Selasa, 10 Maret 2009

Mengancam Demokrasi

secara subtansi pemilu 2009 bakal terancam,dari awal pembentukan UU Pemilu,terpilihnya KPU yg masih diragukan integritasnya sampai pada polemik pilkada telah menyisakan persoalan besar fase transisi demokrasi. Dua kali pelaksanaan Pemilu pasca tumbangnya otoritarian Orba menjadi pondasi yang kuat atas berjalannya mekanisme prosedural demokrasi,namun tidak diimbangi dengan meningkatnya keadilan dan kesejahteraan rakyat. Realitasnya demokrasi yang sejatinya untuk rakyat justru telah dibajak oleh kaum demokrat/reformis gadungan. Ancaman yang paling besar, ketika muncul keputusan MK(suara terbanyak) dan Perpu no 1 tahun 2009 tentang Pemberian tanda contreng,atas nama menyelamatkan suara rakyat,berbagai latar belakang caleg yang tidak jelas juntrungannya.

Pemilu 2009 merupakan demokrasi padat modal, demokrasi yang memboroskan uang rakyat tapi tidak berdampak pada meningkatnya kesejahteraan rakyat, apalagi kalau dilihat proses PILKADA yang telah memakan biaya tinggi tapi peningkatan pelayanan dan kesejahteraan makin timpang, hal ini diperparah lagi dengan antusiasme elit lokal yang mendorong terbentuknya wilayah baru. Realits ini dapat diprediksi kualitas demokrasi dan kridibilitas parlemen 2009 dalam kategori unpredicable (kompas,Feb 09), artinya bahwa 5 tahun ke dpn arah dan landasan bangsa ini tidak menentu dalam biduk ekonomi-politik global. Bayangkan bagaimana 220 juta rakyat menggantungkan hidupnya pada kebijakan legislasi,advokasi,budgeting anggota parlemen yang tidak memiliki kompetensi dlm bidangnya.

Sementara itu, problem teknis persiapannya jauh dari harapan publik. minimnya sosialisasi pemilu,cetak kertas suara dg segala persoalan,rusaknya tinta,minimnya integritas KPU-KPUD-PPK-PPKs,problem distribusi logistik,gugatan kesalahan nama caleg dan partai republiku, problem 9 april bertepatan dg Kamis Putih dan faktor-faktor lain yang justru diluar dugaan pikiran rasional awam bakal mendera. Harapan terwujudnya pemilu yang LUBER dan JURDIL masih dalam sebatas angan.

Gerakan golongan putih akan meningkat yang tercermin dari pelaksanaan pilkada di hampir 480 kota/kab, 33 pilkada propinsi dimenangkan oleh golongan putih. Rata-rata kemenangan berkisar 40%-60% dengan berbagai sebab. Bahkan dalam prakteknya, demokrasi yang dijalankan ditingkat lokal justru tidak bermakna artinya banyak manipulasi fakta dan sejarah yang dilakukan elit dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Ukuran ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi warga dalam proses demokrasi tingkat lokal sangat rendah dan tentunya akan mengancam kualitas demokrasi.

Aceh Menapak Jalan Terjal

Instabilitas di beberapa daerah bekas konflik menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Menurut Kapolri Jendral Bambang Hendarso Daruri Aceh merupakan salah satu yang masuk dalam kondisi rawan, di samping Maluku dan Irian Jaya. Menjelang pelaksanaan pemilu untuk Provinsi Aceh mereka sudah mengawalinya dengan operasi Sikat Rencong di Aceh dan mampu menurunkan tingkat kerawanan pemilu di Aceh serta penyitaan senjata serta menggelar operasi preman.

Teristimewa, menjadi perhatian tatkala muncul riak-riak yang terkait dengan pemilu 2009. Artinya, terjadi beberapa peristiwa yang melahirkan tandatanya. Seumpama penculikan terhadap aktivis atau pengusaha, lalu ada tebusan. Lebih khusus lagi pengrusakan terhadap beberapa kantor partai lokal. Semua itu menghangatkan kondisi di provinsi paling ujung sebelah Barat negara tercinta ini. Reaksi dari berbagai pihak muncul.

Bermacam tanggapan dan pendapat, termasuk dari ibukota. Sebagian meminta agar aparat keamanan lebih fokus. Sebagian lagi mengharapkan semua pihak menahan diri, meski ada yang meminta agar butir butir MoU Helsinki senantiasa menjadi pedoman.

Aceh menjelang pemilu 2009 memang memberi arti tersendiri. Ada tiga hal yang menjadikan kondisi di Aceh agak lebih khusus. Pertama, butir-butir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki seolah-olah masih harus selalu diulang pengertiannya agar makin dipahami secara utuh. Mungkin, ada penafsiran yang agak beda, sehingga selalu beda pendapat. Atau, diantara ketentuan yang disepakati itu memang memungkinkan lahir multitafsir. Kedua, lahir partai-partai lokal.

