Rabu, 12 Agustus 2009

Nasionalisme

Benedict anderson dalam bukunya imagine community mencoba mendefenisikan bangsa sebagai sebuah imagined political community - - and imagined as both inherently limited and sovereign. Kata kuncinya adalah proses membayang (imagined) yang terjadi diantara anggota komunitas tersebut untuk merasa terhubung satu sama lain walaupun tidak pernah terjadi kontak secara fisik. Proses membayang inilah yang kemudian melahirkan sebuah sikap loyalitas dari setiap anggota kelompok tersebut kepada kelompoknya yang dikenal dengan nama nasionalisme. Sikap yang dalam catatan sejarah menjadi pendorong utama lahirnya nation-state diberbagai kawasan dunia. Tetapi mengapa kita harus dan merasa perlu untuk terus membayangkan diri kita sebagai bagian dari komunitas imajiner yang bernama bangsa itu?
Jika mengambil asumsi bahwa setiap manusia rasional adalah individualis dalam arti bahwa dalam pilihan tindakan yang akan diambilnya selalu berdasar pada profit taking, maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme yang membuat setiap penganutnya rela untuk mengorbankan nyawanya sekalipun untuk kepentingan bangsanya adalah sebuah pilihan tindakan yang irasional. Benarkah demikian? Ternyata pilihan-pilihan tindakan rasional manusia itu sendiri terbatas. Keterbatasan manusia akan informasi yang ada membuat manusia mengambil pilihan memaksimalkan informasinya yang terbatas dengan cara membuat kerjasama. Selain itu, emotional bounded yang dimilikinya memaksa dia untuk terus mencari bentuk-bentuk identitas yang membuatnya nyaman dan tidak dibatasi oleh berbagai keterbatasan manusia seperti umur dll. Pada titik inilah, keterbatasan itu coba dimaksimalkan dengan cara mengidentifikasikan diri pada kelompok-kelompok tertentu seperti suku, bangsa dan agama. Maka semangat untuk berbangsa pada kemudian menjadi sebuah pilihan tindakan yang harus diambil oleh seorang individu guna memaksimalkan keterbatasan yang dimilikinya.
Sekalipun demikian, kemampuan nasionalisme untuk menjadi sebuah kekuatan yang efektif dalam memobilisasi massa akan tercapai hanya jika setiap individu yang terlibat didalamnya itu secara alami percaya bahwa mereka dilahirkan untuk berkorban kepada bangsanya. Artinya nasionalisme akan maksimal ketika berbasis kepada ‘believe’ anggotanya dan bukan itungan rasional. Dan faktor ‘believe’ ini terbentuk oleh rentang kesejarahan yang panjang dan diceritakan turun-temurun dengan berbagai mdia yang ada. Masalahnya adalah sampai sejauhmana faktor ‘believe ‘efektif saat ini?
Apa yang kita alami selama puluhan tahun pasca kemerdekaan adalah sebuah model pembangunan rasa kebangsaan yang berbasiskan believe tadi. Berbagai mitos dan upacara coba diciptakan, mulai dari media pendidikan sampai informasi, untuk memperkuat fondasi kepercayaan rakyat bahwa sejak awal kita ditakdirkan sebagai sebuah bangsa. Efektivitasnya terlihat pada proses pencapaian kemerdekaan indonesia. Tetapi hari ini, ketika 20% masyarakat Indonesia masih ada dibawah garis kemiskinan, ketika lapangan pekerjaan sangatlah sempit, ketika diskriminasi manusia dengan latar belakan etnis, suku, maupun geografis daerah masih ada, ketika korupsi sudah menjadi budaya bangsa ini, ketika pelayanan publik hanya menjadi sebuah mimpi indah, maka masihkah kita percaya bahwa kita masih satu bangsa? Bagi kami, nasionalisme jangan dituntut kepada rakyat semata, tetapi juga kepada negara untuk mulai berpikir bagaimana meningkatkan daya tawarnya dimata rakyat indonesia melalui tindakan yang mewujud dalam bentuk yang riil dan terukur berupa kesejahteraan dan kemakmuran mereka yang mengikat diri dalam kebangsaan indonesia. Dan hal itu harus segera dilakukan, karena hari ini, kepercayaan tadi telah berubah bentuk menjadi kekecewaan.
Anderson mencoba mendeskripsikan kontruksi nasionalisme yang dibangun di indonesia. Kontruksi nasionalisme merupakan warisan dari kolonial belanda, dimana pola kebangkitan ini berawal dari kebijakan politik etisnya hindia belanda yaitu imigrasi, irigasi dan edukasi. Dalam konteks kebijakan ini adalah dengan maksud untuk memperkuat fungsi-fungsi adminitrasi pemerintahan belanda dalam melakukan penyelenggaraan pemerintahan di negeri jajahannya. Tanpa di sadari kemudian politik etis khususnya edukasi menjadi alat kelompok priyayi/bangsawan untuk mengenyam pendidikan belanda. Akibatnya adalah kebijakan pemerintahan hindia belanda ini keluar dari konteksnya, yaitu kelompok terdidik negeri jajahannya menyadari akan bentuk-bentuk ketimpangan yang dilakukan oleh kolonial belanda. Dari basis persoalan ini kemudian kelompok muda/priyayi ini mencoba untuk menyebarluaskan proses kesadaran akan kepemilikan negeri sendiri. disisi lain pengaruh pendidikan tradisional/ pensantren juga berpengaruh. Asimilasi dua unsur pendidikan menyebabkan pola-pola perjuangan akan membebaskan diri tidak selesai, artinya masih tidak secara total melakukan pembebasan tetapi masih menempel pada kekuasaan pemerintahan hindia belanda dengan ikut terlibat dan mengenyam pendidikan. Kemudian anderson juga memberikan catatan kritis bahwa konsepsi modernitas yang dipakai pemerintahan hindia belanda dengan politik etisnya mampu membangkitkan semangat pembebasan nasional dan disini peran pemuda merupakan inti dari kebangkitan bangsa jajahannya. Dari sini kemudian muncul sikap patriotisme, dimana sikap ini berangkat dari rasa memiliki, menghargai sebagai bangsa yang terjajah yang bersifat anti kepentingan.
Kemudian anderson, dalam imaginated community menjelaskan bahwa bahasa merupakan salah satu faktor pembentuk dari bangsa. Artinya bahwa bahasa merupakan alat untuk melakukan dialog sehingga antara individu dalam masyarakat memahami akan realitas sosial, dari proses memahami ini kemudian melakukan bentuk tindakan-tindakan konkrit, walaupun hal ini masih bersifat primordial, akan tetapi bahasa ini mampu mempersatukan seluruh bangsa, komunitas dan lain-lain.
Dari beberapa hal diatas maka dapat di ulas secara kritis bahwa konsepsi nasionalisme yang merupakan warisan dari kolonial merupakan kontruksi kelompok-kelompok elit/borjuasi/priyayi yang cenderung dipaksakan sehingga apa yang terjadi pada saat sekarang ini adalah buah dari kontruksi tersebut, artinya adalah bahwa proses integrasi nasional yang cenderungdipaksakan oleh elit/borjuasi nasional akan bersifat mendua, satu pada persoalan integrasi yang cauvinis yang membabi buta dan integrasi dengan pola koersif akan menyebabkan disintegrasi yang selalu menghantui bangsa ini.

Sumber : Anderson, Benedict (1983): The last Wave in Imaginated Community : Reflections on the Origion and Spread of Nationalism. London: verso. Pp. 104 -28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar