Minggu, 26 Oktober 2008

Rejuvenasi Spirit Sumpah Pemuda dan Nasionalisme Bangsa

Sejarah perjuangan Indonesia adalah sejarahnya anak muda, terbukti sejak perjuangan kemerdekaan melawan colonial, peran anak muda selalu menjadi avant guard perubahan. Jaman perintis nasionalisme Indonesia (1908) dengan lahirnya Budi Oetomo, Penegasan spirit Nasionalisme (1928) komitmen persatuan Pemuda Indonesia, Peneguhan spirit pembebasan nasional (1945) dengan memproklamirkan sebagai bangsa yang merdeka. Generasi pendobrak kemerdekaan nasional yang dilahirkan dari generasi penegas, telah direstui oleh generasi perintis nasionalisme sehingga gema kemerdekaan Indonesia meluas mengoyahkan dan membebaskannya dari cengkeraman kolonialsme Belanda. Siklus terjadi regenerasi kepemimpinan nasional pada waktu itu membuat catatan penting bahwa antar generasi menjadi pertautan sejarah terhadap perubahan bangsa Indonesia.

Kuatnya nasionalisme yang menumbuhkan sikap patriotism dikalangan priyayi/bangsawan pada waktu itu menjadi bukti bahwa kekuatan politik etis Belanda dan pendidikan pesantren merupakan kunci atas kebangkitan kesadaran berbangsa seluruh rakyat. Asimilasi dua unsur pendidikan menyebabkan pola-pola perjuangan akan membebaskan diri tidak selesai, artinya masih tidak secara total melakukan pembebasan tetapi masih menempel pada kekuasaan pemerintahan Belanda dengan ikut terlibat dan mengenyam pendidikan. Konsep pendidikan modernitas (Hindia Belanda) dan feudal (pesantren) kemudian ikut mempengaruhi kehidupan rakyat yang cenderung paternalistic feudal.

Perjuangan pemuda nusantara yang berpegang teguh pada prinsip non cooperasi terhadap colonial Belanda menjadi symbol idealism dan heroism yang terwujud dalam persatuan seluruh pemuda nusantara tanpa mengenal sekat-sekat agama, etnis/suku, agama, budaya, organisasi untuk berkomitmen terhadap persatuan tanah air, kebangsaan dan bahasa persatuan yaitu Indonesia. Makna yang terekam dalam komitmen bersama Sumpah Pemuda merupakan artikulasi dari spirit manifesto politik 1925 yang dikeluarkan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda yang memiliki prinsip perjuangan unity (persatuan), equality (keseteraan), liberty (kemerdekaan).

Potret perjalanan perjuangan pemuda dalam menumbuhkan kesadaran berbangsa dan berakhir pada pembebasan nasional (1945) penuh dengan dialektika sejarah yang telah mendewasakan pemuda-pemuda untuk berkomitmen dalam mewujudkan kedaulatan politik maupun ekonomi. Meng-integrasikan dalam satu tanah air, bangsa dan bahasa di dasarkan pada kekuatan kepentingan yang sama atas pembebasan nasional bukan karena politik coersi.

Potret Buram Nasionalisme Indonesia
Genap usia 80 tahun sumpah pemuda (1928), akan menjadi momentum bersejarah seluruh rakyat untuk melakukan “tradisi” peringatan. Seperti yang pernah disampaikan Presiden SBY, tahun 2008 merupakan tahun politik menuju konsolidasi demokrasi dan juga tahun terjadinya krisis keuangan global yang berhasil merontokan negara kapitalis. Umur yang tidak muda lagi, tapi apakah spirit persatuan, kesetaraan dan kemerdekaan juga sudah luntur seiring dengan umurnya yang uzur?.

Posisi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari politik global, artinya paham pasar bebas menjadi satu-satunya jalan untuk mengatus sistem ekonomi politik nasional. Kebijakan pro pasar selalu menjadi trend pemerintahan untuk melakukan pembangunan, padahal tidak sedikit negara-negara berkembang mengalami kebangkrutan ekonomi ketika kebijakan pro pasar (pencabutan subsidi rakyat, privatisasi, dll) menjadi iman pembangunan ekonomi politik dengan merusak konstitusi negara ; amandemen UUD 1945.

