Rabu, 12 Agustus 2009

Negara, Masyarakat dan Demokratisasi Indonesia Dewasa Ini: Jejak Langkah Mencari Indonesia

Sebuah bangsa dapat dicitrakan dalam kaitannya dengan nilai-nilai sejarah dan budayanya. Maka muncullah ungkapan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah (tentu juga budayanya), Presiden Soekarno pun memberikan warisannya tentang slogan “Jass Merah” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) pada generasi-generasi muda yang pada waktu itu memang menjadi tulang punggung bagi kebangkitan nasional dari proses penjajahan, karena dengan sejarah itulah kita akan selalu memahami dan mengetahui asal usul kita dan sekaligus posisi kita sebagai sebuah negara bangsa di tengah dominasi kapitalisme. Sungguh ironis, apakah bangsa Indonesia telah menghargai sejarah dan budayanya sendiri? Bangsa ini terbukti sedikit sekali mempunyai perhatian dan apalagi memelihara sumber, situs, dan bangunan bersejarah. Di sana sini bahkan didengar banyaknya benda-benda bersejarah yang hilang (dicuri) atau dirusak. Bukankah peninggalan sejarah merupakan jembatan antara masa lampau dengan masa kini? Sementara itu ditengarai bangsa ini mudah melupakan yang baik-baik , tetapi mudah mengingat yang buruk-buruk . Sedangkan para elite penguasa menggunakan sejarah dalam arti historiografi sebagai alat legitimasi kekuasaannya. Tampaknya sejarah telah dipakai secara lebih praktis hanya untuk kepentingan kelompok atau golongan untuk memperkuat posisi politiknya masing-masing. Lalu masih hidupkah nasionalisme pada bangsa ini.
Di mana pula nilai-nilai budaya malu, tenggang rasa, gotong royong masih ada. Atau sudah menguap entah ke mana. Jangan lupa bahwa Kabinet sekarang ini diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu. Padahal nilai-nilai tersebut sangat diperlukan ketika bangsa ini menmghadapi berbagai krisis yang berpangkal pada krisis moral. Tantangan berat bangsa ini ke luar adalah menghapus citra sarang teroris dan ke dalam sebagai tempat berkecamuknya konflik antar anak bangsa sendiri yang telah menelan korban jiwa dan harta yang sangat besar. Dapatkah nilai-nilai sejarah (perjuangan bangsa) diberi makna baru untuk membangun Indonesia kini dan masa depan.

Menjadi ke – Indonesia- an
Sesungguhnya masa lampau dari penduduk di kepulauan ini telah memperlihatkan bukti-bukti sejarah yang merupakan faktor-faktor yang melandasi terbentuknya keindonesiaan. Sepanjang sejarah Indonesia menunjukkan faktor integratif dan disintegratif. Memang konsep kebangsaan dalam terminologi Indonesia baru muncul awal abad ke-20. Akan tetapi kerangka dan akar-akarnya dapat dilacak dalam abad-abad sebelumnya. Aspek-aspek geo-historis memperlihatkan kemungkinan bagi lahirnya bangsa Indonesia.
Meskipun Indonesia adalah konsep politik, tetapi ia bermakna historis-sosiologis. Tampak adanya proses-proses integratif dari bagian-bagian yang dahulu merupakan wilayah Hindia Belanda, kemudian menyatakan dirinya sebagai bangsa merdeka. Sekilas bahwa beraneka ragam budaya yang digambarkan dari rekam jejak sejarah masa lalu menjelaskan bahwa proses transformasi budaya barat yang dibawa oleh para pedagang dengan para ulama mampu memberikan warna budaya yang beraneka ragam. Budaya barat yang didefinisikan dengan modernitas, sedangkan budaya lokal sebagai budaya tradisional dan bersifat lentur, mengakibatkan pada dialog-dialog yang lentur dengan penuh kekeluargaan dan tidak kaku ternyata mampu mengembangkan budaya barat dan lokal yang bertransformasi pada budaya baru hasil dari proses dialog tersebut. Hal ini terus berkembang ketika pada pedagang dari Cina dan India dengan membawa agama Budha dan Hindu. Proses modernitas dari dialog dua budaya besar ini kemudian berkembang pesat yang menyebabkan menjadi sorotan dari negeri-negeri lain di belahan dunia, muncul raksasa nusantara seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit membuktikan bahwa kontruksi nusantara yang dicoba diintegrasikan mampu membawa nama harum nusantara dengan segala kelebihannya mampu mengundang negara barat untuk datang tidak terkecuali Islam pun yang dibawa oleh pedagang Gujarat dan Persia. Transfromasi dua budaya besar ini kemudian berlangsung secara lentur dan mampu melakukan dialog secara damai yang menghasilkan transformasi budaya yang memiliki budaya luhur/adiluhung. Bentuk transformasi yang sangat terasa dan kental sekali adalah tradisi budaya Islam dengan aktor “wali songo” mampu menyebarkan ajaran budaya Islam dengan cepat dan diterima ditengah-tengah tradisi budaya Hindu dan Budha yang masih melekat. Walaupun jejak sejarah ini hanya tersentral pada Jawa, namun diluar jawa seperti Gowa, Ternate, sampai Atjeh yang kemudian dikenal dengan kerajaan Samudra Pasai sebagai representasi budaya Islam yang berkembang secara pesat. Kemunculan kerajaan-kerajaan Islam ini kemudian menjadi tolak ukur atas transformasi budaya yang dihasilkan dari proses dialog, negosiasi antara budaya lokal dan luar. Ditambah lagi dengan kekayaan nusantara sebagai penghasil rempah-rempah (yang pada waktu itu banyak dicari orang) membuat nusantara menjadi sorotan para saudagar luar. Sementara menguatnya tradisi Islam di nusantara, datanglah pedagang Portugis, Spanyol dan kemudian Belanda dengan membawa berbagai budaya Barat. Kedatangan Barat diawali dengan proses ketegangan-ketegangan antara budaya lokal dan pendatang. Ketegangan ini kemudian memunculkan berbagai reaksi dengan melakukan penolakan-penolakan, alhasil proses dominasi dan terdominasi terjadi. Wilayah yang lemah akan jatuh dalam genggaman kolonial, akan tetapi bagi wilayah yang mampu mempertahankan batas wilayahnya menjadi bangsa yang berdaulat.
Proses ketegangan yang memuncak kemudian memunculkan perlawanan dari kelompok menengah/priyayi/bangsawan seperti Pangeran Diponegoro di Jawa, Tuanku Imam Bonjol di Padang, Pattimura di Makasar, Tengku Umar di Atjeh dan lain-lain. Akan tetapi upaya perlawanan ini tidak mengoyahkan Kolonial untuk melakukan terobosan politiknya untuk mempengaruhi pribumi dalam hal ini adalah priyayi dan kaum bangsawan seperti kerjasama (bangsawan dijadikan alat birokrasinya untuk menjangkau rakyat). Berbeda ketika kedatangan saudagar Belanda dengan VOC nya yang membawa armada perang dengan peralatan yang canggih (pada waktu itu), artinya bahwa proses transformasi dua budaya besar ini mempunyai kecenderungan dengan kekerasan, yang berakibat pada terjadinya disintegrasi antara budaya-budaya yang pernah dibangun dengan tatanan budaya sebelumnya. Pergeseran budaya yang sudah terbangun ini, kemudian berantakan ketika kedatangan penjajahan Hindia Belanda. Terjadinya transformasi budaya yang cenderung dipaksakan ini kemudian membuat tatanan budaya lokal dan tatanan sosial menjadi terganggu. Ketika proses transformasi budaya lokal dengan penjajah terus berlangsung dan tidak berjalan secara mulus seperti transfromasi budaya cina, india dan islam, maka dengan membawa konsep dan proyek modernitas (kapitalisasi) mencoba untuk terus melakukan metode yang mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Proses ketegangan-ketegangan yang berlangsung terus menerus ini kemudian agak sedikit terselesaikan ketika pemerintahan Belanda menerapak kebijakan Politik etis, artinya kelompok-kelompok menengah ini bisa mengenyam dunia pendidikan (budaya barat), alhasil adalah munculnya golongan –golongan menengah yang mencoba untuk mengkontruksikan tatanan ke Indonesia-an menjadi bangsa yang terbebaskan dan mandiri. Menurut Anderson dalam “imaginated community” bahwa kelompok muda menjadi inti dari perjuangan kebangkitan nasional dari proses penjajahan Kolonial. Kelompok-kelompok muda/borjuasi/priyayi yang pernah merasakan pendidikan ala Barat mampu membangkitkan kesadaran rakyat untuk berdaulat dan sekaligus mandiri melalui sistem pendidikan ataupun perkumpulan-perkumpulan seperti Boedi Oetomo 1905, ISDV, dan kemudian munculnya gerakan sumpah pemuda pada 1928 dan seterusnya. Kalaupun ditelisik, bahwa peranan Jong-jong tersebut dalam mengintegrasikan dalam sebuah konsolidasi nasional dengan menyatakan bahwa perlunya integrasi secara nasional sebagai negara bekas kolonial Belanda. Karena adanya persamaan tersebut maka mau tidak mau bahwa negara bangsa menjadi keniscayaan pada waktu itu. Sampai pada era kemerdekaanpun, peranan pemuda ( klas borjuasi nasional) mampu memberikan kesadaran dan juga membangkitkan nusantara ini untuk menjadi bangsa sendiri yang mandiri dan berdaulat. Tepat 17 Agustus 1945 Indonesia menjadi sebuah bangsa yang diakui oleh dunia. Jadi keindonesiaan adalah proses yang diperjuangkan, baik ketika dalam penjajahan dulu dan ketika di alam merdeka sekarang. Semangat dan nilai para pejuang bangsa dapat dilihat melalui bukti-bukti sejarah yang disebut sebagai simpul-simpul ingatan kolektif bangsa. Konsekuensi dari perlawanan, mereka dibuang atau diasingkan dan banyak yang hingga akhir hayatnya.

Kelemahan Politik Borjuasi Indonesia
Sebelum membicarakan sejarah Indonesia yang luar biasa ini, pertama-tama adalah perlu untuk menjawab pertanyaan tentang peranan modal internasional, yakni imperialisme. Dengan begitu akan membimbing kita secara benar kepada permasalahan (diskusi tentang) sejarah Indonesia pasca-kolonial yang luar biasa tersebut. Proposisi yang hendak di kemukakan di atas adalah: negara Indonesia adalah instrumen dari kelas kapitalis Indonesia, yaitu persekutuan antara keluarga pasca 65 yang paling berpengaruh dengan modal internasional, yang menggunakan alat-alatnya dengan begitu kuasanya.
Menurut Frant Fanon dalam perjuangan antikolonialismenya mengusulkan gaya resistensi total yang radikal terhadap serangan politis dan kultural total dari misi pengadaban kolonial. Fanon diakhir manifesto revolusionernya dalam The Wretched of the Earth mengatakan, “Kebebasan total adalah kebebasan yang memperhatikan seluruh aspek kepribadian”. Prinsip yang mendasari proyek Fanon tentang “kebebasn total”, mensyaratkan tokoh yang diperbudak dari si terjajah untuk menolak hak pengakuan istimewa terhadap si ‘tuan” kolonial. Fanon dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa negara-negara terjajah harus berusaha menciptakan manusia seutuhnya, manusia yang sudah tidak mampu diiciptakan oleh Eropa.
Fanon menulis kembali narasi modernitas Barat untuk memasukkan tokoh-tokoh dari para korbannya yang terapresiasi dan terpinggirkan. Dalam versi yang sudah direvisi ini, industrialisasi menceritakan kisah tentang eksploitasi ekonomis, demokrasi yang dipecah oleh suara-suara protes pemilik hak pilih, teknologi yang dikombinasikan dengan perang, dan sejarah pengobatan yang oleh Fanon dilekatkan terus-menerus pada teknik penyisaan.
Fanon mengedepankan kapasitas nasional untuk menyaring pengalaman dominasi yang terbagi. Fanon berkata, nasionalisme merespon kekerasan kolonialisme dengan memperbesar solidaritas vertical antara kaum tani, pekerja, pemilik modal, pemilik tanah feodal dan kaum borjuis. Dalam The Wretched of the earth, Fanon mengemukakan nasionalisme dalam kapasitasnya untuk menghilangkan luka-luka sejarah yang dibebankan oleh struktur “Manichean” budaya kolonial yang membatasi bangsa terjajah ke dalam eksistensi manusia yang hampir tidak ada atau terbatas.
Dengan demikian tugas seorang nasionalis dalam pandangan Fanon dalam rehabilitasi kultural menjadi sangat penting. Dalam kerangka yang lebih luas, tuntutan atas solidaritas yang lebih besar dan lebih ekspansif menjadi sangat mendesak dibandingkan solidaritas budaya nasional. Hal itu dilakukan karena kesadaran nasional seharusnya membuka jalan bagi timbulnya komunitas global yang tercerahkan secara politis maupun etis.

Terputus Dari Imperialisme
Tetapi, apakah hakekat dari persekutuan dengan modal internasional ? Richard Tanter, dalam makalahnya yang dipersembahkan pada Universitas Monash, dengan tepat mengidentifikasi dua hal penting yang berkaitan dengan hubungan ekonomi: "ketergantungan" pada ekspor minyak (dan gas) dan pinjaman IGGI. Dengan menggunakan konsep "negara rentenir (rentier state)", Tanter menjadikan "negara" sebagai sesuatu yang tergantung. Tapi, dalam hal ini, lagi-lagi kita harus lebih rinci: siapa atau apa yang tergantung? Juga kepada siapa atau untuk apa ?"
Aku akan jelaskan dengan cara begini : ekonomi Indonesia sangat tergantung pada kesinambungan ekspor minyak dan gas bumi (dahulu karet dan gula) dalam jumlah besar (juga ekspor kayu dan tekstilnya), demi pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sangat tergantung pada sejumlah besar pinjaman luar negeri. Bila ekspor tersebut jatuh pada tingkatan tertentu, maka peluang investasi akan mengecil/merosot. Sehingga, keuntungan investasi yang ada pun akan cenderung merosot, kecuali jika biaya investasi tersebut juga menurun (dapat dikurangi). Dalam keadaan demikian, tentu saja sangat berat bagi para keluarga tersebut untuk mengeduk keuntungan yang sama dengan masa sebelumnya. Sehingga kemudian akan timbul tekanan bagi patron politik untuk menyalurkan uang demi mensubsidi keuntungan tambahan. Inilah problem sosial yang diakibatkan oleh terlalu jatuhnya tingkat ekspor dan pinjaman luar negeri, atau kenaikannya yang tidak terlalu tinggi. Sejalan dengan itu, timbul kebutuhan untuk mengendalikan ketegangan politik yang terkandung di kalangan kelas buruh dan tani, sebagaimana juga terkandung di kalangan kelas menengah dan pengusaha non-keluarga.
Dominasi imperialisme terhadap Indonesia merupakan sesuatu yang sangat umum, atau berada pada tingkat makro. Ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang tergantung demi pertumbuhannya kepada ekspor komoditi tunggal (energi) karena Indonesia adalah bagian dari sistem kapitalis dunia, yang pasarnya untuk komoditi-komoditi lain pada hakekatnya telah dikuasai oleh negeri-negeri industri besar. Namun, melalui kebijakan ekonomi IGGI (sekarang CGI), pasar bagi Indonesia dengan sendirinya dimonitor agar dapat dijamin ruangnya. Oleh karena itu. Indonesia memang pro-Barat, akan tetapi kebijakan pro-Barat-nya mengikuti alurnya sendiri. Indonesia mengarah ke pembangunan kapitalis, di ruang yang tersedia baginya, akan tetapi sedapat mungkin akan memperluas ruangnya, sekecil apapun. Bahkan secara budaya, Indonesia tidaklah seperti Filipina ataupun Amerika Latin, yang dipengaruhi kebudayaan Imperialis Amerika. Rezim Indonesia berusaha mengembangkan kebudayaan elitis, kosmopolitanisme ala Indonesia, ketimbang kebudayaan elit ala Amerika, Jepang, ataupun Belanda.
Mengapa kelas kapitalis yang kecil dan baru, dalam ekonominya yang belum dalam taraf industrialisasi maju, justru sanggup berdiri bebas (independen) dari negeri-negeri imperialis dalam mengejar berbagai kepentingannya sendiri yang pro-Barat, pro kepentingan kapitalis ? (Misalnya dalam isu pangkalan perang, Vietnam, penunjukan duta besar, sektor-sektor ekonomi yang terbuka bagi modal asing, dan lain sebagai nya). Karena Indonesia, sebagai negeri bekas jajahan/kolonial, memiliki sejarah yang luar biasa yang bertolak dari pernyataan umum: revolusi nasional telah memberikan kemerdekaan politik, tapi tidak kemerdekaan ekonomi. Ini-lah proposisi utama bagi semua negeri neo-kolonial. Dalam kasus ini, kurangnya kemerdekaan ekonomi ini-lah yang dapat menjelaskan kesinambungan kekuasaan politik imperialis dalam berbagai bentuk dan cara --atau paling tidak selama dekade 70-an, awal dekade 80-an, sebelum resesi sempat menggoyahkan negeri-negeri Dunia Ketiga.
Indonesia telah dan merupakan subyek dari kungkungan kekuasaan ekonomi imperialis pada tingkat umum atau makro. Dalam konteks historis: Indonesia yang ditinggalkan oleh penjajah/kolonial Belanda (dan pendudukan Jepang), merupakan Indonesia yang terbelakang dan belum terindustrialisasikan, serta tidak sanggup bersaing dengan negeri-negeri kapitalis besar. Ekonominya hanya sanggup berkembang di sekitar ruang yang telah dimiliki sebelumnya. Imperialisme tidak mencampurinya secara langsung, akan tetapi memanfaatkan keterbelakangan ekonominya.

Karena adanya campur tangan imperialis-lah, sejarah Indonesia memiliki aspek yang luar biasa. Perang Dunia II menghancurkan arti penting posisi Belanda sebagai negeri imperialis. Jepang tidak hanya menduduki Indonesia, tetapi juga menghancurkan basis modal (ekonomi) dan hegemoni (politik) Belanda, terlebih-lebih negeri Belanda sendiri diduduki Jerman dan dijadikan ajang peperangan. Belanda tidak bisa memulihkan martabat politiknya di Indonesia, walaupun ia turut serta dalam peperangan melawan Jepang. Walhasil, walaupun Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, dan kehadiran sebagian kepentingan ekonomi Belanda bisa dipulihkan, namun tidak terdapat dominasi mutlak ekonomi neo-kolonial Belanda terhadap Indonesia. Apalagi pada tahun 1957-1958, kehadiran ekonomi Belanda mutlak lenyap.
Di samping itu tidak ada kelas kapitalis asing yang secara ekonomi dan politik, dominan. Indonesia tidak lain merupakan bagian yang dikuasai dan diperas oleh sistem imperialis, sebagaimana juga negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya. Akan tetapi imperialis tidak mempunyai agen --apakah itu boneka atau pun sekutu— yang efektif di negeri ini. Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa memang benar kelas kapitalis dan pemilik tanah-lah yang berkuasa. Mereka bisa berkuasa melalui partai-partainya --Masyumi, NU, PNI dan lain sebagainya. Uang dan kekuasaan partai-partai ini selalu saja pada akhirnya, berasal dari kelas-kelas yang berpunya, walaupun mereka mengakui butuh dukungan rakyat, yang dipenuhi dengan konsesi nyata atau retorika. Kekuasaan mereka sebenarnya amatlah lemah. Tidak cukup mufakat yang mereka hasilkan mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan. Juga terdapat persaingan mengenai fraksi mana yang akan memimpin. Pemerintahan jatuh bangun. Walaupun pada dekade 50-an ada kemajuan di bidang ekonomi, tapi sangat lambat. Dan yang terpenting, proyek politik kelas borjuis yang mencoba berkuasa ini --berupa konsolidasi kekuasaan demokrasi borjuis-- mengalami kegagalan. Ketimbang pertanyaan Hary J. Benda, aku pikir pertanyaan Feith mengenai mengapa demokrasi konstitusional gagal, adalah benar-benar sepenuhnya absah. Mengapa? Karena hal tersebut merupakan proyek politik yang sangat penting bagi kelas yang berkuasa pada waktu itu --jadi, tentu saja, sangat penting untuk memahami mengapa mereka gagal.
Dengan kelas kapitalisnya yang kurus kering, --yang disengsarakan oleh Perang Dunia-- dan ekonominya yang belum terindustrialisasi, serta tidak hadirnya kelompok ekonomi asing yang memiliki boneka atau sekutu lokal, maka tidak mengherankan bila mereka gagal. Pertanyaan pokoknya: penyebabnya tidak lain adalah kelemahan politik dan kecilnya borjuis serta tuan tanah Indonesia, atau lebih tepatnya, itulah hakekat sebenarnya dari kelemahan mereka.
Di dalam dan di antara mereka sendiri, berbagai kelas tersebut tentu saja terpecah-belah. Sangat jelas tercermin dari banyaknya jumlah partai yang mengemban kepentingan kelas kapitalis dan tuan tanah Indonesia: Masyumi, NU, PSII, PNI, dalam banyak hal, dan bahkan PSI. Pemilahan tersebut mencerminkan fakta bahwa kelas kapitalis Indonesia secara mendasar masih berbasis kedaerahan. Kebijakan Belanda dahulu menyebabkan pasar nasional dikuasai hampir sepenuhnya oleh modal Belanda dan Cina. Sebagian besar pengusaha pribumi hanyalah melayani pasar regional atau mengekspor dari daerah masing-masing. Sebagai akibat tatanan politik semacam itu, mereka menjadi semakin terseret atau terlibat ke dalam berbagai pandangan yang mencerminkan dominasi keagamaan, budaya dan ideologi masing-masing daerah. Partai-partai tersebut, walaupun berusaha untuk menjadi dan bermakna pada tingkat nasional, namun tetap saja pada dasarnya merupakan partai yang berbasis kedaerahan. Oleh karena itu kelas penguasa terpecah-pecah ke dalam batas-batas kedaerahan, etnik, keagamaan dan budaya.

Kelemahan Ideologi: Warisan Kerakyatan
Tapi ada kelemahan yang lebih penting. Kecilnya pasar dalam negeri, tentu saja mencerminkan status ekonomi kolonial yang terlalu mengutamakan layanan pada modal Belanda yang berorientasi pada pasar ekspor. Kapitalisme masuk ke Hindia Belanda tidak melalui revolusi borjuis, tetapi melalui kolonialisme. Hubungan-hubungan sosial feodal dan pra-borjuis tidak sepenuhnya "hancur lumat (remuk redam)" dengan adanya ledakan kemampuan teknologi dan tenaga produktif (productive forces) yang memerlukan hubungan-hubungan sosial yang baru. Jadi ideologi dan cara berpikir feodal juga tidak dihancur-lumatkan oleh ledakan gagasan-gagasan borjuis baru. Di Indonesia, feodalisme sedikit demi sedikit dikikis oleh menipulasi kolonial, demi kepentingan imperialis. Ideologi dominan yang hidup di setiap tingkatan masyarakat Indonesia pada umumnya berwatak pra-borjuis. (Buku roman Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer pada intinya menganalisa bagaimana ideologi pra-borjuis tersebut mendapatkan tantangan dari borjuis nasional, dan tantangan tersebut gagal).
Gambaran mendasar dan esensial ideologi yang diterima oleh semua partai terkemuka tersebut adalah panggilan keagamaan mereka, yang merupakan bentuk yang biasanya terdapat pada ideologi feodal. Tentu saja, gagasan-gagasan borjuis, yakni "modernisme," selalu harus bertarung untuk memperoleh tempat di antara ideologi-ideologi tersebut. Akan tetapi, untuk tujuan menegakkan suatu "demokrasi konstitusional" yang stabil, ideologi-ideologi yang ada pada waktu itu tidaklah memadai. Panggilan keagamaan, yakni pengutamaan pada keyakinan dan kepercayaan (ketimbang pada akal dan ilmu), pengutamaan pada segala yang kolektif (ketimbang pada individu), pengutamaan pada kepemimpinan kolektif-organik (ketimbang pada "perwakilan profesional"), semuanya akan menghadang usaha hegemoni Gramscian (yang berusaha memekarkan dan meranumkan ideologi borjuis).
Keadaan buruk masih saja menghadang kelas kapitalis Indonesia yang baru lahir tersebut, termasuk menghadang para pengagum nilai-nilai demokrasi borjuis (seperti PSI, Hatta), karena sementara itu kaum nasionalis juga berjuang dengan menggunakan ideologi pra-borjuis untuk menghimpun kekuatan, dan pada saat yang sama menyebarkan gagasan-gagasan demokrasi kerakyatan dan keadilan sosial. Konsep Marhaen-nya Soekarno cocok dengan (memperoleh tanggapan dari) kesadaran yang benar-benar ada dan hidup pada saat itu rasa kebersamaan beserta kepemimpinan organiknya; hubungan patron-klien yang meluas dapat digunakan untuk menghimpun kekuatan.
Aku sepenuhnya yakin bahwa tradisi pergerakan nasional adalah radikalisasi (sedemikian rupa) hegemoni ideologi pra-borjuis, sehingga sanggup memojokkan kekuatan borjuis, dan juga menguntungkan kaum kiri. Hal tersebut bisa terjadi karena kepemimpinan politik --baik yang revolusioner atau pun yang patron-- telah berhasil mengangkat gagasan "klien kolektif (kebersamaan-persaudaraan) sebagai dasar kejayaan Marhaen dan Rakyat. (Dan tentu saja, berbagai keterbelakangan jenis-jenis feodal juga menghendaki masuknya agama ke dalam parlemen). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa salah satu konsep yang pertama-tama diperkenalkan oleh Orde Baru adalah "massa mengambang". Seringkali kita mengkritik konsep tersebut sebagai bagian dari otoritarianisme Orde Baru. Tapi pada kenyataannya, konsep tersebut hanyalah merupakan suatu pernyataan terbuka tentang kunci untuk memapankan demokrasi borjuis. Di Indonesia disebut "massa mengambang"; di Barat. Konsep
tersebut merupakan prasangka untuk menentang apa yang mereka sebut sebagai "sarang-sarang tikus," "ekstrimis," "penghasut," dan "kesenangan berpamer-pamer." Gagasan bahwa massa sebagai penentu melalui kotak-kotak suara pemilu, yang sebenarnya tidak berbeda dengan "massa mengambang," tidak lain merupakan hakekat demokrasi borjuis. Hanya di Indonesia, konsep tersebut dengan brutal dipaksakan karena, sederhana saja, konsep tersebut bukan bagian dari hegemoni ideologi.

Kapitalis Bersenjata
Pengambilalihan perusahaan-perusahaan tersebut oleh tentara juga dianggap sebagai kekalahan partai-partai konservatif, dan dalam beberapa hal, kekalahan organisasi-organisasi politik klas borjuis dan klas pemilik tanah Indonesia. Partai-partai tradisional kehilangan inisiatifnya dalam menghadapi Angkatan Bersenjata dan Soekarno. Terlebih-lebih, ruangan telah terbuka bagi perluasan kapitalis ber-senjata karena mereka kini telah menguasai perusa-haan-perusahaan bekas milik Belanda. Dalam hal ini, pertanyaan yang harus diajukan adalah: apakah pada masa kini tentara sesungguhnya sedang mempraktekan kebebasan relatif mereka terhadap kelas yang dominan secara ekonomi? Aku pikir, dalam hal ini terdapat dua faktor yang harus diteliti. Pertama, pada akhirnya, kelas borjuis Indonesia beserta para penghisap di pedesaan, yaitu para pemil-ik tanah dan birokrat, tergantung kepada tentara untuk menentang dirinya dalam menghadapi revolusi. Kelas dominan tersebut terlalu lemah ketika menghadapi oposisi revolusioner.
Kedua, Angkatan Bersenjata Indonesia sesungguhnya diciptakan oleh revolusi nasional, gerakan yang melibatkan multi-kelas. Hal ini tidak saja tercermin dari komposisi dalam tubuh Angkatan Bersenjata, akan tetapi, yang terpenting, kurangnya identitasnya terhadap salah satu kelas di Indonesia.
Ketiga, dengan menggunakan senjatanya, banyak sekali seksi-seksi di ketentaraan yang telah aktif sebagai kapitalis. Kita tahu dengan jelas bahwa panglima-panglima daerah banyak yang melibatkan dirinya dalam penyelundupan dan/atau bekerja sama dengan pengusaha setempat.
Kemenangan tentara dalam mengambilalih perus-ahaan-perusahaan Belanda, yang tadinya dikuasai oleh buruh, mengandung dua aspek penting. Pertama, mencip-takan ketergantungan politik borjuis sipil kepada tentara, yang setuju dengan keterlibatan tentara dalam menghadapi gerakan kiri. Dengan demikian memberikan peluang bagi Angkatan Bersenjata untuk mela-kukan serangan politik yang luas. Kedua, melapangkan jalan bagi fraksi kapitalis bersenjata dalam bekerja sama dengan borjuis pribumi yang telah ada, yang lemah secara politik dan tidak bersenjata. Dengan kata lain, lebih mempercepat proses keterlibatan komersial perwira-perwira tentara. Di dalam kelas kapitalis itu sendiri sudah lama terdapat pertantangan historis, yang tumbuh akibat kelemahan politik borjuis lama ketika menghadapi gerakan revolusioner. Pertentangan tersebut adalah antara kapitalis yang BERSENJATA dengan yang TIDAK BERSENJATA.
Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa tindakan pengambilalihan perusahaan-perusahaaan Belanda oleh tentara sesungguhnya mewakili kepentingan umum kelas yang berpunya di Indonesia. Bayangkan bila kelas buruh dan tanilah yang menguasai seluruh sektor perekonomian modern Indonesia? Pertentangan akhirnya dapat diselesaikan, dengan kemenangan mereka yang paling dominan dalam kontra-revolusi 1965-1966, walaupun pertentangan di antara kelas penguasa Indonesia untuk selanjutnya berputar di sekitar sumbu itu-itu juga: misalnya MALARI atau PETISI 50. Akan tetapi, karena pertentan-gan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Kapitalis Bersenjata, kapitalis Indonesia tetap saja tidak dapat diatasi. Penghancuran fisik gerakan revolusioner hanyalah satu-satunya jalan untuk memperoleh keunggulan politik oleh karena mereka tidak mampu mengalahkannya di bidang ideologi. Oleh karena itu ada kebutuhan untuk selalu mengintip setiap kebangkitan gerakan yang berbau kerakyatan atau kiri).
Pada akhir dekade 50-an, berlangsung dua proses. Pertama, tumbuhnya kelompok kapitalis bersenjata, yang barisannya adalah Soeharto. (Yang aku maksud adalah dilihat sebagai gejala sosiologis, bukan sebagai kelompok politik yang terorganisasi). Aku menyebut Soeharto, karena kelompoknyalah, sepanjang yang aku temukan, yang pertama-tama memiliki bank dan perusahaan ekspor-impor sendiri, serta yang menjalin kontak-kontak luar negerinya sendiri, seperti dengan Malaysia. Kedua, semakin kuat kepemimpinan politik kelas borjuis yang lemah dan terpecah belah. Nasution dan lain-lainnya mulai mengklaim KEPEMIMPINAN POLITIK atas negeri ini. Perwira tentara seperti Nasution tidak lah bermaksud "membuat negeri mandiri", akan tetapi ingin diterima sebagai pemimpin politik oleh kekuatan-kekuatan sosial sejenis yang didukung oleh partai-partai konservatif unggulan. Oleh karena itu, di masa Orde Baru, ia lebih dekat hubungannya dengan para kapitalis yang berasal dari kerabat dekat (konco-konco) pelaku-pelaku utama kontra-revolusi 1965-1966. Pada masa itu, hal terse-but menciptakan tekanan kepada Angkatan Bersenjata agar mewakili kepentingan kekuatan-kekuatan tradisi konservatif. Semua itu artinya, anti-partai tapi pro kapitalis, atau kebijakan-kebijakan pro-Barat: kebi-jakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan kelom-pok-kelompok pengusaha yang ada, tapi menentang wakil-wakil politik tradisional mereka dalam merebut kekuasaan.
Tapi Angkatan Bersenjata berada dalam posisi yang tidak mampu berjuang sendiri dalam menghadapi oposisi Kiri, bahkan bila seandainya pun mereka dikalahkkan dalam aksi pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. Mereka bersaing dengan kepemimpi-nan tradisional konservatif, yakni partai-partai yang terpecah belah dan tak berkemampuan. Yang jelas, mereka juga tidak dapat bersekutu dengan gerakan buruh-tani. Bagaimana pun juga, kebutuhan mendesak kampanye mereka dalam menentang partai-partai, membawa mereka masuk ke dalam persekutuan dengan Soekarno.

Konsep Nasionalisme Perlu Ditinjau Ulang
Sejarah mencatat bahwa reformasi 98 telah menyisakan berbagai sejarah hitam politik, ekonomi bangsa yang belum selesai menentukan arahnya. Pondasi yang dibangun oleh Orde baru selama 32 tahun akhirnya hancur dengan begitu cepatnya akibat dari pengaruh kebijakannya. Kita seolah-olah membuka memori tentang tragedi 98, yang identik dengan kerusuhan rasialis (etnis Cina) sebagai buah atas kedekatannya dengan Soeharto. Kedekatan ini kemudian menyisakan catatan hitam bahwa etnis Cina yang selama ini dekat dengan kekuasaan akhirnya mendapat tudingan dari berbagai pihak atas pelayanan yang diberikan oleh Orde baru. Apa yang berikan etnis Cina untuk membantu dalam konteks pembangunan ternyata di terima pada hal yang berbeda, dalam satu sisi bahwa Orde Baru memberikan hak untuk mendukung dengan melakukan investasi pembangunan (ekonomi) tetapi dalam aspek politik ada pelarangan tradisi cina (tidak ada pengakuan agama Tionghoa). Peristiwa ini berbeda pada situasi etnis Cina di Yogjakarta, dimana kehidupan dengan pribumi selalu damai dan tidak terjadi kerusuhan rasialis. kemudian buah dari gerakan 98 adalah semakin terbukanya ruang-ruang demokrasi yang selama ini tertutup, artinya saluran demokrasi dibuka secara luas. Akan tetapi terbukanya ruang demokrasi tersebut, justru membuat arah perubahan menjadi tidak terkontrol. Konflik rasialis begitu kuatnya pasca 98- konflik sampit, Poso, Papua, sampai pada Atjeh dan lain-lain yang dikarenakan sekat-sekat politik buntu sebagai akibat dari politik kekerasan Orde Baru. Akibatnya adalah munculnya gerakan pembebasan sebuah bangsa- negara bangsa. Indonesia yang dikontruksikan oleh borjuasi nasional secara terpaksa, justru berdampak pada apa yang terjadi saat menjadi fakta empirik yaitu munculnya gerakan pembebasan. Menguatnya pembebasan Atjeh dan Papua dalam paruh tahun 2002 merupakan contoh dari kebijakan politik Orde Baru yang terus mengekspotasi wilayah tersebut tanpa memberikan kompensasi yang seimbang. Gerakan ini kemudian menyulut daerah lain untuk melakukan pembebasan walaupun dalam konteks historis sangat berbeda seperti Riau, dan lain sebagainya. Ditengah-tengah maraknya gerakan tersebut, pemerintahan ini justru sedang menata/transisi menuju konsepsi ke-indonesia-an ala demokrasi liberal. Yah, konsepsi Otonomi daerah menjadi satu bagian untuk mengatasi berbagai ketimpangan yang selama ini menjadi batu sandungan pembangunan. Proses negosiasi dan dialog atas ketegangan-ketegangan yang dimunculkan sebagai akibat dari politik Orde Baru justru dapat di selesaikan dengan jalan mengedepankan dialog perdamaian atas konflik rakyat Atjeh dan Papua, dengan memberikan otonomi secara khusus.
Seiring dengan perkembangan demokrasi liberal, dampak negatif pelaksanaan UU tentang Otonomi Daerah berupa sikap eksklusifisme kedaerahan yang melahirkan kecendrungan persaingan tidak sehat antarkabupaten dan provinsi menjadi ancaman integrasi bangsa. Kecenderungan antarkabupaten yang tajam dilatarbelakangi motivasi mengejar pertumbuhan ekonomi guna mewujudkan kemandirian daerah. Dalam konteks ini tepat membicarakan nasionalisme dengan tafsir dan makna baru. Konsep nasionalisme harus dapat menjelaskan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang. Bangsa menurut pengertian Benedict Anderson adalah sebuah komunitas yang dibayangkan . Ia mengatakan:
bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun toh dibenak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Anderson, terj. 2001:8).
Bayangkan bagaimana konsep nasion atau bangsa itu dapat diterapkan untuk penduduk yang tersebar di kepulauan yang banyak seperti Indonesia. Pengertian nasionalisme memang tidak mudah diterangkan karena menurut Brown, ia berkaitan dengan dua penjelasan yakni sebagai kategori praktik dan analisis. Brown mengemukakan tiga konsep tentang nasionalisme. Pertama mengenai ideologi, kesetiaan emosional (emotional loyalty), dan kepentingan (interest) Ketiga spektrum itu memiliki kecenderungan kuat saling tarik menarik dari sudut orientasinya masing-masing. Ketiganya dapat dijelaskan melalui 3 pendekatan: kontruktivis, primordialis, dan situasionalis.
Dalam pendekatan konstruktivis, nasionalisme merupakan ideologi yang bermuatan psikologis dan bernuansa mitos politis. Menurut pandangan ini, nasionalisme adalah identitas nasional yang dibangun dengan dasar kerangka institusional dan dirumuskan secara sederhana dan simplistis untuk mendiagnosa masalah-masalah kontemporer. Mungkin dapat diajukan contoh disini bahwa pernah muncul istilah Kebangkitan Nasional Kedua untuk memberi makna dalam peringatan setiap tanggal 20 Mei pada masa pemerinathan B.J. Habibie. Gejala seperti ini mungkin termasuk upaya disengaja untuk menguatkan nasionalisme Indonesia. Biasanya ungkapan-ungkapannya sloganistis.
Mungkin kita masih teringat dengan lepasnya Timor-Timur tahun 1999, batas wilayah terluar kita yang sempat menjadi polemik dengan Malaysia dan Singapura yaitu pulau Sipadan dan Ligitan yang berakhir pada lepasnya dari genggaman NKRI, dan belakangan ini adalah Malaysia kembali mempersoalkan P. Ambalat dan P. Sibetik. Sebagai seorang nasionalisme, persoalan ini menjadi ancaman. Sehingga memunculkan dan menumbuhkan sifat nasionalisme dan patriotisme dalam menjaga keutuhan bangsa negara. Sikap nasionalisme sempit yang ditanamkan Orde Baru ternyata menjadikan kesadaran sejati rakyat terilusi. NKRI menjadi harga mati adalah gambaran keberhasilan dari politik Orde Baru dalam melakukan kontruksi sebuah bangsa yang kemudian berakhir sangat rapuh.
Dalam pendekatan primordialis, nasionalisme dilandasi pada sebuah masyarakat organik dan alamiah. Cerminannya adalah kekuatan emosional yang etnosentrik, misalnya dengan mengatakan bahwa mereka atau bangsa itu merasa berasal dari nenek moyang yang sama (common ancestry). Demikian pula mitos yang berkembang mengenai asal-usul yang sama (myths of common origin). Jika tarikan ke nasionalisme konstruktif yang ideologis sifatnya psikologis dan mitos politis, maka tarikan ke primordialis bersifat instinktif. Pendekatan situasionalis menerankan bahwa identitas etnik dan identitas kebangsaan merupakan sumber daya yang diolah oleh kelompok individu dalam rangka memenuhi kepentingan bersama.
Dalam konteks perubahan yang melahirkan tantangan dan peluang, masyarakat memiliki sejumlah pilihan dan jawaban untuk mengatasi situasi permasalahan yang dihadapi. Pendekatan ini dapat menjelaskan maslaha-masalah yang ditimbulkan dari situasi-situasi ketimpangan ekonomi dan kekuasaan. Situasi itu dapat menimbulkan gerakan etnik dan nasionalis untuk mempertahankan identitasnya. Pendekatan primordialis dapat menerangkan mengapa nasionalisme diterjemahkan sebagai identitas yang kental atau padat. Sedangkan pendekatan situsionalis menerangkan bahwa nasionalisme sebagai suatu identitas yang cair. Ini dapat dimengerti karena pada sudut primordialis, nasionalisme diikat dengan kesetiaan emosional. Sedangkan pada sudut situsionalis pengertian nasionalis didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang bersifat situsional. Tarik-menarik antara sudut pandang konstruktivis dan situasionalis terlihat pada yang pertama bersifat ideologis (kepercayaan yang dianggap benar sehingga harus diperjuangkan) dengan sudut situsionalis didasarkan pada rasionalitas.
Munculnya gejala disintegrasi sosial dan disintegrasi nasional boleh jadi karena selama ini mampatnya aspirasi lokal atau daerah ke permukaan. Nasionalisme negara terlalu kuat menekan kepada nasionalisme yang bersifat primordialis yang pada prinsipnya memang hidup. Demikian pula nasionalisme negara kurang memperhatikan perkembangan di dalam masyarakat yang karena munculnya berbagai kepentingan tidak tertampung di dalam perwujudan nasionalisme negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar