Rabu, 24 September 2008

Tanggung Jawab Negeri Penghasil Karbon Dalam Bencana Badai Karibia

Oleh : Pius Ginting[1]
Tiga badai berkekuatan besar silih berganti menerpa kawasan Karibia. Setelah badai Gustav, disusul badai Hanna, dan terakhir Ike. Badai tersebut telah menyebabkan kerusakan yang parah dan luas di kawasan Karibia. Sudah banyak kajian mengungkapkan dampak perubahan iklim dengan menguatnya energi badai. Salah satunya Dr James Hansen dari NASA, berkesimpulan bahwa pemanasan global memberi sumbangan terhadap membesarnya energi badai. Badai yang menerpa negeri-negeri di Kawasan Karibia adalah bukti yang mencolok tentang ketidakadilan iklim dan ketidakadilan ekologi. Amerika Serikat adalah negara yang paling tinggi akumulasi karbondioksida di atmosfirsaat ini. Sementara itu, negeri-negeri di Karibia adalah penyumbang karbon terkecil. Bahkan berdasarkan penelitian WWF yang dipublikasikan pada tahun 2007,Kuba salah satu negeri di kawasan tersebut menjadi negara dengan ecological footprint terendah. Menggunakan ukuran jejak ekologis tersebut, berarti Kuba adalah negeri yang paling sedikit mengkonsumsi sumber daya alam namun mampu mencapai standar kesehatan, pendidikan dan usia harapan hidup yang baik. Namun dalam kejadian terpaan badai beruntun ini, negeri-negeri Karibia tersebut mengalami dampak parah, dimanaHaiti mengalami korban jiwa paling banyak.
Kesiapan menghadapi bencana
Bencana berkekuatan sama menghasilkan efek yang berbeda di negeri yang dilewati oleh badai tersebut. Presiden Timor Leste yang kebetulan berada di Havana, Kuba saat badai Ike menerpa menyatakan badai tersebut akan menewaskan ratusan orang bila terjadi di negeri lain. Ketika Badai Katrina menyapu New Orleans yang mengakibatka banyak korban jiwa, Amerika Serikat pada tahun 2005, media St Petersburg Times (9/9/205) menurunkantulisan berjudul “Can we learn from Cuba’s lesson?”, mengacu kepada pengalaman Kuba mengantisipasi badai Ivan dengan kecepatan 160 km/jam tahun 2004, dimana dua juta orang dievakuasi. Alhasil, tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Hal tersebut hanya bisa terjadi bila ada perhatian serius dari pemerintah untuk melakukan mitigas bencana dan adanya budaya kerjasama antar rakyat. Budaya kerjasama dan solidaritas antar sesama masyarakat Kuba adalah faktor utama, dan sikap tersebut juga tercermindalam pergaulan internasional Kuba dengan pengiriman misi sosial, khususnya tenaga medis, ke negara dunia ketiga yang membutuhkan mana kala tertimpa bencana.
Tanggung jawab negeri-negeri penghasil karbon terbanyak
Negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia sebagai penghasil karbon terbanyak adalah yang paling bertanggung-jawab atas bencana yang penyebabnya tidak terlepas dari campur tangan manusia ini. Sudah selayaknya negeri-negeri tersebut memberikan bantuan yang signifikan sebagai bagian dari pembayaran hutang ekologinya terhadap negara dunia ketiga seperti Kuba, Haiti dan negeri lainnya di Karibia yang mengalami bencana tersebut. Pemerintahan Kuba melalui kementerian luar negerinya telah meminta kepada pemerintahan Amerika Serikat bahwa jika A.S sungguh ingin berkerjasama dengan rakyat Kuba dalam menghadapi tragedi bencana, maka A.S diminta mencabut embargo ekonomi, dengan demikian memperbolehkan penjualan barang-barang kebutuhan yang penting bagi Kuba, dan mencabut pembatasan yang melarang perusahaan-perusahaan A.S memberikan kredit komersial bagi Kuba yang akan diperuntukkan untuk memberi bahan makanan dari Amerika Serikat. Namun pemerintahan Bush menolak untuk mencabutembargo tersebut. Indonesia sebagai negeri yang pernah menerima bantuan kemanusiaan berupa tenaga medis ketika bencana gempa Jogyakarta terjadi, yang dalam pendiriannya terakhir di PBB juga menentang embargo ekonomi A.S terhadap Kuba, perlu menyuarakan kembali sikap tersebut di saat negeri di kawasan Karibia tengah mengalami bencana. ________________________________
[1]Staf Eksekutif Nasional WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)

Senin, 22 September 2008

Ambil Alih Perusahaan Batubara pengemplang Royalti Negara

Buruknya pengurusan sektor pertambangan khususnya tambang batubara membuat negara ini tersandera oleh kuatnya dominasi corporate asing yang tidak memiliki integritas terhadap kedaulatan ekonomi politik Indonesia. sumber daya energy ini menjadi komoditas dagang yang sejak lama merugikan Negara_dengan berbagai cara. Itu ditunjukkan tarik ulur dan kurang tegasnya pemerintah memaksa perusahaan tambang membayar tunggakan royalty sebesar 13,5 % dari total produksi per tahun hingga 7 tahun lebih, sehingga Negara dirugikan sekitar 16,4 Triliun. Indonesia, sang pemilik batubara terkesan tak berdaya dengan ulah pengusaha penyandera tunggakan. Sudah terlalu banyak kemewahan diberikan negara ini terhadap pelaku pertambangan asing. Salah satunya perlakuan Lex Spesialis, yang disebut-sebut perusahaan tercantum dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), yang ditandatangani bersama pemerintah Indonesia.

Perusahaan tambang melakukan pengemplangan royalty kepada Negara adalah : PT Kideco Jaya Agung Rp 448,091 miliar dan USD 30,513 juta; PT Kaltim Prima Coal USD 115,628 juta; PT Kendilo Coal Indonesia USD 6,642 juta; PT Arutmin Indonesia USD 68,601 juta; PT Berau Coal Rp 284,275 miliar dan USD 23,816 juta; dan PT Adaro Indonesia Rp 131,703 miliar dan USD 85,001 juta. Keenam perusahaan telah menangguk keuntungan luar biasa karena menguasai 60 persen lebih produksi batubara Indonesia, yang sebagian besar diekspor. Tahun lalu, produksi batubara mencapai 207,5 juta ton. Belum lagi windfall profit dalam tujuh tahun terakhir bersama naiknya harga batubara dunia. Bisa dibayangkan berapa tambahan keuntungan yang mereka raup, jika tahun 2006 harga batubara mencapai USD 50 per ton, tahun ini mencapai USD 120 per ton.

Dalam aspek regulasi Presiden SBY harus bertanggungjawab – yang saat itu menjabat Menteri Pertambangan dan Energi di masa presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengeluarkan PP No 144 tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan NIlai yang merugikan negara di sektor pertambangan. Meliputi minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batubara, bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit. PP ini jelas menguntungkan pebisnis dan negara tujuan ekspor, karena pembelian bahan-bahan tambang - yang tidak terbarukan ini menjadi bebas pajak, apalagi Indonesia mengekspor sebagian besar dalam bentuk bahan mentah. Ironisnya PP yang secara jelas merugikan Negara, selama 7 tahun dibiarkan oleh angen kaum modal asing yaitu menteri ESDM- Purnomo Yusgiantoro

Sudah jelas bahwa, kuatnya corporate asing dalam melakukan eksploitasi kekayaan alam maupun rakyatnya telah di legitimasi dengan rapuhnya integritas pejabat Negara yang menjadi kakitangan/antek-antek perusahaan asing. Watak feudal dan konservatif yang direpresentasikan oleh Pemerintahan SBY-JK dan Purnomo Yusgiantoro (Menteri ESDM) merupakan hambatan bagi terwujudnya kemandirian secara ekonomi dan kedaulatan secara politik, artinya bahwa kehendak untuk memerdekakan seluruh rakyat tidak akan terwujud ketika kakitangan imperialis asing masih kuat mendominasi seluruh sektor rakyat. maka sudah saatnya mengembalikan kedaulatan Negara untuk mengurus industry pertambangan untuk hajat hidup seluruh rakyat.

Kooptasi Modal Asing dan Kebijakan Energi Nasional

Minyak atau gas adalah komoditas strategis yang digunakan semua orang, langsung atau tidak langsung. Sadar atau tidak, penggunaan minyak masih mendominasi kehidupan manusia di dunia. Konsumsi energi dunia yang masih bersandar pada energi fosil (minyak bumi, gas, batubara) akan sangat berpengaruh pada pola konsumsi sebuah negara. Eksploitasi energi fosil yang tidak dipertimbangkan pasokan alternatifnya menyebabkan energi fosil makin menipis. Sementara konsumsi energi yang begitu besar seiring dengan percepatan proses industrialisasi di kawasan Barat maupun di Asia khususnya Cina dan India menyebabkan pasokan energi juga mengalami keterbatasan (baca : krisis).
Dalam hal kinerja umum, indikasi dari tidak optimalnya pengelolaan industri migas nasional salah satunya ditunjukkan dengan produksi dan cadangan migas yang kecenderungannya terus menurun, sementara cost recovery meningkat. Produksi migas sangat menentukan penerimaan negara dan cadangan migas sangat menentukan ketahanan supply migas negara. Implikasinya penerimaan negara dari sektor migas berkurang dan ketersediaan supply migas nasional makin mengkhawatirkan. Kebijakan yang selama ini ditempuh pemerintah untuk meningkatkan produksi dan cadangan adalah dengan memberikan insentif-insentif dalam pengusahaan migas kepada kontraktor bagi hasil/KPS (sekarang istilahnya adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama, KKKS). Sekarang Indonesia cenderung kian ‘bermurah hati’ memberikan insentif-insentif yang semakin besar dan longgar bagi para kontraktor migas internasional. Mulai yang terkait aspek finansial saja (CR, perubahan pola bagi hasil, investment credit, pajak, DMO fee), hingga dengan aspek jaminan ketahanan migas nasional (DMO holiday, DMO fee). Di satu sisi hal itu merupakan daya tarik bagi investasi, namun disisi lain hal itu mencerminkan bargaining position dan sikap politik pemerintah Indonesia semakin hari terlihat semakin menurun. Berbagai insentif yang diberikan tersebut ternyata kecenderungannya tidak selalu berkorelasi positif terhadap hasil yang diharapkan (produksi dan cadangan tidak semakin meningkat dengan peningkatan insentif yang diberikan).
Beberapa implikasi dan konsekuensi yang ditimbulkan dari berbagai insentif tersebut justru cenderung negatif, diantaranya: pertama, DMO Holiday menyebabkan ketergantungan Indonesia terhadap minyak impor semakin besar (ketahanan energi, sebagai aspek terpenting, menjadi rentan). Kedua, Pengubahan DMO Fee menyebabkan Indonesia harus membeli minyaknya sendiri dari pasar internasional dengan harga lebih mahal. Implikasinya, biaya produksi dan pengadaan BBM dalam negeri juga menjadi lebih tinggi, harga BBM untuk rakyat relatif menjadi lebih mahal. Ketiga, Cost Recovery sejak 2001 hingga kini terus meningkat,mengurangi porsi pemerintah dalam bagi hasil. Data Panja Anggaran DPR 2007 menunjukkan bahwa cost recovery diperkirakan mencapai Rp. 93,2 triliun, sehingga penerimaan Migas di APBN 2007 diperkirakan hanya 46,3% (Rp. 148,2 triliun) saja dari total pendapatan kotor migas yang mencapai Rp. 320,4 triliun. Keempat, Pengubahan porsi bagi hasil pemerintah yang semakin lama semakin kecil menyebabkan semakin banyak sumber daya migas Indonesia ibaratnya secara ‘ijon’ telah dikuasai pihak asing_merugikan kepentingan generasi mendatang.
Ketahanan supply migas yang semakin bergantung pada impor dan digunakannya acuan harga internasional untuk BBM dalam negeri adalah beberapa diantaranya. Harga minyak dunia, yang notabene sangat dipengaruhi oleh perilaku ekonomi-politik perusahaan-perusahaan minyak dunia yang besar (yang juga mendominasi produksi migas Indonesia) justru terlihat menjadi driving faktor lebih berpengaruh terhadap pergerakan produksi minyak Indonesia. Dengan kata lain, pemerintah sebaiknya mewaspadai kemungkinan konspirasi global akan hal ini, sehingga tidak serta merta menggunakan insentif sebagai instrumen untuk memacu peningkatan produksi dan cadangan migas nasional.
Kebijakan energi nasional semacam ini, tentunya bukan hal yang baru, sejak pemerintahan Orde baru sudah dilakukan. Tragisnya, ketika Pemerintahan Megawati Soekarno Putri menerbiktan UU Migas No. 22 Tahun 2001 sebagai pintu masuk atas liberalisasi industri Migas Nasional yang bertentangan dengan UUD 45 khususnya pasal 33. Keluarnya UU No. 22/2001 tentang Migas semakin mengukuhkan cengkeraman korporasi asing atas kekayaan Migas Indonesia dan tentunya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004 juga menjadi alat pencengkeraman abadi oleh asing terhadap kekayaan Migas Indonesia. Faktanya adalah hampir 90% Industri migas nasional telah dikuasai oleh corporate asing (Exxon,cevron, BP dll) dan hal yang wajar terhadap bargain position pemerintahan yang lemah. Hukum perminyakan nasional- bahkan hukum ekonomi Indonesia memakai doktrin ekonomi liberal yang mengajarkan negera tidak boleh campur tangan dalam ekonomi. Semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Jantung fenomena kultur market global merupakan kenyataan bahwa dominasi pasar global adalah nafsu keserakahan yang tak peduli dengan humanism.
Kerja keras DPR dengan Hak angket BBM menjadi pintu masuk untuk membongkar kebijakan energi nasional yang selama ini tidak menguntungkan Negara. Harapan ini antara lain untuk melakukan pembenahan kebijakan energi nasional, penilaian ulang tentang efektifitas bentuk Kontrak Kerjasama Migas, Pembongkaran praktek mafia perdagangan Migas, Transparancy Cost recovery dan Peningkatan efisiensi pengadaan BBM. Bahkan diharapkan dapat mengungkap persoalan sejenis di sektor-sektor lain yang masih dihinggapi virus manipulasi dan inefisiensi. Namun, sejauh ini justru Pansus Hak Angket BBM belum secara signifikan mampu membongkar seluruh kejahatan kebijakan energi nasional, bahkan ada kecenderungan sudah terkooptasi oleh dominannya mafia perminyakan yang secara leluasa memainkan seluruh kebijakan energi nasional.
Praktek mafia energi nasional tidak hanya mendominasi impor minyak mentah dan BBM akan tetapi menguasai jalur distribusi minyak yang berdampak pada membengkaknya anggaran yang harus dikeluarkan negara, dimana ditaksir inefisiensi akibat praktek mafia ini mencapai US$ 2,1 miliar per tahun. Rantai kejahatan yang dilakukan actor-aktor energi yang tidak memiliki integritas nasional menjadi ancaman keutuhan Negara bangsa. Actor-aktor energi ini tentunya tidak berjalan sendiri akan tetapi menjadi bagian integral dari stakeholder yang menjadi kakitangan kaum pemodal asing. Kebijakan energi nasional yang salah urus ini adalah merupakan bagian dari potret kepemimpinan nasional yang sampai sekarang belum mampu membawa keluar rakyat Indonesia dari krisis multidimensi. Bahkan rakyat selalu dikorbankan atasnama Negara demi keuntungan kelompoknya

Gerakan Kiri dan Garis Politik Parlementaris

Geliat pesta demokrasi 2009 semakin riuh rendah seiring dengan dimulainya proses kampanye terlama sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia. Kampanye tersebut dimanfaatkan oleh 34 Partai Politik (nantinya akan ditambah 4 partai politik yang memenangkan gugatan di PTUN) dan 6 partai politik local di Atjeh untuk meraih simpatik rakyat dengan berbagai janji maupun program-programnya.

Satu decade pasca reformasi yang sudah berhasil menjalankan dua pemilu secara demokrasi, harusnya nilai-nilai demokrasi secara substansial semakin meluas dengan bangunan ideology politik yang kuat. Namun dalam ranah politik real justru ketiadaan ideology politik yang jelas dari 43 partai politik peserta pemilu 2009 memberikan gambaran bahwa ada proses kegagalan dalam membangun proses politik dan demokrasi saat ini. Partai politik justru hanya dijadikan alat untuk merebut kekuasaan pragmatis yang kemudian hanya melakukan praktek-praktek culas dan korup seperti yang terlihat saat ini.

Berbicara soal ideology politik, yang menarik untuk disimak adalah munculnya fenomena gerakan-gerakan kiri yang mencoba berebut keuntungan sebagai peserta pemilu 2009. Gerakan kiri (baca : oposisi Orde Baru) yang di representasikan PRD (Partai Rakyat Demokratik) melihat bahwa panggung kekuasaan parlemen merupakan pintu masuk dalam melakukan perubahan yang fundamental. namun sejak kekalahan pemilu 1999 nama PRD kemudian kembali mewarnai panggung-panggung politik ekstraparlemen sebagai basis kekuatannya untuk melakukan tekanan politik terhadap pemerintahan.

Pada Pemilu 2004, kembali PRD berganti baju dengan POPOR untuk ikut dalam panggung politik borjuasi dan sekali lagi, begitu kuatnya arus kekuasaan politik orde baru sehingga POPOR gagal sebagai peserta pemilu. PRD yang sejak reformasi mau berkiprah dalam panggung politik borjuasi terus menemukan tembok-tembok kekuasaan yang anti terhadap demokrasi.

Memasuki pemilu 2009, kembali PRD dengan baju barunya (PAPERNAS) juga membangun kekuatan politik parlementaris juga mendapat hambatan dari kelompok status quo sehingga keberadaan PAPERNAS yang mengusung program Tri Panji yaitu : nasionalisasi perusahaan tambang, hapus utang luar negeri, dan bangun industry nasional untuk kesejahteraan rakyat menjadi momok bagi kelompok fundamental kanan. Dalam program strategis Tri Panji inilah sejatinya menjadi jalan keluar rakyat Indonesia untuk hidup lebih baik.

Dorongan garis politik parlementaris Papernas tidak berhenti disitu, dengan membangun blok kekuatan demokratis dalam melakukan perlawanan terhadap oligarki partai politik besar dengan partai-partai politik yang tidak memenuhi electoral threshold mencoba untuk melakukan konsolidasi namun karena bangunan konsolidasi tidak didasarkan pada aspek ideologis, tidak bertahan sampai sekarang. Bangunan blok baru ini adalah dalam rangka untuk mengkritisi UU pemilu yang justru menjadi alat politik partai politik besar untuk menyederhanakan (baca: meniadakan partai kecil) peserta pemilu. Sekali lagi, bangunan blok politik tersebut tidak berumur panjang karena UU Pemilu masih berpihak pada partai-partai gurem. Kemudian langkah Papernas sebagai kekuatan alternative untuk menuju politik parlementaris 2009 semakin tertutup rapat. Memang politik borjuasi dalam siklus 5 tahunan masih tidak berpihak pada kekuatan gerakan kiri.


Berebut Keuntungan menuju Politik Parlementaris

Kegagalan demi kegagalan untuk meraup keuntungan politik parlementaris tidak menyurutkan kader-kader Papernas untuk menjalankan politik organisasinya. Hampir seluruh kader Papernas baik yang ada di pusat maupun daerah berebut kursi caleg tidak hanya di PBR (Partai Bintang Reformasi) tapi di PDIP, PKB, dan sejumlah partai lainnya. Politik diaspora gerakan kiri dalam kerangka masuk politik parlementaris justru dimanfaatkan oleh kader-kader PRD untuk meluaskan program-program perjuangan yang selama ini terbentur sistem. Jalan ini merupakan salah satu jalan strategis ketika alat politik PRD baik POPOR maupun PAPERNAS selalu terhambat oleh kekuatan yang anti demokrasi.

Virus pencaleg-an yang melanda aktifis kiri dalam rangka berebut kursi politik parlementaris menjadi seksis saat ini. Apalagi representasinya adalah Papernas, yang mayoritas kadernya mengisi kekosongan kursi caleg di PBR. Fenomena ini perlu disimak karena dua partai politik ini sangat berbeda, Papernas sebagai kekuatan gerakan kiri sementara PBR merupakan partai politik berbasis Islam religious. Ada dua kutub yang berbeda dan sulit untuk ditemukan benang merah ideology politiknya. Itulah politik!, apalagi dalam masa demokrasi liberal saat ini, bangunan ideology politik semakin absurd.

Langkah yang diambil oleh Papernas saat ini secara positif adalah bukan hanya pragmatis akan tetapi lebih pada politik strategis karena pertama, untuk meluaskan panggung politik parlementaris dengan melakukan politik propaganda Tri Panji yang selama ini menjadi momok bagi kelompok fundamental kanan. Hal ini diambil karena dalam proses propaganda program tersebut selalu terbentur hambatan bukan hanya dari kelompok fundamental akan tetapi dari blok media yang sampai sekarang belum berpihak kepadanya. Nah, proses kampanye selama 8 bulan ini merupakan ruang untuk melakukan propaganda secara luas di seluruh basis-basis PBR maupun lainnya. Kedua, garis politik parlementaris (pemilu) saat ini merupakan satu-satunya alat untuk melakukan perubahan secara fundamental, cara yang paling demokratis tentunya. Lihat saja fenomena kekuatan amerika latin, bahwa perubahan atau pergantian kekuasaan dilakukan melalui Pemilu dan dimenangkan kelompok-kelompok pro rakyat seperti di Venezuela, Bolivia, chile, argentina dll. Ketiga, melakukan penguatan struktur politik organisasi di seluruh daerah. Aura politik parlementaris merupakan seluruh kekuatan rakyat adalah pemilu 2009, sehingga akan sulitlah kalau mau kita tarik dalam politik ekstraparlementaris.

Namun dalam satu sisi negatipnya, garis politik parlementaris yang diambil Papernas dengan memasukan kader-kadernya di Caleg PBR ataupun lainnya adalah bacaan politik yang salah. Pertama secara obyektif bahwa gerak perkembangan masyarakat saat ini sungguh apatis terhadap elit dengan semakin mengentalnya oligarki politik. Apatisme rakyat kemudian teraplikasikan dalam bentuk golput yang dalam banyak pilkada menjadi pemenangnya sehingga bisa dipastikan adalah pemilu 2009 angka ini justru hanya kekuasaan pragmatis, dalam beberapa fakta dijelaskan bahwa keberadaan partai politik sampai hari ini belum mampu menjawab akar persoalan rakyat Indonesia, justru yang terjadi adalah politik daur ulang yang hanya melanggengkan kekuasaan status quo.

Kedua, partai politik saat peserta Pemilu 2009 memiliki dosa sejarah masa lalu, artinya bahwa keberadaan partai PBR ataupun lainnya selama ini selalu membuat kebijakan yang tidak pro rakyat seperti Pembentukan UU PMA, UU Privatisasi, UU Migas, UU BHMN, UU BHP, UU 13 tentang perburuhan, pencabutan subsidi terhadap rakyat miskin dll. Kolaborasi dengan kekuatan reformasi gadungan tersebut tentunya menyalahi garis perjuangan politik PRD yang selama ini berpihak pada kepentingan rakyat miskin. Melihat kondisi obyektif semacam ini tentunya adalah mustahil ketika komitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat miskin yang selalu dibawa Papernas dalam setiap programnya disepakati oleh partai-partai politik tersebut termasuk PBR.

Dalam sisi yang lain, keberadaan PBR sekarang dengan masuknya caleg dari kader-kader Papernas justru menambah energi untuk melakukan radikalisasi struktur politik organisasinya yang selama ini belum pernah teruji. Karena PBR tidak memiliki sejarah se-radikal Papernas dalam melakukan advokasi terhadap perjuangan rakyat, maka dengan masuknya kader-kader Papernas tentunya akan semakin meneguhkan dan menambah semangat bukan hanya melakukan politik pemenangan akan tetapi lebih menguatkan PBR dalam garis perjuangan rakyat miskin. Struktur yang terbangun kemudian menjadi satu kekuatan alternative baru dari sekian partai politik yang ada justru hanya bergerak ketika menjelang pelaksanaan pemilu. Namun image PBR sebagai partai politik Islam justru menjadi perjuangan basis ideology sosialis religious yang menjadi harapan pembentukan tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial. Maka masuknya kader-kader Papernas ini juga merupakan lapangan teori baru antara kelompok kiri dengan kelompok kanan mampu menyatukan kekuatannya menuju perebutan kekuasaan.

Gambaran diatas tentunya menjadi gambaran umum, bahwa bangunan ideology politik gerakan kiri semakin luntur ketika dihadapkan pada politik kekuasaan borjuasi. Tidak ada pembatasan garis politik yang jelas menunjukkan dari keberhasilan dari demokrasi liberal, artinya bahwa liberalisasi (yang dulunya selalu menjadi tuntutan PRD dalam setiap aksinya melawan kediktatoran orde baru) hari ini justru telah memakan tuannya sendiri. mungkin slogan “buatlah sejarah, Jangan lari dari sejarah, atau anda akan dimakan sejarah” akan menguji kebenaran teori yang diambil oleh Papernas dalam memasuki politik parlementaris. Semoga.

KEBANGKITAN NASIONAL : INTEGRITAS GERAKAN PEMUDA DALAM PROSES KONSOLIDASI DEMOKRASI

Krisis ekonomi politik yang berkepanjangan yang tidak pernah berujung, membuat berbagai kalangan telah menilai bahwa pemerintahan yang dihasilkan dari Pemilu 2004 secara langsung SBY-JK ini belum mampu memberikan bukti yang konkrit atas penyelesaian kemiskinan, pengangguran, korupsi, pelanggaran HAM, illegal logging, bencana alam seperti Lumpur Lapindo dan lain sebagainya. Walaupun kita sadari bahwa persoalan-persoalan tersebut tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya, mulai dari Orde Baru, Habibie, Gus Dur, Megawati yang selalu mengabdi kepada kepentingan modal/pasar.

Sejenak harapan rakyat atas pemerintahan SBY-JK selama hampir 4 tahun berkuasa telah memudar seiring dengan semakin kuatnya kelompok oposisi baik dari partai politik maupun dari seluruh gerakan rakyat. Ketidakpercayaan ini tergambarkan dengan banyaknya tuntutan-tuntutan ketidakpercayaan yang bersifat normatif sampai pada ujungnya ‘cabut mandat” adalah bentuk ekspresi rakyat yang berfungsi untuk mengingatkan pemerintahan telah menyimpang/keluar dari garis besar dan ideologi bangsa ini yaitu Pancasila dan UUD. Indikasi penyimpangan ini adalah terletak pada kebijakan-kebijakan ekonomi politik yang cenderung pro pasar, mulai dari UU Penanaman Modal, UU Sisdiknas, UU Migas dll, artinya bahwa bangsa ini telah kehilangan kemandirian dan kedaulatan secara utuh ditengah-tengah serbuan turbulensi ekonomi-politik global. Pelanggaran konstitusi negara ini justru diperparah dengan terdegradasinya politik moral aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya dengan melakukan perselingkuhan politik-ekonomi dengan pasar.
Satu dekade gerakan reformasi bergulir, ternyata apa yang menjadi harapan rakyat akan perubahan secara dratis dari cengkeraman ekonomi-politik global dan kediktaktoran Orde Baru justru semakin menjauh. Peningkatan angka kemiskinan mencapai 40 juta, 120 juta angka penggangguran, bencana alam yang terus mendera diseluruh pelosok akibat dari eksploitasi alam yang tidak ramah lingkungan, kebutuhan harga sembako yang terus melangit tidak terjamah oleh rakyat miskin. Badai korupsi yang melibatkan hampir semua instansi negara yang tidak terkendali, walaupun mendapat dukungan dari pihak internasional membuat bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi sebatas sloganistik, karena yang menjadi barometernya belum dan tidak mampu di tangkap dan asetnya dikembalikan ke negara oleh pemerintahan saat ini. Rentannya sistem pertahanan nasional yang memudahkan ancaman baik yang datang dari domestik maupun global, misalnya rekruitmen WNI menjadi Askar Wataniah Malaysia, munculnya terorisme dll. Sementara dalam ranah politik, meluasnya sengketa Pilkada di penjuru tanah air yang melibatkan partisipasi warga, membuat proses demokrasi dan pembangunan mandeg dan konflik elit politik yang menjadi sajian totonan masyarakat telah memperburuk proses transisi demokrasi yang terus menurunkan kepercayaan rakyat terhadap aparatus negara.
Parameter berjalannya proses demokratisasi adalah, terselenggaranya pemerintahan yang bersih, menguatnya lembaga-lembaga pemerintahan, dan terdidiknya civil society dalam melakukan partisipasi politik dan penyelenggaraan Pemilu secara demokratis. Pemilu merupakan instrumen politik dalam proses mensirkulasi kepemimpinan nasional sudah dilakukan dua kali dan tahun 2009 adalah momentum konsolidasi demokrasi yang ketiga kalinya semenjak gerakan reformasi. Konsolidasi demokrasi 2009, tentunya harus menjadi akhir dari transisi demokrasi sehingga bangsa ini akan tinggal landas menuju proses demokrasi yang memiliki nilai-nilai substansial yaitu demokrasi untuk keadilan dan kesejahteraan mayoritas rakyat.
Sirkulasi kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2009, harus dijadikan pijakan oleh elemen anak bangsa untuk bangkit dan merdeka secara politik ekonomi yaitu mandiri secara ekonomi dan berdaulat secara politik adalah falsafah yang harus menjadi spirit dalam membangun bangsa ini dari keterpurukan ekonomi politik. Kegagalan-kegagalan ekonomi politik ini membuktikan bahwa dominannya sisa-sisa kekuatan lama dan reformis gadungan yang masih mempertahankan kekuasaannya harus segera dihentikan. Krisis kepemimpinan nasional telah terjadi, munculnya Megawati, Gus Dur, SBY, JK, Wiranto, Sutiyoso, Sultan Hamengkubowono X dll adalah bukti dari kegagalan bangsa ini mencetak kader-kader yang memiliki integritas kuat dalam mempertahankan politik ekonomi nasional yang pro rakyat.
Sebagai bangsa yang besar dan selalu mengedapankan sikap-sikap solidaritas sebagai negara pluralisme, sampai saat ini belum memiliki ideal type kepemimpinan nasional yang tangguh dan kuat dalam memperjuangkan hak-hak seluruh rakyat. Justru yang bertengger di kekuasaan adalah merupakan persekutuan jahat borjuasi –modal- aristokrat yang selalu melakukan eksploitas dan semakin kokoh dalam mempertahankan kepentingannya. Dominan peranan partai politik yang anti rakyat dalam men-drive negara bangsa ini, mulai dari pembuatan UU, meniadakan fungsi partai, dan kuatnya kolaborasi dengan pasar menjadikan bangsa Partidozia yang rapuh karena berdiri dari kepentingan-kepentingan absurd kelompok.
Kemudian, kemunculan kepemimpinan alternatif melalui calon independen dalam Pilkada-tentunya mengarah kepada Pilpres- yang tangguh dan kuat untuk membawa rakyat keluar dari krisis ekonomi politik neoliberal selalu menjadi ancaman pemerintahan yang tunduk dan patuh terhadap kepentingan modal asing, sehingga peluang untuk melakukan perubahan mendasar dan mengangkat martabat dan identitas sebuah bangsa yang mandiri akan selalu menjadi sebuah wacana dalam ruang-ruang diskusi belaka.
Tahun 2008 merupakan momentum bersejarah, yaitu satu abad Kebangkitan Nasional, delapan puluh tahun sumpah pemuda, dan satu dekade gerakan reformasi. Momentum ini mengingatkan kita semua untuk melakukan kebangkitan secara politik-ekonomi, yaitu kebangkitan dari kebangkrutan ekonomi nasional dan terdegradasi politik moral aparatus negara yang tentunya gerakan pemuda adalah pelopor/vanguard dari kebangkitan nasional ini dalam menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia.
Terintegrasinya kekuatan muda yang membawa misi nasionalisme adalah upaya untuk membangkitkan kembali roh nasionalisme satu abad yang lalu dalam melawan kolonialisme Belanda. Dalam konteks saat ini, menguatnya turbulensi pasar global yang terus mengancam integritas bangsa dan kedaulatan negara adalah keniscayaan sejarah kalau pemuda melakukan terobosan politik dalam menjaga keutuhan NKRI. Sejarah ini kemudian harus senantiasa dikobarkan menjadi pekik perjuangan dalam mensejajarkan dengan bangsa-bangsa lain, artinya gerakan muda harus mampu membalikan sejarah masa lalu bangsa ini dalam mencapai kejayaannya menguasai negeri utara dengan kekuatan ekonomi dan politiknya.

Dinamika Gerakan Mahasiswa dan Politik Kekuasaan

Pupusnya Harapan Rakyat
Hampir 9 tahun gerakan reformasi belum kunjung menghasilkan perubahan atas keadilan dan kesejahteraan rakyat, justru malah sebaliknya. Dalam logika masa transisi demokrasi hal utama dalam melakukan perbaikan pembangunan menuju proyek modernitas adalah bagaimana sebenarnya melakukan penguatan hubungan antara rakyat dan negara? Negara yang di indetikan dengan pemegang otoritas kebijakan yang didalamnya terdiri dari unsur-unsur birokrasi, hukum dan alat keamanan serta aset-asetnya yang terlembagakan dalam bentuk institusi pemerintahan, sedangkan rakyat adalah masyarakat sipil.

Nah dalam rangka menguatkan hubungan negara dengan rakyat, yang perlu dilakukan adalah bagaimana sebenarnya menguatkan pula birokrasi yang selama ini cenderung korup dan tidak accountable dengan penegakkan hukum yang memenuhi rasa keadilan serta penguatan partisipasi rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Dalam transisi demokrasi seperti inilah kembali lagi peranan mahasiswa yang termanifestasikan dalam “intelektual organik” harus mampu memberikan penyadaran dan bergerak bersama-sama dengan rakyat melakukan kontrol penuh terhadap penyelenggaran negara.
Sudah hampir 1 dekade yang telah menjalankan dua kali pemilu yang “cukup” demokratis secara langsung dan hampir 123 kali lebih pemilihan kepada daerah yang tersebar di seluruh pelosok, ternyata belum cukup dijadikan pijakan untuk lepas landas menuju masyarakat yang menjunjung tinggi ham, demokrasi dll. Munculnya kebijakan yang tidak memihak rakyat seperti impor beras, perpres 36 soal tanah, kenaikan bbm, penanganan korupsi yang “tebang pilih”, munculnya produk hukum yang diskriminatif, polemik produk hukum seperti PP 37 tentang kenaikan gaji anggota DPRD, munculnya RUU Kamnas yang mengindikasikan kembalinya orde baru ke wilayah panggung politik dengan menyerahkan otoritas sepenuhnya pada TNI, munculnya RUU Penanaman Modal, pencaplokan wilayah luar oleh Malaysia dll yang sarat akan kepentingan modal adalah serentetan pengkondisian untuk meruntuhkan martabat dan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat.
Sementara begitu banyak terjadinya konflik suku di ambon, poso, papua yang terjadi selama ini membuktikan bahwa ancaman terhadap keutuhan bangsa ini kembali menyeruak menjadi politik nasional. Sekat-sekat demokrasi yang telah dibuka ternyata belum cukup untuk mengakomodir kepentingan kelompok minoritas, bahkan justru lembaga-lembaga seperti DPR, Komnas Ham, KPK dll sebagai kepanjangan otoritas pemerintahan yang dijadikan alat legalitas semata.
Ditambah lagi persoalan ekonomi sosial seperti pengangguran tinggi, angka kriminalitas tinggi, banyaknya privatisasi bumn, anak putus sekolah semakin banyak, angka bunuh diri tinggi, penggusuran, kasus malnutrisi, bencana alam, lumpur lapindo yang telah membuat perekonomian jawa timur terganggu, kecelakaan transportasi, bencana flu burung, demam berdarah, harga sembako yang kian melonjak sampai pada tidak meratanya proses pembangunan yang menyebabkan harapan rakyat terhadap pemerintahan/elit penguasa kian pupus yang akan berakibat fatal terhadap stabilitas nasional terganggu. Ketidakpercayaan ini bukan hanya terjadi pada elit penguasa, akan tetapi juga terjadi pada partai-partai politik yang ikut membidani produk eksploitatif hukum tersebut yang cenderung bersekutu maupun beroposisi secara malu-malu terhadap pemerintahan yang ada.

Politik Kekuasaan dan Mahasiswa
Realitas sosial yang begitu pelik dihadapi rakyat tidak bisa dilepaskan oleh peranan mahasiswa yang setengah hati dalam menuntaskan berbagai problem politik ekonomi. Sehingga kembalinya mahasiswa ke bangku kampus/kuliah menjadi dosa sejarah terhadap perjuangan rakyat dalam rangka membebaskan diri dari eksplotasi negara. Mahasiswa masih malu-malu dalam melakukan perebutan kekuasaan, dimana kekuasaan dapat diterapkan pada tingkatan-tingkatan tertentu dalam realitas sosial. Seperti kampus, kampung, organisasi sampai pada struktur negara. Akan tetapi kesalahan besar terhadap mahasiswa yang masih mengusung gerakan moral justru dimanfaatkan oleh borjuasi nasional untuk mengambilalih kekuasaan politik negara. Sebenarnya banyak pelajaran yang membuktikan bahwa mahasiswa harus tidak alergi pada politik praksis (senjata orde baru untuk membungkam gerakan kritis mahasiswa).
Belajar dari pemilu 1955 yang telah melibatkan mahasiswa untuk masuk ke dalam parlemen Orde Lama, 1966 yang juga memasukan mahasiswa dalam kabinet orde baru, dan pemilu 1999 dan 2004, membuktikan bahwa gerakan mahasiswa memiliki peran yang cukup strategis dalam kancah politik nasional, akan tetapi peran tersebut tidak didukung dengan kapasitas mahasiswa sebagai negarawan untuk berani mengambil peran politik secara maksimal dalam mencapai keadilan.
Berangkat dari ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik, pemerintahan, bangkitnya gerakan mahasiswa tidak semata-mata muncul sebagai seorang “hero” yang mampu menyelesaikan segala persoalan, akan tetapi lebih melihat sebagai bagian rakyat yang terkena dampak kebijakan. Kebangkitan secara bersama-sama dan berjuang dengan rakyat untuk terus berpikir kritis, rasional dan obyektif dalam menguatkan kontrol terhadap penyelenggaraan negara sebagai bagian dari proses demokrasi dan juga merupakan bentuk reflesive secara mendalam terhadap dinamika mahasiswa yang memiliki kecenderungan semakin menurun.
Hal yang tidak kita sadari adalah mahasiswa saat ini telah mengalami degradasi moral yang akut. Hancurnya tatanan sosial sejak gerakan 98 merupakan kecerobohan dan kegagalan mahasiswa dalam mengawal agenda reformasi. kegagalan demi kegagalan tercermin pada peranan mahasiswa yang semakin hari semakin berkurang terhadap perjuangan politik rakyat. mahasiswa lebih menikmati bangku kuliah sebagai menara gading dengan menjauhkan diri dari realitas sosial. Bahkan jargon-jargon ke intelektualan telah mengilusi kesadaran rakyat ( disisi lain bahwa kampus dengan ilmu pengetahuan telah berperanan penting dalam proses pembuatan produk yang diskriminatif terhadap kelas mayoritas rakyat), Artinya bahwa ilmu pengetahuan yang menciptakan mahasiswa telah melakukan kuasa penuh yang memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah.
Dalam perspektif gerakan mahasiswa yang telah menyumbang proses perubahan demokrasi, politik kekuasaan yang telah berhasil direbut dari kediktatoran Orde Baru telah dimanfaatkan oleh elit borjuasi yang tidak bertanggungjawab. Cukup sudah mengakhiri perjalanan transisi demokrasi yang berjalan tertatih-tatih yang juga belum menemukan makna dan identitas sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Hampir satu dekade perjalanan reformasi yang belum kunjung selesai, semantara polarisasi gerakan mahasiswa semakin tinggi dan semakin terpuruknyanya realitas sosial adalah merupakan tantangan bagi gerakan mahasiswa/intelektual kritis untuk masuk dalam arus besar realitas sosial untuk membangkitkan spirit rakyat dalam usaha pembebasan diri. Sebagai intelektual dan mahasiswa yang memiliki kemauan keras dan jiwa progresif revolusioner, berbagai momentum tersebut harus dimaknai sebagai kembalinya gerakan mahasiswa dalam mengisi ruang-ruang politik yang selama ini tidak berfungsi secara maksimal demi perwujudan kesejahteraan sosial. Ketidakmaksimalan ini lebih dikarenakan ketidakmampuan aparat negara ( mayoritas memiliki karakter korup) kita dalam mengelola dan menjalankan pemerintahan.
Momentum tersebut bukan hanya dijadikan suatu hal yang biasa, akan tetapi harus menjadi pijakan bagi gerakan politik mahasiswa dan rakyat secara keseluruhan untuk menyatukan diri dalam menghadapi gelombang besar neoliberal dan kaki tangannya yang telah memaksa harga diri kita tergadai. Praktek korup aparat negara yang menyebabkan keterpurukan bangsa ini telah menjadi karakter bangsa ini secara sistematis. Keterpurukan ekonomi politik ini harus menjadi stimulus bagi elemen progresif bangsa khususnya gerakan mahasiswa dan kelompok muda yang revolusioner untuk terus tidak menyerah dalam keadaan dan bangkit menjadi manusia-manusia yang unggul dalam kapasitasnya untuk mengakhiri menjadi bangsa kuli dan membangun bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Kemandirian dan kedaulatan yang selama ini tergadaikan, harus direbut kembali dengan menguatkan peranan-peranan kelompok muda yang progresif dalam ranah politik, ekonomi, sosial dan hukum melalui wadah perjuangan partai politik dan penguatan terhadap organisasi lainya dalam rangka untuk menguatkan civil society dan peranan negara. Pergantian kepemimpinan melalui demokrasi prosedural tidak serta merta diberikan oleh kepemimpinan yang korup akan tetapi harus direbut oleh kelompok muda yang memiliki jiwa dan karakter kebangsaan yang kuat dalam membangun tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan nilai-nilai budaya. Muara-muara untuk bersinggungan dengan kekuasaan harus terus digelorakan sehingga tujuan untuk membebaskan rakyat dari sistem yang mengeksploitasi harus segera di wujudkan. Nah yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah gerakan mahasiswa atau intelektual kritis mampu dalam mengemban tugas sejarah besar tersebut?