Rabu, 19 Agustus 2009

Menggugat Pengkhianatan terhadap Proklamasi 1945, Pancasila dan UUD 1945

Harapan untuk merdeka dalam kesejatiannya memang masih sulit diwujudkan dalam tatanan kehidupan berbangsa selama ini. Bahkan peringatan Kemerdekaan dari tahun ke tahun hanya dijadikan aksesoris sejarah yang patut ditanggalkan nilai dan spirit perjuangannya. Kata merdeka hanya dijadikan makna simbolik terhadap terbebasnya dari hegemoni Kolonialisme dan imperalisme Belanda. Begitupun dalam peringatan kemerdekaan RI ke-64 dengan upacara seremonial yang terkesan cukup meriah.


Ditengah peringatan Kemerdekaan RI ke-64 justru bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang memprihatinkan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa 64 tahun merdeka negara bangsa-Indonesia masih dalam kungkungan penjajahan asing, bahkan makna penjajahan dalam abad globalisasi ini lebih mudah masuk dalam kehidupan rakyat karena dengan mudahnya elit politik dan aparat negara telah melegitimasinya dalam bentuk amandemen pondasi dasar UUD 1945. Konstitusi tersebut kemudian menjadi pintu masuk bagi kekuatan modal asing secara liberal tanpa mengindahkan kepentingan publik.


Beranjak dari persoalan amandemen UUD 1945 tanpa amanat rakyat telah berdampak pada rusaknya tatanan kehidupan bernegara. Bukti yuridisnya adalah timbul otonomi daerah tanpa kendali, terbentuknya lembaga ad hoc negara yang justru telah melampui wewenang lembaga negara yang sudah ada, sistem pemilu multipartai, pemisahan TNI-Polri sebagai aparat penjaga keamanan nasional dalam menghadapi ancaman terorisme/separatisme baik dari dalam maupun luar negeri yang sewaktu-waktu mengancam keutuhan NKRI, sistem demokrasi langsung yang mengarah pada kemandegan kehidupan bernegara yang akan memunculkan ego power lembaga negara (exsprit de corps) yang sudah pasti telah terjadi disintegrasi antar lembaga negara.


Dalam konteks yang lebih teknis, bahwa amandemen UUD 1945 justru telah menjadi pintu masuk bagi terciptanya liberalisasi secara konstitusional dalam segala bidang. Dalam ranah penguasaan dan peruntukan tanah melalui UU Perkebunan, UU Migas, UU PM, Perpres tanah, UU Air, UU Minerba, UU BI dan lain-lain memperlihatkan bahwa penguasaan dan peruntukan 40 juta Ha lebih dialokasikan untuk pertambangan, 32 juta Ha untuk kehutanan, 9 juta Ha lebih untuk perkebunan dan 95 juta hektar untuk migas yang penguasaannya hampir 90% oleh modal asing seperti Newmont, Freeport, Exxon, Total dll. Sementara untuk pertanian hanya 11,8 juta hektar. Bukan hanya soal penguasaan tanah akan tetapi kandungan di dalam tanahnyapun dalam bentuk emas, batubara, dan lain-lain dengan motivasi "keruk habis" untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional merupakan satu bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi UUD 1945 pasal 33.


Sementara, proses ketergantungan secara ekonomi yang termanifestasikan dalam bentuk Utang luar negeri dan sistem perdagangan (trade) dari tahun ketahun telah mengalami peningkatan yang massif. Dalam periode 2009 Utang Indonesia mengalami peningkatan sebesar 400 Miliar, sedangkan sistem perdagangan yang justru tidak memberikan proteksi terhadap industri nasional dengan adanya Free Trade Area. Bahkan dalam konteks konsumsi pangan nasional (beras, kedelai, garam, susu, daging dll), masih memiliki ketergantungan dari asing. Bahkan dalam ranah keuangan, dimana 65 % – 70 % bank investasi dan bank sentral nyapun juga dalam pengaruh modal asing. Kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa dalam Indonesia tidak memiliki kemandirian secara ekonomi, yang dari tahun ke tahun memiliki kecenderungan untuk mengkooptasikan kekayaan alamnya untukdi keruk habis oleh kekuatan modal asing demi memenuhi kebutuhan pasar.