Ini merupakan keistimewaan dalam pemilu kali ini bagi warga dan daerah Aceh. Tentu suasana kompetitif makin terasa dan harus menjadi perhatian dalam pengaturan strategi parpol dan caleg untuk menang atau dalam meraih suara yang sebanyak-banyaknya. Ketiga, jumlah parpol (nasional) yang bertambah, seiring dengan meningkatnya jumlah para caleg.

Apapun kondisi Aceh menjelang pemilu 2009, hal terpenting yang dilakukan adalah, untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan. Hal ini jangan sampai menjadi retak. Suhu politik boleh meningkat, tetapi hubungan sesama, jalinan yang telah terwujud, hendaknya tak tergoyahkan.

Dari sisi lain, selama kampanye maupun setelah itu, mari bersama-sama untuk saling menghormati, menghargai. Tak saling fitnah, tak saling merusak. Tetapi masing-masing parpol dan tiap caleg, melakukan aktivitas sesuai dengan peraturan yang ada. Sejumlah ketentuan kiranya menjadi acuan dalam masa kampanye pemilu 2009. Tanggal 16 Maret sampai 5 April 2009, merupakan kurun waktu yang tergolong sensitif dan akan dimanfaatkan secara maksimal oleh parpol dan para caleg.

Harus diingat, pemilu bukan segala-galanya. Untuk itu, derap pembangunan tetap harus dijalankan. Kekompakan dan keutuhan patut dipertahankan. Sektor dan sisi-sisi yang sudah berjalan normal, jangan sampai menurun. Tingkat keamanan harus dipelihara bersama.

Kita semua tetap berharap, bahwa berbagai ancaman yang datang baik dari dalam maupun luar harus senantiasa menjadi renungan kita bersama tentang sebuah perdamaian, persatuan dan kebersamaan dalam membangun negara bangsa.

Pemilu : Kritis, Rawan dan Mahal

Demokrasi elektoral 2009 tinggal tigapuluh empat hari lagi, kesiapanpun begitu nampak terasa kuat dari caleg-caleg dan tentunya geliat para capres. Dalam demokrasi padat modal mereka dipaksa untuk menguras semua energi dalam memperebutkan kekuasaan 5 tahunan, tidak terkecuali mereka juga bertaruh posisi yang sudah didapatkan dalam birokrasi (komisaris,direktur,staff ahli dll) dengan memilih untk bertarung dalam kekuasaan politik yang tidak ada jaminannya. Bahkan ada juga yang menggantungkan label aktifis, darah biru politik, kepopuleran, dan sebagainya merupakan rona-rona demokrasi padat modal.

Berbagai strategi politik untuk mendulang suara di basis rakyat terus dilakukan dengan iklan, pembuatan posko, pengobatan gratis, pertemuan warga, door to door dan berbagai janji-janji politik ketika nanti saya menang,saya akan.... yang semakin intensif frekuensinya. Tampilan atribut kampanye yang menyesakkan ruang-ruang publik justru kontraproduktif dengan kehendak rakyat yang menginginkan perubahan.

namun, geliat politik yang sudah mendidih tidak di imbangi dengan kesiapan-kesiapan secara substantif dan teknis baik yang dilakukan KPU dan sejawatnya. Minimnya sosialisasi, banyaknya aturan hukum yang tidak diimbangi dengan aturan penegasan seperti kuota perempuan 30%, problem cetak kertas suara-potong-distribusi, Bahkan dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilu justru masih banyaknya ditemukan kesalahan secara teknis seperti kertas suara rusak, salah distribusi, kekurangan kotak suara, probelm lipat dan potong kertas suara, problem prosedur cetak, dll. maka harapan terhadap pelaksanaan pemilu yang jujur adil dan langsung akan semakin menjauh dari subtansinya, kalaupun KPU dan BAWASLU beserta instrumen dibawahnya memaksa pelaksanaannya dengan dalih DEMOKRASI justru akan mengancam substansi demokrasi yaitu kesejahteraan untuk rakyat.

Ancaman demokrasi elektoral ke depan sangat kompleks, tidak datang dari penyelenggara (KPU) karena ketidaksiapan secara teknis namun ancaman terberat adalah datang dari para caleg dan partai politik. Sementara keputusan MK atas nama suara rakyat dapat menimbulkan konflik. Rawannya konflik antar caleg dalam satu partai atau antar caleg dalam satu dapil akan marak menghiasi pesta rakyat. Bahkan banyak caleg-caleg yang bertarung juga dirundung masalah dengan pihak polisi dan KPK. Kompleksitas ancaman inipun dapat diprediksi akan terus berlanjut sampai selesainya pesta demokrasi. Kita semua bisa membayangkan bahwa awal tahun pemerintahan yang terpilih akan berjalan tidak efektif.

