Rabu, 12 Agustus 2009

Globalisasi vs Nasionalisme

Sekarang isu yang menarik adalah tentang globalisasi yang dipertentangkan dengan nasionalisme. Adakah globalisasi seperti yang dibayangkan oleh orang-orang yang begitu keras membela apa yang dinamakan globalisasi?
Hakikat globalisasi ialah mekanisme pasar yang diberlakukan untuk seluruh dunia tanpa mengenal batas-batas negara. Kita semua mengetahui bahwa mekanisme pasar dalam bentuknya yang paling awal mengandung ekses-ekses yang sangat tidak manusiawi.
Itulah sebabnya dalam perkembangannya mekanisme pasar bertahan karena dibuat manusiawi dengan menciptakan kekuatan-kekuatan pengimbang atau pembatas dalam bentuk sistem perpajakan progresif yang mewujudkan redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan. Juga diciptakan pengaturan tentang persaingan ekonomi yang sehat, sistem asuransi jaminan sosial, undang-undang tentang pembelaan usaha kecil dan menengah, undang-undang tentang perlindungan perburuhan, dan masih banyak lagi. Keseluruhan pembatasan, imbangan, dan koridor tersebut hanya bisa efektif kalau ada pemerintahan yang memaksakannya. Negara bangsa mempunyai pemerintahan yang efektif bagi bangsanya.
Tetapi adakah satu pemerintah yang berlaku bagi semua umat manusia di dunia? Jelas tidak ada. Maka globalisasi adalah mekanisme pasar tanpa imbangan, tanpa pembatasan, dan tanpa koridor. Yang terjadi ialah ekses berupa diisapnya bangsa-bangsa yang lebih lemah oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat. Yang berlaku adalah survival of the fittest.
Karena itu, globalisasi hanya ada dalam khayalan. Apakah bangsa Amerika Seri-kat, Uni Eopa, Jepang, dan China tidak nasionalistis? Apakah kemajuan mereka tidak didorong oleh semangat yang tidak mau kalah dengan bangsa lain, yang didorong oleh cinta pada bangsanya ketimbang mencintai bangsa lain asalkan tidak merugikan bangsa lain?
Dalam era menuju abad 21, ada sebuah pergeseran nasionalisme yang dirumuskan pada awal abad 20 dengan nasionalisme menyongsong abad 21. Pada nasionalisme abad 20 dilatarbelakangi oleh dua aspek. Pertama, gerakan nasionalisme muncul sebagai reaksi atas kolonialisme dan imperialisme barat. Kedua, paham nasionalisme muncul di tengah-tengah "perang dingin" antara blok kapitalisme dan komunisme yang saling mengintai.
Sementara perubahan global yang menyebabkan pergeseran nasionalisme abad 21 adalah, pertama, rontoknya sistem marxisme atau leninisme sebagai ideologi kenegaraan. Kedua, kebangkitan agama-agama sebagai fenomena yang menarik dicermati menyongsong abad 21.
Karena itu, diperlukan artikulasi nilai-nilai kebangsaan menyongsong abad 21 atau lebih tepat disebut redefinisi nasionalisme, termasuk dalam kaitan dengan kebangkitan agama-agama. Hal itu tentu saja merujuk kepada konsep nasionalisme para pendiri negara ini. Dalam konteks seperti itu, Pancasila muncul tidak hanya sebagai ideologi yang berciri anti kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme, tetapi juga sebagaimana yang dirumuskan Bung Karno sebagai "Hoggere Optrekking" (pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi).
Kita punya pijakan sejarah yang jauh lebih kuat. Seperti dikemukakan, CF Ernest Renan saat berpidato di Universitas Sorbone (1982). Katanya, apakah suatu bangsa itu? Pertanyaan itu dapat kita jawab dengan cepat karena kita memiliki pijakan kuat melalui dasar negara yang disebut Bhinneka Tunggal Ika.
Konseptor persatuan nusantara melalui Bhinneka Tunggal Ikan, Mpu Tantular, tak hanya telah meletakkan landasan politis bagaimana mengatasi pluralisme agama, tetapi sudah dikembangkan landasan teologi kerukunan yang jauh lebih mendasar dan memadai. Dalam konteks pergulatan bangsa di tengah-tengah problem kemajemukan, Pancasila telah teruji dan tampil sebagai ideologi yang paling cemerlang dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Meski problem kemajemukan kita jauh lebih kompleks.
Salah satu tantangan nasionalisme Indonesia sekarang ini, selain globalisasi yang mengaburkan batas-batas negara dengan mengedepankan kepentingan ekonomi, adalah bahaya fundamentalisme agama yang bias dan menjurus pada lahirnya terorisme. Karena itu, perlu ditegaskan arah kebangsaan kita dengan menarik tegas batas-batas kekuasaan negara dan kekuasaan agama sebagai wilayah "privat".