Legitimasi kebijakan pro pasar muncul ketika wakil rakyat (Legislatif-yudikatif-eksekutif) mengamininya dalam bentuk produk hukum, sebut saja UU BHP, Perpres Tanah 36, UU Migas dan Air, dll. Ibaratnya, pemerintahan saat ini telah menjeratkan leher rakyat Indonesia kepada pihak kapitalis sebagai jaminan akan keberlangsungan kekuasaannya, padahal amanah pasal 33 UUD 45 sudah jelas.

Dalam aspek politik, liberalisasi perilaku elit dan partai politik justru semakin menyebarkan bau busuk. Tiap hari rakyat disajikan dengan perilaku elit korup, degradasi moralitas, dan manipulasi partai dengan selalu mengilusi kesadaran rakyat. Lemahnya pengawasan dan buruknya birokrasi menjadikan hampir semua lembaga negara sebagai sarang para koruptor. Menurut laporan Transparansi Internasional, DPR-Polri-Bea Cukai-Dephub merupakan lembaga terkorup selama tahun 2008.

Pusaran globalisasi menjadi pintu masuk bagi terbukanya paham dan ideology masuk ke dalam ranah kehidupan khususnya kaum muda yang termanifestasi dalam bentuk komunitas atau organisasi. Tempat berhimpun kaum muda terus mengalami peningkatan yang cukup tajam, dari yang hanya bersifat hedonis sampai kepada social politik.

Kemunculan berbagai wadah berkumpul kaum muda, tidak dibarengi dengan penguatan kesadaran nilai-nilai pluralism dan kebangsaan yang sebenarnya menjadi pondasi dari terwujudnya nation state akibatnya kuatnya internalisasi kelompok tersebut menyebabkan arogansi dan sifat chauvinis. Konflik vertical yaitu perseteruan massa FPI dengan massa AKKPB, perkelahian antar pemuda di Manggarai, perkelahian para pelajar, perkelahian mahasiswa YAI dan UKI, ketegangan RUU Pornografi, pencaplokan/klaim budaya nasional oleh negara lain memberikan bukti bahwa ketidakberdayaan apparatus negara dan lemahnya kepemimpinan nasional dalam menjaga dan melestarikan kearifan local sebagai bagian dari fundamen terbentuknya nation state.

Sementara, Otonomi daerah sebagai solusi atas sistem sentralisme otoriter tidaklah berjalan sesuai dengan harapan, saking liarnya mengarah pada negara federal yang tidak sesuai dengan konstitusi negara. Pemekaran daerah yang selama ini terjadi hanya didasari akan kepentingan elit-elit local dalam pengelolaan dan pemanfaatan seluruh potensi yang ada, namun karena lemahnya SDM yang ada justru dijadikan kedok untuk melakukan eksploitasi ataupun korupsi kekayaan daerah.

Perlakuan khusus Aceh dan Papua, justru menjadi persoalan baru yang sangat krusial. Bagaiamana tidak Aceh secara dejure sudah menjadi negara sendiri ( lihat keputusan perundingan Heslinki dan kemudian pendirian partai local). Sementara pemekaran dan otonomi khusus papua juga tidak menyelesaikan persoalan, ketegangan-ketegangan kian menjadi-jadi ketika intervensi pihak luar menuntut akan peninjauan Perpera 1969 dan hak untuk melakukan referendum. Self determination sebagai sebuah hak politik sebuah bangsa harus dihargai sebagai koridor untuk menyelesaikan ketegangan antara pemerintahan pusat dan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan tanpa ada intervensi pihak asing, Timtim adalah buktinya.

Dalam perspektif Ketahanan Nasional, pusaran globalisasi yang tidak mengenal batas waktu dan ruang juga menyempitkan arti akan kewilayahan NKRI. Rapuhnya konsep pertahanan nasional mengakibatkan pada rentannya potensi luar masuk secara liar/pencaplokan ke dalam batas-batas nasional. Peristiwa P.Sipadan & Ligitan, Ambalat, pencurian pasir laut, banyaknya penyeludupan, dan lain sebagainya adalah bukti nyata akan terkikisnya jiwa patriotism aparat negara dan lemahnya nilai-nilai nasionalisme.

Memang ironis, ditengah usia yang tidak muda lagi seharusnya spirit Sumpah Pemuda (1928) semakin menunjukkan kematangannya. Lunturnya spirit Persatuan, Kesetaraan dan Kemerdekaan menyebabkan nation state ini masuk dalam lubang penjajahan modern yaitu Neoliberalisme tidak mengenal batas ruang dan waktu yang justru lebih mengerikan, tidak hanya merusak alam tetapi telah merasuk ke budaya-budaya local sampai pada penyebaran produk-produk makanan yang mengandung virus mematikan.

Falsafah Gotong royong yang menjadi saripati dari nilai-nilai persatuan semakin terabaikan dengan munculnya sifat individualism dan egosentris golongan menjadi ultra-nasionalsme. Fondasi budaya yang mampu mengintegrasikan seluruh komponen bangsa dengan idealism justru telah rusak oleh prilaku-prilaku culas dan korup tanpa di dasari spirit nasionalisme.

Rejuvenasi Spirit Sumpah Pemuda
Kita (dan pemuda sebagai komponen utamanya) merasakan tantangan bangsa kita sedemikian beratnya. Di bidang politik, hubungan antara lembaga negara sering konslet, partai politik masih terbatas pada verbalisasi semata, etika politik masih diterapkan dalam kadar minimal padahal disisi lain ancaman disintegrasi bangsa sedemikian hebatnya. Pada kutub ekonomi, dengan total hutang 850 US$ dan kurs valuta asing yang volatile maka berbuntut pengangguran yang berjumlah 10% (angka konservatif), apalagi ditambah "ribut-ribut" dana DAU sebagai cermin semrawutnya desentralisasi fiscal sebagai amant UU no 22 dan 25 tahun 1999. Di bidang hukum, belum ada kabar yang menyejukkan mata atas upaya pemerintahan saat ini dalam menegakkan hukum, bahkan timbul krisis fundamental konstitusi nasional yang seharusnya sebagai pedoman hukum nasional sejak ke-empat amandemen UUD 1945 tahun 2002.

Peringatan Sumpah Pemuda tidak sekedar simbolisasi perjuangan pemuda dalam menegaskan komitmen perjuangan terhadap pembebasan nasional, akan tetapi memaknai secara substantive nilai-nilai persatuan, kesetaraan dan kemerdekaan nasional yang telah berhasil menyatukan seluruh perjuangan (diplomatic dan bersenjata).

Membangkitkan spirit sumpah pemuda dalam konteks saat ini adalah masih sangat relevan. Fragmentasi pemuda dalam sekat-sekat agama, etnis/suku, budaya maupun organisasi politik yang menguat dengan egosentrisnya yang membatasi diri terhadap realitas social. Sedangkan, globalisasi menurut SOekarno sebagai penjajahan modern pasar bebas telah merusak fundamental budaya, ekonomi, politik dan tentunya geografis. Prilaku elitpun (menjadi kakitangan multinasional corporation) melegitimasi penindasan terhadap rakyat. Sementara bangsa Indonesia yang telah dibangun dengan darah dan perjuangan seluruh komponen bangsa, kemudian telah dirusak Orde baru dengan menggadaikan bangsa dengan jaminan kekayaan alam dan rakyat. Fundamen bangsa yang dibangun dari hutang luar negri lambat laun akan merapuhkan fundamen ekonomi, politik, budaya dan tentunya ketahanan nasional.

Sumpah Pemuda harus dimaknai kembali dengan nilai-nilai baru (rejuvenasi) sehingga akan mengkontekstualisasikan diri dalam makna pembebasan nasional sejati. Pertama menegaskan kembali makna persatuan sebagai nation state yaitu NKRI. Kalau pada waktu kemerdekaan NKRI disatukan dengan senjata dan paksaan, tetapi saat ini dalam batas geopolitik internasional Indonesia memiliki peran yang strategi harus memiliki kesadaran untuk membentuk kembali NKRI yang didasari atas keadilan social dan persatuan nasional.

Sumpah Pemuda yang berisikan tekad bersama untuk mengaku sebagai satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa harus di rejuvenasi menjadi tekad bersama satu tanah air yang mensejahterakan rakyatnya untuk mempergunakan tanah dan air tidak hanya pada elit politik dan ekonomi tertentu, satu bangsa yang senasip sepenanggungan dan bertekad anti korupsi, kolusi dan nepotisme dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa anti kekerasan, anti kemunafikan dan anti ketidak-adilan.

