi yang bermuatan psikologis dan bernuansa mitos politis. Menurut pandangan ini, nasionalisme adalah identitas nasional yang dibangun dengan dasar kerangka institusional dan dirumuskan secara sederhana dan simplistis untuk mendiagnosa masalah-masalah kontemporer. Mungkin dapat diajukan contoh disini bahwa pernah muncul istilah Kebangkitan Nasional Kedua untuk memberi makna dalam peringatan setiap tanggal 20 Mei pada masa pemerinathan B.J. Habibie. Gejala seperti ini mungkin termasuk upaya disengaja untuk menguatkan nasionalisme Indonesia. Biasanya ungkapan-ungkapannya sloganistis.
Mungkin kita masih teringat dengan lepasnya Timor-Timur tahun 1999, batas wilayah terluar kita yang sempat menjadi polemik dengan Malaysia dan Singapura yaitu pulau Sipadan dan Ligitan yang berakhir pada lepasnya dari genggaman NKRI, dan belakangan ini adalah Malaysia kembali mempersoalkan P. Ambalat dan P. Sibetik. Sebagai seorang nasionalisme, persoalan ini menjadi ancaman. Sehingga memunculkan dan menumbuhkan sifat nasionalisme dan patriotisme dalam menjaga keutuhan bangsa negara. Sikap nasionalisme sempit yang ditanamkan Orde Baru ternyata menjadikan kesadaran sejati rakyat terilusi. NKRI menjadi harga mati adalah gambaran keberhasilan dari politik Orde Baru dalam melakukan kontruksi sebuah bangsa yang kemudian berakhir sangat rapuh.
Dalam pendekatan primordialis, nasionalisme dilandasi pada sebuah masyarakat organik dan alamiah. Cerminannya adalah kekuatan emosional yang etnosentrik, misalnya dengan mengatakan bahwa mereka atau bangsa itu merasa berasal dari nenek moyang yang sama (common ancestry). Demikian pula mitos yang berkembang mengenai asal-usul yang sama (myths of common origin). Jika tarikan ke nasionalisme konstruktif yang ideologis sifatnya psikologis dan mitos politis, maka tarikan ke primordialis bersifat instinktif. Pendekatan situasionalis menerankan bahwa identitas etnik dan identitas kebangsaan merupakan sumber daya yang diolah oleh kelompok individu dalam rangka memenuhi kepentingan bersama.
Dalam konteks perubahan yang melahirkan tantangan dan peluang, masyarakat memiliki sejumlah pilihan dan jawaban untuk mengatasi situasi permasalahan yang dihadapi. Pendekatan ini dapat menjelaskan maslaha-masalah yang ditimbulkan dari situasi-situasi ketimpangan ekonomi dan kekuasaan. Situasi itu dapat menimbulkan gerakan etnik dan nasionalis untuk mempertahankan identitasnya. Pendekatan primordialis dapat menerangkan mengapa nasionalisme diterjemahkan sebagai identitas yang kental atau padat. Sedangkan pendekatan situsionalis menerangkan bahwa nasionalisme sebagai suatu identitas yang cair. Ini dapat dimengerti karena pada sudut primordialis, nasionalisme diikat dengan kesetiaan emosional. Sedangkan pada sudut situsionalis pengertian nasionalis didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang bersifat situsional. Tarik-menarik antara sudut pandang konstruktivis dan situasionalis terlihat pada yang pertama bersifat ideologis (kepercayaan yang dianggap benar sehingga harus diperjuangkan) dengan sudut situsionalis didasarkan pada rasionalitas.
Munculnya gejala disintegrasi sosial dan disintegrasi nasional boleh jadi karena selama ini mampatnya aspirasi lokal atau daerah ke permukaan. Nasionalisme negara terlalu kuat menekan kepada nasionalisme yang bersifat primordialis yang pada prinsipnya memang hidup. Demikian pula nasionalisme negara kurang memperhatikan perkembangan di dalam masyarakat yang karena munculnya berbagai kepentingan tidak tertampung di dalam perwujudan nasionalisme negara.

Selasa, 10 Maret 2009

Mengancam Demokrasi

secara subtansi pemilu 2009 bakal terancam,dari awal pembentukan UU Pemilu,terpilihnya KPU yg masih diragukan integritasnya sampai pada polemik pilkada telah menyisakan persoalan besar fase transisi demokrasi. Dua kali pelaksanaan Pemilu pasca tumbangnya otoritarian Orba menjadi pondasi yang kuat atas berjalannya mekanisme prosedural demokrasi,namun tidak diimbangi dengan meningkatnya keadilan dan kesejahteraan rakyat. Realitasnya demokrasi yang sejatinya untuk rakyat justru telah dibajak oleh kaum demokrat/reformis gadungan. Ancaman yang paling besar, ketika muncul keputusan MK(suara terbanyak) dan Perpu no 1 tahun 2009 tentang Pemberian tanda contreng,atas nama menyelamatkan suara rakyat,berbagai latar belakang caleg yang tidak jelas juntrungannya.

Pemilu 2009 merupakan demokrasi padat modal, demokrasi yang memboroskan uang rakyat tapi tidak berdampak pada meningkatnya kesejahteraan rakyat, apalagi kalau dilihat proses PILKADA yang telah memakan biaya tinggi tapi peningkatan pelayanan dan kesejahteraan makin timpang, hal ini diperparah lagi dengan antusiasme elit lokal yang mendorong terbentuknya wilayah baru. Realits ini dapat diprediksi kualitas demokrasi dan kridibilitas parlemen 2009 dalam kategori unpredicable (kompas,Feb 09), artinya bahwa 5 tahun ke dpn arah dan landasan bangsa ini tidak menentu dalam biduk ekonomi-politik global. Bayangkan bagaimana 220 juta rakyat menggantungkan hidupnya pada kebijakan legislasi,advokasi,budgeting anggota parlemen yang tidak memiliki kompetensi dlm bidangnya.