Konsep Nasionalisme Perlu Ditinjau Ulang
Dampak negatif pelaksanaan UU tentang Otonomi Daerah berupa sikap eksklusifisme kedaerahan yang melahirkan kecendrungan persaingan tidak sehat antarkabupaten dan provinsi menjadi ancaman integrasi bangsa. Kecenderungan antarkabupaten yang tajam dilatarbelakangi motivasi mengejar pertumbuhan ekonomi guna mewujudkan kemandirian daerah. Mengenai konflik kepentingan mengenai kepemilikan wilayah seperti terjadi antara Riau dan Jambi dalam memperebutkan Pulau Berhala. Dalam konteks ini tepat membicarakan nasionalisme dengan tafsir dan makna baru. Konsep nasionalisme harus dapat menjelaskan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang. Bangsa menurut pengertian Benedict Anderson adalah sebuah komunitas yang dibayangkan . Ia mengatakan:
bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun toh dibenak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Anderson, terj. 2001:8).
Bayangkan bagaimana konsep nasion atau bangsa itu dapat diterapkan untuk penduduk yang tersebar di kepulauan yang banyak seperti Indonesia. Pengertian nasionalisme memang tidak mudah diterangkan karena menurut Brown, ia berkaitan dengan dua penjelasan yakni sebagai kategori praktik dan analisis. Brown mengemukakan tiga konsep tentang nasionalisme. Pertama mengenai ideologi, kesetiaan emosional (emotional loyalty), dan kepentingan (interest) Ketiga spektrum itu memiliki kecenderungan kuat saling tarik menarik dari sudut orientasinya masing-masing. Ketiganya dapat dijelaskan melalui 3 pendekatan: kontruktivis, primordialis, dan situasionalis.
Dalam pendekatan konstruktivis, nasionalisme merupakan ideologi yang bermuatan psikologis dan bernuansa mitos politis. Menurut pandangan ini, nasionalisme adalah identitas nasional yang dibangun dengan dasar kerangka institusional dan dirumuskan secara sederhana dan simplistis untuk mendiagnosa masalah-masalah kontemporer. Mungkin dapat diajukan contoh disini bahwa pernah muncul istilah Kebangkitan Nasional Kedua untuk memberi makna dalam peringatan setiap tanggal 20 Mei pada masa pemerinathan B.J. Habibie. Gejala seperti ini mungkin termasuk upaya disengaja untuk menguatkan nasionalisme Indonesia. Biasanya ungkapan-ungkapannya sloganistis.
Dalam pendekatan primordialis, nasionalisme dilandasi pada sebuah masyarakat organik dan alamiah. Cerminannya adalah kekuatan emosional yang etnosentrik, misalnya dengan mengatakan bahwa mereka atau bangsa itu merasa berasal dari nenek moyang yang sama (common ancestry). Demikian pula mitos yang berkembang mengenai asal-usul yang sama (myths of common origin). Jika tarikan ke nasionalisme konstruktif yang ideologis sifatnya psikologis dan mitos politis, maka tarikan ke primordialis bersifat instinktif. Pendekatan situasionalis menerankan bahwa identitas etnik dan identitas kebangsaan merupakan sumber daya yang diolah oleh kelompok individu dalam rangka memenuhi kepentingan bersama.
Dalam konteks perubahan yang melaihrkan tantangan dan peluang, masyarakat memiliki sejumlah pilihan dan jawaban untuk mengatasi situasi permasalahan yang dihadapi. Pendekatan ini dapat menjelaskan maslaha-masalah yang ditimbulkan dari situasi-situasi ketimpangan ekonomi dan kekuasaan. Situasi itu dapat menimbulkan gerakan etnik dan nasionalis untuk mempertahankan identitasnya. Pendekatan primordialis dapat menerangkan mengapa nasionalisme diterjemahkan sebagai identitas yang kental atau padat. Sedangkan pendekatan situsionalis menerangkan bahwa nasionalisme sebagai suatu identitas yang cair. Ini dapat dimengerti karena pada sudut primordialis, nasionalisme diikat dengan kesetiaan emosional. Sedangkan pada sudut situsionalis pengertian nasionalis didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang bersifat situsional. Tarik-menarik antara sudut pandang konstruktivis dan situasionalis terlihat pada yang pertama bersifat ideologis (kepercayaan yang dianggap benar sehingga harus diperjuangkan) dengan sudut situsionalis didasarkan pada rasionalitas.
Munculnya gejala disintegrasi sosial dan disintegrasi nasional boleh jadi karena selama ini mampatnya aspirasi lokal atau daerah ke permukaan. Nasionalisme negara terlalu kuat menekan kepada nasionalisme yang bersifat primordialis yang pada prinsipnya memang hidup. Demikian pula nasionalisme negara kurang memperhatikan perkembangan di dalam masyarakat yang karena munculnya berbagai kepentingan tidak tertampung di dalam perwujudan nasionalisme negara.
Konflik yang bermuatan kesukubangsaan memang bukan monopoli di indonesia saja. Ketegangan itu lazim juga terjadi di Asia tenggara mulai dari yang permanen seperti di Burma (Myanmar) sampai yang ekspresinya tenang sepeerti di Singapura. Menurut Brown munculnya kesadaran kesukubangsaan dipengaruhi atau berkaitan dengan struktur kekuasaan. Ketidakadilan yang diperlihatkan oleh sebuah kekuasaan berakibat pada masyarakat sukubangsa yang merasa dirugikan atau didzalimi. Dalam konteks itu kesukubangsaan menjadi kendaraan untuk mengejar kepentingan-kepentingan baik dalam aspek ekonomi dan politik (Brown 1994:xi-xii).
Pelaksanaan UU otonomi daerah memberi peluang besar bagi daerah untuk mengelola potensinya untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi dua gejala yang mencolok kini: yaitu elite yang lebih mementingkan dirinya sendiri dan kedua terlalu kuatnya semangat kedaerahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar