Jumat, 16 Juli 2010

Demokrasi Multipartai dan Kualitas Demokrasi

Sejak hadirnya era reformasi, Indonesia sejatinya telah melakukan perubahan secara signifikan dan fundamental dalam desain sistem ketatanegaraan yang mengatur tata penyelenggaraan kehidupan berbangsan dan bernegara. Hal ini tergambarkan melalui proses amandemen UUD 1945 selama empat kali. Dinamika transisi demokrasi yang sedang dijalankan tidak dapat dilepaskan dari tuntutan publik yang menghendaki adanya perubahan dari orientasi kehidupan otoritarian menuju democratic. Perubahan sistem demokrasi memunculkan sistem kehidupan demokrasi liberal multipartai dalam pemilu. Sistem demokrasi liberal multipartai merupakan tatanan yang menjamin setiap partai politik dapat berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi berdasarkan undang-undang.

Sistem demokrasi multipartai yang diadopsi dari barat, kini telah masuk dalam tiga fase kehidupan transisi demokrasi, yakni pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009. Prakteknya konsolidasi demokrasi telah terjebak dalam aspek procedural sehingga produk politik yang dihasilkan tidak pernah menyentuh masalah substansi bangsa. Kualitas partai politik cenderung mengalami degradasi secara tajam, karena “popularitas” telah menjadi ukuran bagi pencapaian demokrasi dalam pembangunan partai politik. Kontestan politik dari tahun ketahun juga mengalami pertumbuhan yang pesat sampai pada tahun 2009. Pertumbuhan sistem multipartai justru berbanding terbalik dengan perbaikan kesejahteraan rakyat. Parpol semakin menjauhkan diri dari persoalan yang menghimpit rakyat dan mendekatkan diri pada kekuatan modal.

Melihat fenomena demokrasi yang muncul selama ini, tentunya nilai-nilai demokrasi itu dipandang sudah banyak terpenuhi. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan yakni, bagaimana dengan kualitas atau efektivitas yang akan dihasilkan. Sementara sistem multipartai yang menjadi pilihan belum memberikan kepastian akan menopang kekuatan sebuah pemerintahan presidensial seperti yang ada sekarang. Dari perjalanan 12 tahun reformasi, kualitas demokrasi ternyata tak hanya ditentukan oleh proses semata, akan tetapi dari hasil proses itu sendiri juga akan berdampak sejauhmana kemanfaatannya bagi masyarakat. Tidak seperti saat ini, instabilitas yakni keberadaan pemerintah kurang mendapat dukungan parlemen, sehingga format politik yang dibangun itu tidak mengarah pada terbentuknya pemerintahan yang kuat.

Dampak multi partai di Indonesia dapat kita rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat “Decision Making” berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan negara yang strategis meliputi aspek; politik, ekonomi, diplomasi dan militer. Bila kita mengamati secara fokus hubungan antara eksekutif dan legislatif, Presiden mengalamai resistansi karena peran legislatif lebih dominan dalam sistem multi partai. Sebenarnya posisi Presiden RI sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR. DPR yang merupakan lembaga negara, justru menjadi resistansi dalam sistem pemerintahan kita, karena mereka bias dengan kepentingan primordial masing-masing. Menyamakan visi dan misi dari 9 fraksi, dengan ideologi dan kepentingan yang sangat mendasar perbedaannya akan sangat sulit dicapai. Peran DPR, tak lebih sebagai opposisi yang selalu menentang pemerintah. Jika situasi dan kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas politik dalam negeri dan tentunya menjauhkan kesejahteraan dan keadilan bagi mayoritas rakyat.

Kebebasan politik dan reformasi yang semestinya menggaransi kemajuan dan kesejahteraan, dalam realitas politiknya tidak terbukti. Banyaknya partai politik tidak otomatis merupakan cerminan dari tingginya semangat demokrasi dikalangan elit politik. Kemudahan mendirikan parpol menstimulus elit untuk berlomba memperebutkan kekuasaan tanpa pertimbangan matang. Banyaknya partai politik didirikan tanpa elaborasi ideology yang jelas dan visi yang terukur serta aplikatif. infrastruktur kelembagaan partai politik dan basis konstituennya lemah sehingga gagal membangun kekuatan politik yang pantas diperhitungkan.

Penyederhanaan partai politik merupakan agenda rasional politik yang penting untuk dilakukan dalam memperkuat sistem presidensial. Gagasan untuk menyederhanakan parpol mencuat ke permukaan, dengan adanya usulan untuk merevisi UU Pemilu. Di dalam rencana revisi UU Pemilu tersebut diusulkan untuk meningkatkan parliamentary treshold (PT) yang selama ini 2,5 persen, menjadi 5 persen pada pemilu 2014 nanti. Upaya mengendalikan laju pertumbuhan partai politik secara alamiah dan democratic dengan menaikan ambang batas 5 persen untuk pemilu 2014 harus menjadi agenda bersama dalam rangka untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan keberlanjutan pembangunan demi tercapainya kesejahteraan umum. Kemudian, penyederhanaan partai politik juga akan mempermudah terbentuknya koalisi secara permanen partai politik dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden sehingga ketika menang mendapat dukungan mayoritas.

Langkah-langkah penyederhanaan partai politik dengan menaikan parliamentary threshold 5 persen harus di lakukan secara koheren dan sinergis antar instansi kenegaraan. Penyederhanaan parpol dimungkinkan untuk mengurangi ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh dominannya partai politik di parlemen dalam melakukan check and balances terhadap pemerintahan sehingga dapat dicapai keseimbangan dan keselarasan dalam memajukan pembangunan.