Kedua menegaskan kesetaraan akan keberadaan wilayah, status, maupun pemerataan pembangunan nasional. Ketiga menegaskan pada makna kemerdekaan sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka dari intervensi modal asing maupun kakitangannya. Keempat menegaskan kembali pada keberadaan konstitusi nasional pada UUD 1945 sebagai fundamental pembangunan nasional. Keempat penegasan sumpah pemuda ini harus dimaknai terus sebagai kekuatan yang menjadikan nation state tetap ada dan tentunya adalah kedaulatan secara politik dan kemandirian secara ekonomi adalah keniscayaan sejarah yang membuat kuat bargain position diantara negara-negara maju. Jawabannya adalah 10 pemuda yang diharapkan Soekarno untuk merubah dunia, apakah sudah hadir dalam perjuangan global ini? kita lihat nanti…..

Minggu, 19 Oktober 2008

Rekontruksi Fundamentalisme Ekonomi Kerakyatan untuk Kepentingan Nasional

Krisis keuangan global Amerika, bermula dari krisis kredit macet perumahan KPR (subprime mortgage) terjadi pada pertengahan Juli 2007, kepada para debitor menengah bawah yang hidupnya sangat bergantung pada pendapatan tetap yang pas-pasan. Ketika inflasi membengkak, mereka tidak bisa lagi mampu membayar bunga dan cicilan pokok. Pemotongan suku bunga secara marathon, peluncuran paket stimulus ekonomi, injeksi likuiditas ke sistem financial merupakan upaya untuk melakukan peredaman dalam rangka mencegah resesi ekonomi AS dan meredam kepanikan pasar financial. Namun, justru krisis tersebut meluas ke sistem perbankan, sektor perekonomian yang dapat berpotensi memicu resesi ekonomi dan krisis financial global yang lebih luas.

Kehancuran Wall Street menunjukkan bahwa ekonomi pasar bebas yang di pegang teguh tidak mampu meningkatkan dan mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang sudah dicapai. Kehancuran Wall Street justru bukti dari kegagalan kapitalisme “pasar bebas” yang telah menjadi paham ekonomi hampir seluruh belahan dunia.

Namun, seluruh kebijakan peredaman gejolak krisis keuangan global sebut saja bail out sebesar USD 700 miliar, pemotongan suku bunga secara marathon, peluncuran paket stimulus ekonomi dan injeksi likuiditas sistem financial dan lain-lain merupakan fakta dari ketidakkonsistenan kapitalisme “pasar bebas”. Atas nama Negara, pajak rakyat digunakan untuk men-subsidi para hedge fund dan para spekulan yang selama ini hidupnya bergelimangan kekayaan.

Keprihatinan pada pasar bebas dan persaingan sempurna menemukan momentumnya ketika beberapa negara di Asia dilanda krisis moneter (1997). Krisis moneter ini menyadarkan kita dari "mimpi" Adam Smith bahwa teori pasar bebas berdasar freedom of private initiative dan globalisasi sesungguhnya tidak bekerja untuk menciptakan stabilitas ekonomi global. Sebaliknya, kebijakan globalisasi cenderung menjadi momok bagi negara berkembang. Ideologi Laissez Faire sedang menampilkan wujud aslinya sebagai incapable market, penuh market failures. Pasar penuh kegagalan-kegagalan , terutama dalam mengatasi ketimpangan- ketim­pangan structural.

Perekonomian Indonesia tidak bisa dilepaskan dari percaturan perekonomian global. Belum surutnya penanganan dampak krisis moneter 97-98 yang pernah menghancurkan perekonomian nasional. Kini krisis keuangan global AS telah merangsek ke sendi-sendi perekonomian nasional. Kuatnya arus krisis keuangan global, justru ikut berpengaruh terhadap goyahnya pasar bursa saham nasional yang menjatuhkan nilai bursa perdagangan IHSG mencapai 10,38 % (8/10), menurunkan rupiah (mencapai Rp. 10.120/dollar), instabilitas iklim investasi, menurunkan tingkat ekspor, angka pengangguran yang meningkat, daya beli menurun dan lain-lain. Kuatnya turbulensi krisis keuangan global secara pasti dapat menghancurkan industrialisasi nasional yang sedang giat-giatnya tumbuh sejak krisis moneter 98.

Energi nasional saat ini memang tercurahkan untuk mengantisipasi gejolak krisis keuangan global agar tidak meluas ke sektor lain. Berbagai upaya untuk melakukan “peredaman” 10 langkah pemerintahan, penerbitan Perpu Jaminan Nasabah Bank, kucuran buy back saham BUMN sebesar Rp. 4 trilliun merupakan wujud dari kepanikan-kepanikan elit saat ini. Kebijakan-kebijakan tersebut dan cenderung pragmatis (baca : pendekatan neolib) tidak mampu memutus mata rantai agar supaya keluar dari krisis keuangan global, tetapi justru menjadi “bom waktu” penderitaan rakyat. Memprioritaskan pada sektor portofolio daripada sektor riil membuktikan bahwa prioritas penyelamatan ekonomi nasional memiliki kecenderungan jalan ditempat dan bukan untuk kepentingan rakyat. Pengalaman krisis 98 menjelaskan bahwa sektor riil mampu bertahan dan berhasil menopang perekonomian nasional ditengah gempuran krisis. Pertanyaan besar muncul, seberapa kuat pemerintahan dapat menahan gempuran krisis keuangan global? Kapan dapat diakhrinya krisis keuangan global?

Banyak perspektif pendekatan yang berbeda dalam rangka membawa rakyat Indonesia keluar dari jebakan ekonomi neoliberal. Pertama adalah pemerintahan secara gentlemen mengakui ekonomi pasar bebas (neoliberal) tidak sesuai dengan kepentingan nasional bangsa. Kedua kebijakannya harus mampu menguatkan industri dalam negeri, artinya bahwa ditengah harga BBM dunia yang terus anjlok, seharusnya pemerintahan berkomitmen untuk berani menurunkan harga BBM nasional karena BBM merupakan energi penggerak industrialisasi nasional. Jika harga BBM turun maka sektor riil bergerak, harga-harga pangan juga akan turun, inflasi turun dan BI tidak harus menaikkan BI rate yang merugikan sektor riil. Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan pangan, energi, dan sandang dalam rangka kemandirian ekonomi sehingga tidak tergantung pada negara lain.

Seharusnya, krisis keuangan global harus dijadikan momentum oleh pemerintahan SBY-Kalla untuk mengintropeksi semua kebijakan ekonomi neoliberal yang justru merusak sendi-sendi ekonomi rakyat. Kebijakan anti rakyat justru telah menjerumuskan pemerintahan pada lubang krisis yang berkepanjangan sejak 98. Momentum untuk membangkitkan dan menguatkan industrialisasi nasional ditengah gagalnya ideology Laissez Faire dengan meneguhkan kembali spirit Pasal 33 UUD 45. Peneguhan ini dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan social sehingga blue print pembangunan nasional berpegang teguh pada hajat hidup orang banyak harus menjadi keniscayaan sejarah. Peranan Pemerintah sebagai lead mind set Ekonomi Kerakyatan, agar supaya perubahan menuju perbaikan dapat lebih terbuka segera terjadi dalam kerangka prinsip Keadilan demi Persatuan.

Ekonomi kerakyatan yang bermodalkan pada prinsip keadilan harus selalu digelorakan menjadi spirit bersama dalam mencari jalan keluar dari krisis keuangan global. Langkah yang paling konkrit adalah mengembalikan spirit nasionalisasi asset-aset strategis dan perusahan-perusahan asing yang tidak memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan rakyat, hampir 10 tahun ini telah di obral secara murah kepada pihak asing harus menjadi keniscayaan sejarah bahwa kemandirian dan kedaulatan ekonomi politik rakyat harus menjadi roh perjuangan nasional yaitu pembebasan nasional dari eksploitasi dan penindasan. Menguatkan dan mengamankan industri nasional dalam rangka untuk menggerakkan perekonomian nasional dari gempuran krisis keuangan global menjadi bukti dari keperpihakan pemerintahan pada kepentingan nasional. Ketahanan perekonomian nasional harus mampu menopang kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat sehingga ketahanan perekonomian selalu berkorelasi terhadap kemandirian dan kedaulatan bangsa.

Minggu, 12 Oktober 2008

Krisis Ekonomi Global = Kegagalan Kapitalis Pasar Bebas

Jatuhnya perusahaan financial di bursa saham Wall Street penopang ekonomi AS, membawa pengaruh besar terhadap perekonomian dunia. Nama-nama besar seperti Lehman Brothers, American International Group, JP Morgan’s, Merril Lynch, Goldman Sach dll sudah mengibarkan bendera putih. Simbol-simbol kekuasaan ekonomi kapitalis yang menerapkan ekonomi pasar bebas justru tidak berdaya menghadapi gempuran krisis ekonomi global yang terus merangsek ke sendi-sendi ekonomi. Kondisi ekonomi AS saat ini ditandai dengan inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, angka pengangguran yang melonjak, serta deficit budget dan deficit neraca pembayaran yang terus membengkak.

Keguncangan Wall Street bermula dari krisis subprime mortgage loan, yakni kredit pemilikan rumah (KPR) kepada para debitor menengah bawah yang hidupnya sangat bergantung pada pendapatan tetap yang pas-pasan. Ketika inflasi membengkak, mereka tidak bisa lagi mampu membayar bunga dan cicilan pokok.

Situasi yang sudah dimulai sejak sekitar lima tahun silam itu akhirnya meledak pertengahan 2007. Nilai surat berharga dengan underlying asset subprime mortgage merosot tajam, sehingga tidak bisa dijual pada harga wajar. Dalam kenyataan, nilai pasar yang wajar sulit diketahui karena banyak dan bervariasinya derivasi dari surat berharga dengan basis subprime mortgage. Total kerugian investasi di subprime mortgage mencapai lebih dari US$ 800 miliar, bahkan ada yang memperkirakan jauh di atas US$ 1 triliun.

Perkiraan bahwa krisis subprime mortgage segera berakhir tidak terbukti. Satu demi satu, perusahaan finansial mengumumkan kerugian akibat investasi di berbagai derivasi subprime mortgage yang bernilai triliunan dolar AS. Ketika harga subprime mortgage ambruk, utang melonjak tajam, jauh melebihi aset. Kerugian itulah yang kini harus ditolong oleh semua pembayar pajak, termasuk mereka yang selama ini tergolong hidup susah. Sekitar lima tahun terakhir, ekonomi AS sesungguhnya tidak lagi sehat. Daya beli masyarakat menengah bawah relatif tetap, bahkan sebagian mengalami penurunan berujung pada stagnansi yang berkelanjutan.

Masalahnya, jika krisis ekonomi yang melanda AS ini berlangsung dalam waktu yang lama, pengaruhnya sungguh akan sangat besar bagi stabilitas ekonomi-politik dunia. Pertama, sektor keuangan saat ini merupakan sektor yang paling tersebar dan paling terkait secara global. Krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis di sektor finansial, dengan sendirinya menghela ekonomi negara lain ke jalur krisis; kedua, konsumsi AS adalah yang terbesar di dunia dan menjadi sumber utama permintaan ekonomi dunia. Jatuhnya tingkat konsumsi di AS, sangat jelas membuat pertumbuhan ekonomi dunia melambat yang itu berarti, AS mengekspor krisis internalnya ke seluruh dunia; dan ketiga, sebagaimana dikemukakan John Bellamy Foster, seiring meningkatnya finansialisasi ekonomi dunia adalah kian mendalamnya penetrasi kekuasaan imperial terhadap negara-negara dengan kondisi ekonomi sedang berkembang (underdeveloped). Tujuan dari penetrasi ini, menurut William I. Robinson adalah untuk menghancurkan otonomi para aktor nasional dan selanjutnya menstrukturkan serta mengintegrasikan mereka ke dalam jaringan transnasional yang lebih luas.

Penetrasi yang digerakkan melalui kebijakan globalisasi-neoliberal tersebut, menyebabkan negara-negara yang sebelumnya telah tergantung pada investasi asing kian tergantung padanya (khususnya investasi portofolio) dan keharusan untuk membayar utang kepada kapital internasional. Hasilnya adalah sebuah lingkaran setan; negara-negara berkembang yang mengikuti resep globalisasi-neoliberal, “fundamental ekonominya” membaik menurut kriteria sektor finansial tapi, bersamaan dengannya tingkat suku bunga meningkat, terjadi penghancuran industri (deindustrialization), pertumbuhan ekonomi rendah, dan kian mudahnya ekonomi negara tersebut diserang krisis akibat pergerakan cepat keuangan global.

Gambaran diatas menjelaskan bahwa, Amerika yang selalu menagung-agungkan ekonomi Pasar bebas yang melahirkan efisiensi ekonomi maksimal melalui “invisible hand” atas prinsip supply and demand justru telah menggali lubang kuburnya sendiri.


Indonesia dalam Arus Utama Ekonomi Global
Ekonomi Indonesia tidak terlepas dari krisis keuangan AS ini. Modal dan transaksi ekonomi dengan AS cukup aktif hidup dalam perekonomian Indonesia. Sebagai salah satu contohnya, Lehman Brothers, yang utangnya mencapai USD 600 miliar, menyatakan diri bangkrut. Bukan rahasia lagi, Lehman Brothers banyak berinvestasi di perusahaan-perusahaan besar Indonesia. Akibat langsung kita saksikan, saham-saham perusahaan-perusahaan Indonesia yang terkait dengan Lehman Brothers anjlok jauh di atas rata-rata anjloknya saham-saham di Indonesia.

Dengan pola seperti ini, bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan yang dijalankannya tidaklah membuahkan kemajuan dan kebebasan tapi, pembangunan yang menghasilkan keterbelakangan dan ketertindasan.

Bahkan dalam sejarah Indonesia, baru pertama kali perdagangan bursa saham di tutup pada awal pembukaan saham (8/10) karena dalam perdagangan saham IHSG anjlok mencapai 10,38%. Anjloknya saham IHSG karena tidak di dukung dengan transaksi yang memadai.

Kepanikan justru terjadi dimana-mana, mulai dari perdagangan saham, perbankan, industry dan tentunya adalah masyarakat luas. Walaupun tidak terkena dampak secara langsung, akan tetapi aura krisis keuangan global justru telah meresahkan seluruh komponen bangsa. Bahkan pemerintahan dalam hal ini telah melakukan intervensi dengan melakukan 10 langkah penangan perekonomian nasional. Bahkan menurut beberapa sumber ketiga pilar ekonom nasional ( Menkeu, BI dan Bappenas) sedang getol-getolnya mencari dana talangan untuk mengatasi dampak krisis keuangan di dalam negeri. Alhasilnya adalah nihil, karena beberapa lembaga donor internasional juga mengalami keterbatasan financial dan banyak aspek lainnya.
Langkah-langkah SBY, justru tidak focus dan cenderung reaksioner. pertama adalah buy back sejumlah BUMN, artinya adalah pembelian beberapa saham BUMN dengan maksud untuk menguatkan kepemilikan saham nasional justru tidak berfungsi secara maksimal dalam mengatasi krisis keuangan global, bahkan dana sebesar Rp. 4 triliun ini adalah merupakan subsidi pemerintahan terhadap BUMN untuk mengamankan BUMN yang bersangkutan dalam menghadapi krisis keuangan global. Kedua, sektor real harus bergerak. Dalam kacamata saya, Indonesia yang luas dengan berbagai aspek geografisnya harus focus pada sektor real apa? Memang betul bahwa sejarah 97-98 ketika Indonesia yang sedang mengalami krisis ekonomi justru yang pertama kali mampu menggerakkan perekonomian nasional adalah sektor real khususnya perdagangan (UKM) dan pertanian.
Apa yang sebenarnya menjadi pokok jalan keluar yang cepat dalam mengatasi krisis keuangan global, pertama adalah menyediakan dan menstabilkan pasar pangan nasional. Produksi pangan nasional harus dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Kedua adalah persediaan energy nasional yang dapat menggerakkan industrialisasi nasional. Ditengah-tengah harga bbm internasional yang memiliki kecenderungan menurun, pemerintahan SBY harus berani menurunkan harga BBM baik industry maupun subsidi. Hal ini dilakukan adalah bahwa industry-industri dan masyarakat tetap bertahan dan mampu menggerakkan industry mereka dan kemudian dapat menopang perekonomian nasional. Ketiga, komitmen dan keseriurasan pemerintahan SBY harus di buktikan dengan melakukan penyitaan harta hasil kejahatan korupsi para pelaku korupsi yang sekarang ini masih menghirup udara bebas. Korupsi BI, BLBI, Illegal Logging dan lain sebagainya yang berada di lingkarang istana, DPR, Departemen-departemen, pemerintahan daerah dan lain-lain. Langkah ini tentunya harus dilaksanakan secara tegas tanpa ada politik tebang pilih.