Sementara itu, problem teknis persiapannya jauh dari harapan publik. minimnya sosialisasi pemilu,cetak kertas suara dg segala persoalan,rusaknya tinta,minimnya integritas KPU-KPUD-PPK-PPKs,problem distribusi logistik,gugatan kesalahan nama caleg dan partai republiku, problem 9 april bertepatan dg Kamis Putih dan faktor-faktor lain yang justru diluar dugaan pikiran rasional awam bakal mendera. Harapan terwujudnya pemilu yang LUBER dan JURDIL masih dalam sebatas angan.

Gerakan golongan putih akan meningkat yang tercermin dari pelaksanaan pilkada di hampir 480 kota/kab, 33 pilkada propinsi dimenangkan oleh golongan putih. Rata-rata kemenangan berkisar 40%-60% dengan berbagai sebab. Bahkan dalam prakteknya, demokrasi yang dijalankan ditingkat lokal justru tidak bermakna artinya banyak manipulasi fakta dan sejarah yang dilakukan elit dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Ukuran ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi warga dalam proses demokrasi tingkat lokal sangat rendah dan tentunya akan mengancam kualitas demokrasi.

Aceh Menapak Jalan Terjal

Instabilitas di beberapa daerah bekas konflik menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Menurut Kapolri Jendral Bambang Hendarso Daruri Aceh merupakan salah satu yang masuk dalam kondisi rawan, di samping Maluku dan Irian Jaya. Menjelang pelaksanaan pemilu untuk Provinsi Aceh mereka sudah mengawalinya dengan operasi Sikat Rencong di Aceh dan mampu menurunkan tingkat kerawanan pemilu di Aceh serta penyitaan senjata serta menggelar operasi preman.

Teristimewa, menjadi perhatian tatkala muncul riak-riak yang terkait dengan pemilu 2009. Artinya, terjadi beberapa peristiwa yang melahirkan tandatanya. Seumpama penculikan terhadap aktivis atau pengusaha, lalu ada tebusan. Lebih khusus lagi pengrusakan terhadap beberapa kantor partai lokal. Semua itu menghangatkan kondisi di provinsi paling ujung sebelah Barat negara tercinta ini. Reaksi dari berbagai pihak muncul.

Bermacam tanggapan dan pendapat, termasuk dari ibukota. Sebagian meminta agar aparat keamanan lebih fokus. Sebagian lagi mengharapkan semua pihak menahan diri, meski ada yang meminta agar butir butir MoU Helsinki senantiasa menjadi pedoman.

Aceh menjelang pemilu 2009 memang memberi arti tersendiri. Ada tiga hal yang menjadikan kondisi di Aceh agak lebih khusus. Pertama, butir-butir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki seolah-olah masih harus selalu diulang pengertiannya agar makin dipahami secara utuh. Mungkin, ada penafsiran yang agak beda, sehingga selalu beda pendapat. Atau, diantara ketentuan yang disepakati itu memang memungkinkan lahir multitafsir. Kedua, lahir partai-partai lokal.

Ini merupakan keistimewaan dalam pemilu kali ini bagi warga dan daerah Aceh. Tentu suasana kompetitif makin terasa dan harus menjadi perhatian dalam pengaturan strategi parpol dan caleg untuk menang atau dalam meraih suara yang sebanyak-banyaknya. Ketiga, jumlah parpol (nasional) yang bertambah, seiring dengan meningkatnya jumlah para caleg.

Apapun kondisi Aceh menjelang pemilu 2009, hal terpenting yang dilakukan adalah, untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan. Hal ini jangan sampai menjadi retak. Suhu politik boleh meningkat, tetapi hubungan sesama, jalinan yang telah terwujud, hendaknya tak tergoyahkan.

Dari sisi lain, selama kampanye maupun setelah itu, mari bersama-sama untuk saling menghormati, menghargai. Tak saling fitnah, tak saling merusak. Tetapi masing-masing parpol dan tiap caleg, melakukan aktivitas sesuai dengan peraturan yang ada. Sejumlah ketentuan kiranya menjadi acuan dalam masa kampanye pemilu 2009. Tanggal 16 Maret sampai 5 April 2009, merupakan kurun waktu yang tergolong sensitif dan akan dimanfaatkan secara maksimal oleh parpol dan para caleg.

Harus diingat, pemilu bukan segala-galanya. Untuk itu, derap pembangunan tetap harus dijalankan. Kekompakan dan keutuhan patut dipertahankan. Sektor dan sisi-sisi yang sudah berjalan normal, jangan sampai menurun. Tingkat keamanan harus dipelihara bersama.

Kita semua tetap berharap, bahwa berbagai ancaman yang datang baik dari dalam maupun luar harus senantiasa menjadi renungan kita bersama tentang sebuah perdamaian, persatuan dan kebersamaan dalam membangun negara bangsa.

Pemilu : Kritis, Rawan dan Mahal

Demokrasi elektoral 2009 tinggal tigapuluh empat hari lagi, kesiapanpun begitu nampak terasa kuat dari caleg-caleg dan tentunya geliat para capres. Dalam demokrasi padat modal mereka dipaksa untuk menguras semua energi dalam memperebutkan kekuasaan 5 tahunan, tidak terkecuali mereka juga bertaruh posisi yang sudah didapatkan dalam birokrasi (komisaris,direktur,staff ahli dll) dengan memilih untk bertarung dalam kekuasaan politik yang tidak ada jaminannya. Bahkan ada juga yang menggantungkan label aktifis, darah biru politik, kepopuleran, dan sebagainya merupakan rona-rona demokrasi padat modal.

Berbagai strategi politik untuk mendulang suara di basis rakyat terus dilakukan dengan iklan, pembuatan posko, pengobatan gratis, pertemuan warga, door to door dan berbagai janji-janji politik ketika nanti saya menang,saya akan.... yang semakin intensif frekuensinya. Tampilan atribut kampanye yang menyesakkan ruang-ruang publik justru kontraproduktif dengan kehendak rakyat yang menginginkan perubahan.

namun, geliat politik yang sudah mendidih tidak di imbangi dengan kesiapan-kesiapan secara substantif dan teknis baik yang dilakukan KPU dan sejawatnya. Minimnya sosialisasi, banyaknya aturan hukum yang tidak diimbangi dengan aturan penegasan seperti kuota perempuan 30%, problem cetak kertas suara-potong-distribusi, Bahkan dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilu justru masih banyaknya ditemukan kesalahan secara teknis seperti kertas suara rusak, salah distribusi, kekurangan kotak suara, probelm lipat dan potong kertas suara, problem prosedur cetak, dll. maka harapan terhadap pelaksanaan pemilu yang jujur adil dan langsung akan semakin menjauh dari subtansinya, kalaupun KPU dan BAWASLU beserta instrumen dibawahnya memaksa pelaksanaannya dengan dalih DEMOKRASI justru akan mengancam substansi demokrasi yaitu kesejahteraan untuk rakyat.

Ancaman demokrasi elektoral ke depan sangat kompleks, tidak datang dari penyelenggara (KPU) karena ketidaksiapan secara teknis namun ancaman terberat adalah datang dari para caleg dan partai politik. Sementara keputusan MK atas nama suara rakyat dapat menimbulkan konflik. Rawannya konflik antar caleg dalam satu partai atau antar caleg dalam satu dapil akan marak menghiasi pesta rakyat. Bahkan banyak caleg-caleg yang bertarung juga dirundung masalah dengan pihak polisi dan KPK. Kompleksitas ancaman inipun dapat diprediksi akan terus berlanjut sampai selesainya pesta demokrasi. Kita semua bisa membayangkan bahwa awal tahun pemerintahan yang terpilih akan berjalan tidak efektif.

Sementara penjaga moral dan integritas bangsa sudah luntur spiritnya, mereka justru terjebak dalam politik praktis. tingginya mobilitas kelompok agama dalam setiap kegiatan, munculnya dewan integritas (tokoh agama dan masyarakat) yang justru sebagai pedagang baru dalalm bursa pencapresan yang akan dijual ke partai politik, bermunculan kanal-kanal alternatif seperti poros perubahan, poros bumi dan seterusnya merupakan arena power bargain antar elit.

Inilah sekelumit panggung sandiwara politik elit dalam mengejar posisi, bukan harapan akan perubahan. Hampir semua partai dan caleg tidak memiliki perbedaan program dan visi yang jelas, yang sejatinya sudah dilakukan pemerintah SBY-JK artinya perubahan itu tetap tidk membumi.

harapan kita semua adalah bagaimana ancaman dan mahalnya proses demokrasi elektoral menjadi tamparan elit dan rakyat untuk sadar bahwa langkah-langkah menjalankan demokrasi padat modal tidak sesuai dengan akar budaya bangsa. demokrasi yang terlalu cepat masak sebelum waktunya dan tidak di imbangi dengan penguatan kesadaran sipil society hasilnya adalah kerusakan mental dan karakter bangsa yang seolah-olah demokratis namun sejatinya adalah tampak muka.

Arus Balik Perubahan

empatpuluh hari lagi smua kontestan demokrasi elektoral akan bekerja lebih keras lagi dlm meyakinkan pemilih atas pilihannya ditengah minimnya sosialisasi KPU dan elemen sipil lainnya. Para kontestan tentunya memiliki strategi jitu dalam demokrasi padat modal untuk menang. kita semua terperangah ketika melihat tayangan iklan/baliho yang terkesan para kontestan tidak memiliki kepercayaan diri untuk tampil mjd pemimpin, menampilkan foto klen keluarga,numpang ketenaran tokoh,sampai menduplikasi logo sebuah produk komersil dan seterusnya.

560 kursi parlemen tingkat pusat sedang diperebutkan oleh 22 ribu caleg dari 38 parpol,130 kursi DPD oleh 1320 calon DPD dari 33 propinsi, dan ribuan kursi DPRD I -DPRD II dari 38 parpol dan 6 parpol lokal di Aceh. Membayangkan begitu sesaknya persaingan untuk memperebutkan kursi terhormat parlemen tentunya dengan pergorbanan yang tidak sedikit. Slogan,janji perubahan terus menyeruak ditengah rakyat yang terkena himpitan krisis multidimensi bangsa, seolah-olah apa yang dilakukan para pemburu kursi tidak berarti ketika hanya bualan atau janji semata. Rakyat dipaksa untuk memilih dan memenangkan para pemburu kursi parlemen, bahkan majelis ulama islam saja sudah bermain politik praktis dengan mengharamkan Golput yang mengatasnamakan perubahan(politisasi lembaga agama). Ketakutan negara (para demokrat) menurunnya kualitas demokrasi hanya dilihat dari tingkat partisipasi rakyat. Padahal kalau kita menyimak secara jeli,bahwa geliat peningkatan angka golput sudah ditunjukkan di pemilu 2004 dan PILKADA. pemaksaan ini mencerminkan bahwa negara dengan instrumen politiknya sudah tidak menjamin hak asasi manusia yg sejatinya telah dilindungi oleh dunia.

Harapan perubahan yang dilontarkan para pemburu kursi parlemen sejak pemilu 1999,2004 dan Pilkada tak kunjung datang dan membumi menjadi amunisi rakyat untuk menghukum dan mengadilinya. bahkan situasi yang sama juga dilakukan pada pemilu 2009, namun sekali lagi pengingkaran ats perubahan adlah pengalaman yang berharga rakyat. inilah bentuk arus balik perubahan yang sejatinya juga memakan tuannya. Atasnama perubahan pula rakyat mulai berpikir cerdas atas janji perubahan yang diusung oleh pemburu kursi parlemen,mereka2 merupakan pemain lama,pemain lama berbaju baru, pemain baru berbaju lama.

Tidak ada perbedaan atas janji perubahan dan tidak ada yang berani mendobrak atas perjalanan bangsa, semua seolah-olah bermain aman atas perubahan. inilah penyakit luar biasa yang telah menjangkiti elit, tidak berani memilih dan berdikari. Oleh karenanya rakyat hari ini telah menyadari akan rusaknya bangsa, dan gaung rindu akan suasana aman tentram dengan sistem ketatanegaraan yg berdasarkan ats kultur sosio politik nasional kembali bermunculan..arus balik perubahan adalah kembalinya harapan sistem lama yang memberikan kenyamanan dalam hidup bernegara.

Rabu, 07 Januari 2009

Tahun Politik, Tahun Janji

Hiruk pikuk demokrasi telah membuat mayoritas rakyat terbius dalam “mimpi” perubahan, tidak terkecuali para intelektual, politisi, seniman/artis sampai aktifis pun telah dibuat mabuk atas demokrasi procedural lima tahunan. Ratusan orang bahkan sampai ribuan orang dari latar belakang ambil tiket dalam satu loket “partai politik” untuk mendapatkan kursi kekuasaan, ibarat “negeri loket” mengambil istilah Hariman Siregar. Loket kekuasaan akan menimbulkan antrian yang cukup panjang, bahkan saking tidak sabarnyapun bisa menyebabkan jatuhnya korban-korban politik antrian.

Dalam tahun politik, tentunya semua kontestan politik terus melakukan serangan-serangan ke jantung rasio rakyat untuk berebut pengaruh yang kemudian pada hari “H” bisa memberikan suaranya. Rakyat selalu dijadikan obyek dengan dalih atas nama demokrasi dan perubahan, bahkan beberapa kelompok yang ambil bagian di politik parlementarisme yang masih ragu, memanfaatkan gerakan massa menuntut sebagai ruang untuk melakukan kampanye, orang gerakanpun menyebutnya sebagai strategi taktik-pengabungan parlementarisme dan gerakan ekstraparlementer, sesuatu yang sah dilakukan bukan?

Berbeda dengan yang sudah yakin 100% tentang jalan pemilu sebagai jalan perubahan. Fase transisi demokrasi yang masih dikendalikan pasar, tentunya ruang dan alat politik modernpun menjadi tumpuan untuk merebut hati rakyat. Berbagai atribut caleg maupun capres bertebaran di hampir semua tempat, tembok, jembatan, jalan, sampai tidak satu ruangpun di belahan negeri ini yang kosong atribut politik- semua penuh sesak, sesesak kehidupan kota. Kehidupan penuh sesak akan politik perebutan kekuasan justru telah menjauhkan dari kehidupan real masyarakat strata social rendah yang berkubang atas kemiskinan. Masyarakat terus dipaksa dengan pasokan-pasokan politik yang sungguh menggiurkan akan kekuasaan, namun ketika sudah berkuasa mereka-mereka abai terhadap tugas sejatinya mengadopsi istilah Multatulli “memanusiakan manusia”.

Dalam tahun politik inilah, elit dan pemburu kekuasaan lainnya telah memanusiakan manusia dengan dalih untuk berebut pengaruh rasio rakyat, akibatnya ada relasi yang kuat antara caleg/capres dengan pemilih/konstituen. Kehidupan semacam ini ibarat hukum ekonomi, ada penawaran-ada pembelian/supply – demand, artinya fase ketiga transisi demokrasi telah memakai hukum pasar dan produk yang ditawarkanpun supaya diterima dipasaran membutuhkan strategi pemasaran yang jitu.

Pertarungan politikpun menyeruak dalam benak public, antar caleg dalam satu partai dan antar partai dalam berebut suara rasio rakyat yang ditunjukkan dengan maraknya atribut yang terpampang dipenjuru tempat, bahkan yang paling menarik sebenarnya pertarungan Capres. Seolah-olah para politisi bertarung merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan merayu rasio suara rakyat bahwa “sayalah yang paling pantas dan mampu melakukan perubahan. Sebut saja mulai dari Megawati, Rizal Ramli, Sultan HB X, Sutiyoso, SBY, Wiranto, SB, Amin Rais. Mereka mencari sensasi politik seolah-olah pro terhadap penderitaan rakyat, padahal sejatinya mereka memiliki rekam jejak yang sama-sama buruk. Hiruk pikuknya pertarungan politik kekuasaan ini membuat mereka lupa akan realitas kehidupan rakyat atas : langkanya elpiji/gas, pasokan bbm, sembako mahal, bencana alam, kekerasan aparat Polri atas petani suluk bungkal-bengkalis Riau. Para politisi malah menjadikan komoditas kasus-kasus rakyat sebagai bargain position kekuasaan, ataupun melakukan cuci tangan atas periodisasi pemerintahan SBY-JK yang dibangun atas politik power sharing partai politik ; PBB, PKB, PAN, Golkar, Demokrat, PPP, PBR.

Tahun politik memaksa para politisi untuk ekstra kerja keras, meluangkan harta, waktu ataupun tenaganya untuk benar-benar memanusiakan pemilih dengan harapan mereka mau memilihnya, apalagi semenjak keputusan ditengah jalan MK soal Suara Terbanyak telah membuyarkan harapan para politisi yang dekat dengan pimpinan partai ataupun yang memiliki popularitas tinggi untuk duduk dikursi kekuasaan. Konsekuensinya adalah para politisi bukan hanya bekerja keras namun juga menawarkan trand mark “JANJI POlITIK” berupan visi-misi-sampai program yang kalau jadi nanti rakyat akan sejahtera, memberikan pendidikan –kesehatan gratis, mengutamakan produk dalam negeri, sembako murah,memberantas korupsi dan lain-lain. melihat sepintas dari janji-janji para politisi hampir memiliki kesamaan, walaupun kalau di terjemahkan memiliki perbedaan.

Para politisi memang mesti berjanji. Sebab, kata ungkapan tua, jangan pernah menagih sesuatu yang tak pernah dijanjikan. Keliru jika kita tak meminta janji, dan melulu bukti. Janji adalah penawaran. Dari sana kita akan menilai: adakah ia layak “dibeli” atau diabaikan. Janji mencerminkan sedikit-banyak kualitas sang calon. Kebanyakan janji akan sangat bernuansa populis—membela kepentingan rakyat banyak. Sebut saja, janji untuk menumpas pengangguran, meringkus para penjarah uang negara, atau menggelontorkan subsidi rakyat miskin.

Para politisi bakal semakin “didesak” untuk mengajukan sederet rencana populis lantaran krisis ekonomi menghadang. Jutaan orang terancam kehilangan pekerjaan, jumlah kaum miskin potensial bertambah banyak. Tapi, dengan akal sehat, kita bisa meraba: mungkinkah janji itu terwujud? sebab mustahil diwujudkan atau memang sesuatu yang realistis. Selain itu, nyaris semua menjanjikan perubahan. Cuma, periksa juga pilihan jalan yang disodorkan. Karena, jangan-jangan, mereka hanya bisa menyebut "tujuan", tanpa pernah sanggup merinci metode pencapaian. Sebab, menurut pepatah, the devil is in the details.

Mengidentifikasi, mencatat janji politisi merupakan upaya untuk melakukan penghakiman atas para politisi yang berebut kekuasaan ketika ribuan janji tersebut tidak terealisasi. Menghakimi dengan tidak memilih pada periode selanjutnya adalah kepastian dan pegangan pemilih. Nah, dari sekian para politisi yang berebut kursi parlemen, partai politik dan capres yang ingkar janji bahkan telah meruntuhkan pondasi ketatanegaraan, mana yang layak dan tidak layak untuk dipilih? Apakah pemilih kita semakin cerdas? Meningkatnya golput di hampir pilkada adalah buktinya. Sekarang saatnya para politisi jangan mengumbar janji ketika tidak bisa menghadirkan ditengah rakyat, nanti akan di tagih janji oleh pemilih/rakyat.

Sabtu, 03 Januari 2009

Mentalitas Bangsa Klien

Oleh : Kuntowijoyo
Mungkin tulisan ini masih sangat relevan dengan situasi hiruk-pikuknya demokrasi prosedural 2009. tulisan yang pernah di publis di harian kompas edisi Kamis 23 Desember 2004. selamat membaca :
KITA belajar dari Pemilu 2004, pilpres 2004, tayangan teve, kehidupan sehari-hari, dan dari hubungan internasional. Kesimpulannya tidak menggembirakan. Kita sekarang jadi bangsa klien (klien yang tergantung pada patron).

Melalui modal dan produk, kita menjadi klien Amerika, Eropa, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, dan RRC. Melalui tenaga kerja Indonesia (TKI)/ tenaga kerja wanita (TKW), kita menjadi klien Malaysia dan Timur Tengah. Melalui teve, kita menjadi klien Amerika, Jepang, Amerika Latin, Taiwan, dan India. Melalui utang, kita menjadi klien IMF, Bank Dunia, ADB, CGI, dan IDB.

Presiden 2004-2009 harus dapat mengubah bangsa klien menjadi bangsa mandiri. Sementara itu, mentalitas kita pun juga harus berubah. Pada tahun 1945, kita sudah berubah dari bangsa terjajah menjadi bangsa mandiri. Kemudian kita terpuruk menjadi bangsa klien. Kalau salah urus, dari bangsa klien kita bisa jadi bangsa kuli, dari bangsa kuli menjadi "gelandangan di rumah sendiri"-istilah Emha Ainun Nadjib.
Bangsa klien
Ada kesamaan dan perbedaan antara bangsa terjajah dan bangsa klien. Kesamaannya, keduanya punya ketergan- tungan; satu pada penjajah, satunya lagi pada patron. Perbedaannya, ambillah sampel Surakarta awal abad ke-20 untuk bangsa jajahan dan Indonesia awal abad ke-21 untuk bangsa klien. Akan terlihat ada dua perbedaan, yaitu konkret atau abstraknya permasalahan yang dihadapi dan kesatuan motif masing-masing.

Pertama, bangsa terjajah menghadapi penjajahnya secara konkret. Demikianlah, pada awal abad ke-20, orang Solo bisa melihat meneer dan mevrouw dengan mata kepala di Societeit Harmonie, dan tuan dan nyonya Belanda naik trem yang melintas jantung kota di depan paheman Radyo Poestoko. Akan tetapi, pada awal abad ke-21 ini bangsa klien hanya tahu secara abstrak bahwa ada kapitalisme Amerika. Orang bisa mengebom Kedutaan Amerika, restoran cepat saji KFC dan McDonald’s, tetapi tidak bisa mengebom kapitalisme Amerika. Orang bisa mendemo pertemuan IMF, tetapi tak bisa mendemo institusi IMF. Negara-negara tujuan TKI/TKW sepertinya abstrak. Kita bisa mencaci maki majikan TKI/TKW di Malaysia, di Arab Saudi, dan di Timur Tengah, tetapi tak bisa menggugat negara-negara berdaulat itu.
Kedua, keduanya mempunyai kesatuan motif sendiri-sendiri. Elite dan massa bangsa jajahan awal abad ke-20 mempunyai kesatuan motifnya sendiri, demikian pula bangsa klien pada awal abad ke-21 ini. Michel Foucault menyebut kesatuan motif itu dengan unities of discourse-kesatuan wacana, artinya di permukaan sejarah ada kesatuan motif yang menghubungkan unit-unit pengetahuan. Elite dan massa bangsa jajahan pada awal abad ke-20 mempunyai kesatuan wacana penghubung sistem pengetahuan mereka, yaitu kemajuan.
Dengan merujuk pada kemajuan, dalam ilmu pengetahuan Padmosusastro dari Solo, pemimpin majalah Sasadara, mengganti takhayul tentang raksasa yang memakan bulan dengan ilmu kodrat tentang kedudukan Bulan, Matahari, dan Bumi. Atas nama kemajuan, priayi di Kasunanan Solo mendirikan perkumpulan Abipraya. Atas nama kemajuan, perkumpulan proto-nasionalis Budi Utomo berdiri pada tahun 1908. Atas nama kemajuan, dalam agama, Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912. Karena kemajuanlah orang Jawa di Surakarta mencukur rambut yang semula digelung dan orang China memotong kucir (taucang).
Adapun pada awal abad ke-21, sekarang ini sebagai bangsa klien secara diam-diam juga punya semacam unities of discourse, yaitu kemakmuran. Elite dan massa bangsa klien mengidamkan kemakmuran. PTN BHMN dan PTS terkenal menarik bayaran mahal karena lulusannya dapat mendatangkan kemakmuran. Akademi komputer, sekretaris, dan manajemen laku keras. Juga LPK (lembaga pendidikan kejuruan) dan LPTK (lembaga pendidikan tenaga kerja) banyak didirikan karena mereka bisa mendatangkan kemakmuran bagi pengelola dan peserta. Dengan alasan kemakmuran, di masa depan orang memasukkan anaknya ke fakultas-fakultas kedokteran, ekonomi, teknik, dan informatika.

Mentalitas
Di sini ini akan dikemukakan empat mentalitas bangsa klien, yaitu kompleks inferioritas, sindrom selebriti, mistifikasi, dan xenomani.
1. Kompleks inferioritas. Sebagai bangsa klien, kita tidak merasa bangga bila belum mengonsumsi barang-barang impor, yang tampaknya buatan luar negeri atau setidaknya barang-barang produk franchise.


Inferioritas itu akan makin terasa-bagi elite-bila kita sempat ke luar, ke negeri-negeri yang menjadi patron. Tidak ada pengemis di Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur, Tokyo. Sekolah kita juga tertinggal jauh. Sementara kita masih bergulat dengan iptek, negeri-negeri patron sudah bergerak ke humaniora sebab iptek itu sudah taken for granted bagi negeri luar.


Penelitian Taufiq Ismail (1997) pada SMU di beberapa negeri menunjukkan bahwa wajib baca buku sastra di Indonesia adalah nol, sementara negeri jiran Malaysia enam judul buku dan Amerika Serikat 32 judul buku.


2. Sindrom selebriti. Dalam tayangan teve, kita pun meniru Amerika dengan American Idol, gemerlap bintang dalam hadiah Oscar, Miss America, dan Miss Universe. Hasilnya ialah maraknya tayangan semacam dalam teve kita. Meskipun banyak tayangan yang bermanfaat, ada pula yang menyakitkan hati mengingat banyaknya kemiskinan.


Kita pun senang nonton selebriti. Kita jadi tahu banyak soal selebriti, kekayaan mereka, kawin-cerai, dan gosip. Penyanyi, bintang sinetron, bintang iklan, model, dan foto model jauh lebih kaya ketimbang dosen, pemikir, sastrawan, dan PNS pada umumnya. Semua selebriti serba ceria, semua serba mewah. Kita semua ingin jadi selebriti. Bagi teve sendiri menjual selebriti itu mudah. Ada Kabar-Kabari, ada Cek & Recek, ada Kiss, ada Eko Ngegosip, ada Star7. Sekarang ada jalan untuk jadi selebriti: ada AFI, KDI, Indonesian Idol.

Rumus "selebriti" dan "enteng-entengan" itulah yang dengan baik ditangkap oleh perancang iklan pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) pada pilpres 5 Juli 2004. Juallah capres dengan nalar selebriti, tidak dengan nalar kenegaraan, nalar rasionalitas, atau nalar hati nurani, pastilah orang akan tertarik. Lalu muncul iklan dan berita capres-cawapres menyanyi di depan massa, fisik capres dipuji-puji di warung kopi. Capres-cawapres ditampilkan sebagai selebriti.

3. Mistifikasi. Mistifikasi artinya menganggap sesuatu sebagai misteri. Kebanyakan mistifikasi dilakukan oleh rakyat di bawah. Kemakmuran itu irasional, tak terpahami. Pengalaman sehari-hari petani ternyata mendukung gagasan itu. Seorang petani tebu TRI yang bekerja selama lebih dari 18 bulan dinyatakan bahwa rendemen tebunya rendah padahal ia masih harus menyewa tanah dan membayar orang untuk mencabuti pokok-pokok tebu. Sementara itu, petani lain sawahnya diserang hama wereng padahal ia sudah mengeluarkan uang untuk membeli pupuk, menyewa pembajak, dan membayar penyiang. Bila rasional, mereka yang terjatuh dapat memakai cara- cara konvensional pula untuk menyiasati kemakmuran. Mereka dapat menjual tanah dan beralih profesi, uang untuk dana pensiun, atau masuk pasar tenaga kerja di kota, bertransmigrasi, para istri jadi TKW, anak perempuan jadi PSK, suami jadi TKI.

Mereka yang berkesimpulan bahwa kemakmuran adalah misteri menghadapi misteri dengan misteri. Tidak usah memasuki pasar, pergilah ke dukun pesugihan, dukun pengganda uang, pelihara tuyul, cari jimat, bertapa, minta restu penunggu gunung, berdoa di tempat keramat, dan banyak perilaku menyimpang lain. Mistifikasi kemakmuran juga terjadi pada pembeli togel, penjudi, koruptor, dan permainan "ketangkasan" meskipun mereka tidak ke dukun.

4. Xenomani. Kegandrungan pada produk asing itu dialami oleh semua tingkat-ini pasangan kompleks inferioritas. Kelas atas berbelanja, berobat, sight seeing, membeli rumah, dan menyekolahkan anak ke Singapura, Jepang, Eropa, dan Australia. Mereka juga berulang tahun satu miliar di hotel Jakarta yang ball-room-nya disulap jadi ball-room hotel mewah di Amerika, pesta manten di Perth, dan sekurang-kurangnya berlibur ke Bali atau Disney Land.

Kelas menengah makan di Pizza Hut, McDonald’s, KFC, sarapan kopi dan sepotong Dunkin’ Donuts. Kelas bawah membeli jeans Levi’s buatan Bandung, sepatu Gucci buatan Magetan, hem-eh-T-Shirt "Man" buatan Tangerang, ayam KenTuku Yogya, handuk berhuruf China, dan makan di restoran Kei Mura. Ketiga kelas bersama-sama suka menonton telenovela Amerika Latin, kartun Jepang, dan film Amerika.

Karena sekarang ini kita menjadi bangsa klien, mentalitas kita telah rusak. Agar supaya mentalitas itu tidak mengganggu kesehatan mental elite dan massa, harus dilakukan perubahan. Perubahan itu ialah dari bangsa klien kembali jadi bangsa yang mandiri.

Jumat, 02 Januari 2009

Menapaki Lorong Gelap Demokrasi 2009

Sekitar 97 hari lagi, pesta demokrasi akan dilangsungkan dengan 38 kontestan parpol nasional dan 6 parpol local aceh. 1001 macam strategi politik kampanye dalam rangka untuk menarik simpatik rasionalitas politik rakyat terus dilakukan, baik mulai dari iklan di media, poster dan spanduk yang terpampang di jalanan, membumikan calon dengan door to door dan seterusnya. Pesta demokrasi 2009 memaksa para pemburu kekuasaan untuk menawarkan produk “program janji” dan memaksa pemilih untuk menggunakan hak suaranya. Walaupun, kesemuanya serba kalkulatif untuk diprediksikan.

Sejak kejatuhan rejim otoritarian Orde Baru, kita sudah mengalami fase transisi demokrasi dengan perjalanan transisi demokrasi perjalanan bangsa ini, arah demokrasi yang sedang dianut oleh bangsa ini kemudian layak dan sangat perlu untuk ditimbang keberadaan. Dalam perspektif dan evaluasi saya, tentunya perjalanan transisi demokrasi hanya berkutat dalam diskursus wacana perebutan kekuasaan yang sangat procedural—bukan membumikan demokrasi secara subtantif sehingga distribusi kesejahteraan untuk mayoritas rakyat semakin jauh.

Pemilu 2009 akan menjadi tahapan penting dalam sejarah politik bangsa ini. Pada fase ketiga pemilu demokratis tersebut, bukan hanya harapan digantungkan, melainkan sebuah realitas perubahan yang dinanti sebagai jawaban atas kejenuhan masyarakat. Pemilu bukan ritual demokrasi, melainkan proses kesinambungan politik antara masa lalu dan masa depan. Dalam makna itu, pemilu jangan diletakkan dalam pengertian absurd bahwa seolah-olah pemilu hanya mendistribusikan mandat (legitimasi) dari konstituen kepada para wakil. Ini yang kerap memproduksi lahirnya kelompok golput--bahkan gerakan radikal dalam bentuk yang sangat ekstrem--karena kinerja politik tidak berpihak kepada kepentingan umum, hanya menguntungkan kelompok yang berkuasa.

Pesimisme Perubahan
Menurut pandangan pribadi saya, pesimisme politik atas penyelenggaraan pemilu 2009 terjadi karena pertama, Politik hari ini merupakan cermin dari kehidupan politik masa lalu yang menyisakan berbagai ketegangan-ketegangan yang belum terselesaikan, kasus pilkada Maluku utara dan Jatim merupakan sedikit persoalan penyelenggaraan pilkada secara nasional yang berujung pada persengketaan hingga saat ini, bahkan sengketa pilkada ini sungguh akan mengancam tahapan-tahapan pemilu, mulai dari pembentukan KPUD, Panwas dan seterusnya. Belum lagi kalau terjadi berbagai perubahan mendasar atas keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap berbagai procedural pelaksanaan pemilu 2009, seperti pengabulan gugatan suara terbanyak, menangya gugatan partai Republiku di PN Selatan dan sejumlah keputusan drastis lainnya dari MK yang akan mengisi kedepan.

Kedua, kuatnya oligarki elit dan partai politik akan memundurkan kehidupan berdemokrasi. Dalam kurun waktu setahun terakhir, kita telah di jejali oleh prilaku elit politik yang rendah moralitas dan berperilaku korup. Gambaran ini merupakan cerminan dari ketiadaan kapasitas, kapabilitas dan integritas partai politik yang hanya mengejar dan mempertahankan kekuasaan bukan mendistribusikan kesejahteraan dan kemakmuran ke public akibatnya proses ini telah memperdalam jurang antara si kaya-miskin atau elit politik dengan kehidupan real mayoritas rakyat. Alih-alih memberikan perubahan untuk mayoritas rakyat, justru meninggalkan konstituen-berselingkuh dengan kekuatan pemodal/capital-dengan membuat berbagai regulasi dan produk hukum yang melanggengkan kekuasaan pemodal. Bahkan pondasi moralitas yang seharusnya menjadi cermin bagi public dengan sengaja di rusak oleh institusi negara (bukan oknum) dengan mengatasnamakan kepentingan negara.

Sementara itupun, demokrasi pasar yang sedang berlangsung saat ini, kemudian memaksa semua pihak secara demokratis bertarung dengan berbagai cara dalam memenangkan rasionalitas politik rakyat. untuk memenangkan perebutan kekuasaan baik di legislative maupun di presiden, semua konstentan selalu berburu suara rakyat dengan tidak hanya ber-modal social- akan tetapi financial yang tidak kecil. Dalam mendorong hal tersebut tentunya partai politik akan memburu caleg-caleg yang memiliki popularitas, uang yang banyak sehingga hal-hal prinsip tentang rekruitmen kader ataupun kaderisasi dan pendidikan politik selalu terabaikan atas nama demokrasi. Rekruitmen kader/caleg didasarkan hanya untuk mendulang suara/swing votegetter yang biasanya dihasilkan orang yang memiliki popularitas dan uang banyak yaitu artis/seniman dan lain-lain. Kita menyadari bahwa hampir 90% rekruitmen kader partai politik yang menjadi konstestan pemilu 2009 tidak mendasari prinsip/tahapan yang sangat terukur dan terarah apalagi rekam jejaknya, semua memang serba tidak mungkin.

Ketiga, dalam menapaki fase-fase transisi demokrasi yang sudah berjalan dua kali, tentunya memberi pelajaran yang berharga terhadap kehidupan politik rakyat, rakyat semakin cerdas menentukan pilihannya dan semakin berani melakukan tuntutan terhadap hak-haknya mendatangi institusi pemerintahan daerah dengan gerakan mobilisasi massa. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan gerakan menuntut sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat.

Peningkatan Golput di Pilkada yang mencapai 40% lebih dari suara pemenang di hampir seluruh daerah merupakan cerminan dari ketidakpuasan public terhadap pilihannya. Pilkada DKI Jakarta mencapai 37%, Pilkada Jabar mencapai 32,6%, Pilkada Jateng mencapai 45,25%, Pilkada Jatim mencapai 40% lebih, Pilkada Sumut mencapai 40%, Pilkada Sumbar mencapai 35,70%, Pilkada Babel mencapai 39,98%, Pilkada Sulsel mencapai 45% dan pilkada-pilkada tingkat kota/kabupaten yang memenangkan golput.

Jalan Terakhir
Fase ketiga transisi demokrasi menjadi harapan terakhir bagi proses pembumian demokrasi substansi. Demokrasi pasar yang telah memproduksi “kemiskinan”, “pengangguran”,”anarkisme massa”, menguatnya etnonasionalisme”, “kehancuran industri nasional”, dan “liberalisasi asset-aset strategis bangsa” dan seterusnya harus segera dihentikan demi kepentingan negara. Demokrasi harus diletakkan dalam rangka membangun kehidupan berbangsa secara demokratis dengan menjunjung tinggi keberagaman, pluralism yang termaktub dalam Bhinneka Tunggal Ika. Namun dengan melihat berbagai proses transisi demokrasi dengan melihat berbagai instrument-instrumen politiknya, apakah harapan itu semakin mendekat kepada rakyat? tidak.

Pemilu 2009 bukan jalan terakhir dari persoalan krisis multidimensi, sekedar mekanisme procedural dengan cap “demokratis” yang di adopsi dari barat. Jalan terakhir bagi politisi-politisi konservatif, tua-uzur-jompo, caleg pro asing, capres-cawapres pro asing/modal, partai politik pro modal dan lain sebagainya, artinya bukan menyerahkan pada waktu atas kemunculan pemimpin baru/muda yang memiliki visi, misi yang terukur dan terarah sesuai dengan UUD 1945 tetapi kemunculannya dihasilkan dari pertarungan-pertarungan sejarah dalam menegakkan kedaulatan dan kemandirian bangsa. Soekarno, M.Natsir, Tan Malaka, Hatta, dan lainnya merupakan cermin atas bangkitnya pemimpin-pemimpin baru yang dihasilkan dari pertarungan sejarah melawan kolonialisme dan menorehkan jejak-jejak sejarah bagi keberlangsungan negara bangsa.

Kemunculan SBY, Megawati, JK, Sultan Hamengkubuono X, Prabowo Subiyanto, Yusril Iza Mahendra, Hidayat Nur wahid, Gus Dur, Rizal Ramli dan lain-lain tidak dihasilkan dari pertarungan sejarah, namun mereka dihasilkan dari demokrasi pasar yang menonjolkan popularitas/citra/dan mempertahankan dinasti politik dan terbukti telah menorehkan jejak hitam atas pelanggaran HAM, Memanipulasi kepentingan negara atas kekuasaan, dan lain sebagainya. Menjadi yakin bahwa Pertarungan sejarah dalam mekanisme procedural 2009 hanya melanggengkan kekuasaan pro status quo ataupun paling tidak hanya mendistribusikan kekuasaan yang terakhir dan pemimpin yang dihasilkanpun hanya berani dan pandai bersolek di depan kamera dan media massa.

Kita bisa membayangkan apa yang bakal terjadi dalam pelaksanaan pemilu hanya mendistribuksikan kekuasaan, mulai dari amuk massa, konflik antar caleg, parpol dan seterusnya akibat dari rumitnya pelaksanaan pemilu, minimnya sosialisasi KPU, rendahnya integritas anggota KPU dan lain sebagainya. Pemilu 2009 harus menjadi stimulus untuk menampar mimpi mayoritas rakyat dan elit politik akan ketidakjelasan arah demokrasi dan bangsa ke depan yang selalu didominasi oleh kepentingan modal asing. Kita telah terjerat dalam kubangan hutang luar negeri yang banyak, menjadi kakitangan asing dan selalu terkooptasi oleh kepentingan modal yang telah mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat. Pemilu 2009 akan menjadi pelajaran terakhir dan penting atas agenda-agenda distribusi kesejahteraan-kemakmuran dan agenda perubahan atas kehidupan negara bangsa yang lebih baik, adil.