Sementara penjaga moral dan integritas bangsa sudah luntur spiritnya, mereka justru terjebak dalam politik praktis. tingginya mobilitas kelompok agama dalam setiap kegiatan, munculnya dewan integritas (tokoh agama dan masyarakat) yang justru sebagai pedagang baru dalalm bursa pencapresan yang akan dijual ke partai politik, bermunculan kanal-kanal alternatif seperti poros perubahan, poros bumi dan seterusnya merupakan arena power bargain antar elit.

Inilah sekelumit panggung sandiwara politik elit dalam mengejar posisi, bukan harapan akan perubahan. Hampir semua partai dan caleg tidak memiliki perbedaan program dan visi yang jelas, yang sejatinya sudah dilakukan pemerintah SBY-JK artinya perubahan itu tetap tidk membumi.

harapan kita semua adalah bagaimana ancaman dan mahalnya proses demokrasi elektoral menjadi tamparan elit dan rakyat untuk sadar bahwa langkah-langkah menjalankan demokrasi padat modal tidak sesuai dengan akar budaya bangsa. demokrasi yang terlalu cepat masak sebelum waktunya dan tidak di imbangi dengan penguatan kesadaran sipil society hasilnya adalah kerusakan mental dan karakter bangsa yang seolah-olah demokratis namun sejatinya adalah tampak muka.

Arus Balik Perubahan

empatpuluh hari lagi smua kontestan demokrasi elektoral akan bekerja lebih keras lagi dlm meyakinkan pemilih atas pilihannya ditengah minimnya sosialisasi KPU dan elemen sipil lainnya. Para kontestan tentunya memiliki strategi jitu dalam demokrasi padat modal untuk menang. kita semua terperangah ketika melihat tayangan iklan/baliho yang terkesan para kontestan tidak memiliki kepercayaan diri untuk tampil mjd pemimpin, menampilkan foto klen keluarga,numpang ketenaran tokoh,sampai menduplikasi logo sebuah produk komersil dan seterusnya.

560 kursi parlemen tingkat pusat sedang diperebutkan oleh 22 ribu caleg dari 38 parpol,130 kursi DPD oleh 1320 calon DPD dari 33 propinsi, dan ribuan kursi DPRD I -DPRD II dari 38 parpol dan 6 parpol lokal di Aceh. Membayangkan begitu sesaknya persaingan untuk memperebutkan kursi terhormat parlemen tentunya dengan pergorbanan yang tidak sedikit. Slogan,janji perubahan terus menyeruak ditengah rakyat yang terkena himpitan krisis multidimensi bangsa, seolah-olah apa yang dilakukan para pemburu kursi tidak berarti ketika hanya bualan atau janji semata. Rakyat dipaksa untuk memilih dan memenangkan para pemburu kursi parlemen, bahkan majelis ulama islam saja sudah bermain politik praktis dengan mengharamkan Golput yang mengatasnamakan perubahan(politisasi lembaga agama). Ketakutan negara (para demokrat) menurunnya kualitas demokrasi hanya dilihat dari tingkat partisipasi rakyat. Padahal kalau kita menyimak secara jeli,bahwa geliat peningkatan angka golput sudah ditunjukkan di pemilu 2004 dan PILKADA. pemaksaan ini mencerminkan bahwa negara dengan instrumen politiknya sudah tidak menjamin hak asasi manusia yg sejatinya telah dilindungi oleh dunia.

Harapan perubahan yang dilontarkan para pemburu kursi parlemen sejak pemilu 1999,2004 dan Pilkada tak kunjung datang dan membumi menjadi amunisi rakyat untuk menghukum dan mengadilinya. bahkan situasi yang sama juga dilakukan pada pemilu 2009, namun sekali lagi pengingkaran ats perubahan adlah pengalaman yang berharga rakyat. inilah bentuk arus balik perubahan yang sejatinya juga memakan tuannya. Atasnama perubahan pula rakyat mulai berpikir cerdas atas janji perubahan yang diusung oleh pemburu kursi parlemen,mereka2 merupakan pemain lama,pemain lama berbaju baru, pemain baru berbaju lama.

Tidak ada perbedaan atas janji perubahan dan tidak ada yang berani mendobrak atas perjalanan bangsa, semua seolah-olah bermain aman atas perubahan. inilah penyakit luar biasa yang telah menjangkiti elit, tidak berani memilih dan berdikari. Oleh karenanya rakyat hari ini telah menyadari akan rusaknya bangsa, dan gaung rindu akan suasana aman tentram dengan sistem ketatanegaraan yg berdasarkan ats kultur sosio politik nasional kembali bermunculan..arus balik perubahan adalah kembalinya harapan sistem lama yang memberikan kenyamanan dalam hidup bernegara.