Kemudian, dalam sistem politik nasional justru selama 64 tahun merdeka, kita masih memiliki ketergantungan secara politik terhadap asing, terutama dalam mengadopsi berbagai sistem ketatanegaraan maupun dalam sistem multipartai yang justru tidak sesuai dengan kultur dan budaya bangsa yang telah dicita-citakan bersama. Sistem Multipartai inilah yang menyebabkan ketiadaan satu sentimen bersama dalam menumbuhkan national interest dalam mewujudkan keadilan dan kemandirian.


Ironis, dalam usianya ke-64 tahun, sejatinya Indonesia sebagai negara bangsa sudah lepas landas dari keterbelakangan dan ketergantungan terhadap kekuatan modal asing sehingga mampu menjadi bangsa yang merdeka dalam kesejatiannya untuk mewujudkan kemandirian dalam bidang ekonomi. Hal ini diperparah dengan perilaku elit politik dan aparat negara yang menjadi antek-antek kekuatan modal asing untuk melakukan proses penjajahan gaya baru terhadap negeri sendiri. Bukti inilah yang kemudian menjadi satu acuan bahwa elit politik dan aparat negara telah melakukan satu pengkhianatan secara sistematis terhadap konstitusi UUD 1945 dan cita-cita bersama bangsa.


Generasi Penunggu

Sudah satu dasawarsa proses transisi demokrasi yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru, belum satupun lahir generasi yang memiliki dedikasi dan integritas nasional yang mumpuni. Menurut Pramudya ”..situasi revolusioner akan selalu melahirkan kepemimpinan yang kuat”, ternyata premis ini belum tepat ketika memotret situasi gerakan reformasi 1998 karena belum lahirnya kekuatan progresif yang mampu membawa rakyat keluar dari jeratan explotation d’lhome par lhome.


Memang, kita patut sadar khususnya generasi muda untuk membuka hati dan pikirannya terhadap carut-marutnya tatanan kehidupan berbangsa. Generasi penerus hanya menjadi katalis perubahan akan tetapi tidak menjadi satu instrumen yang berperan dan menjalankan secara konseptual dan integral terhadap agenda-agenda perubahan. Inilah yang menjadi dosa sejarah generasi penerus yang telah membiarkan satu keadaan bangsa terjerumus dalam kubangan liberalisasi pasar yang menghancurkan kehidupan rakyat.


Kekuatan muda baik yang berada diberbagai sektor belum mampu menjadi pendobrak dan pelopor perubahan, bahkan masuk dalam pusaran budaya hedonisme, individualisme sehingga lupa akan proses historically terbentuknya negara bangsa. Mereka tidak cukup untuk memberanikan diri mengambil inisiatif/terobosan atas kebuntuan sistem bernegara dan cenderung pasrah terhadap keadaan menjadi generasi penunggu ditengah dominasi arus utama yang menjadi corong kelompok liberal.


Kepasrahan ini tentunya tidak beralasan, karena kekuatan muda yang memiliki integritas, dedikasi dan idealisme dalam melakukan perubahan tiap waktu terus menipis. Tetapi ditengah dominasi kelompok oportunis dan pengkhianat pasti masih ada satu kekuatan murni yang mampu diajak untuk bersekutu menyelamatkan dan mengambil kekuasaan negara. Menyatunya kekuatan muda yang memiliki dedikasi, idealisme dan integritas terhadap perjuangan negara di berbagai bidang seperti birokrasi, intelektual, TNI dan Polri, Politikus, budayawan dan seniman, dan lain-lain merupakan satu taktik untuk melakukan lompatan sejarah untuk mendekontruksi dan merekontruksi tatanan kehidupan bernegara yang berlandaskan pada cita-cita bersama yakni Pancasila dan UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar