Rabu, 07 Januari 2009

Tahun Politik, Tahun Janji

Hiruk pikuk demokrasi telah membuat mayoritas rakyat terbius dalam “mimpi” perubahan, tidak terkecuali para intelektual, politisi, seniman/artis sampai aktifis pun telah dibuat mabuk atas demokrasi procedural lima tahunan. Ratusan orang bahkan sampai ribuan orang dari latar belakang ambil tiket dalam satu loket “partai politik” untuk mendapatkan kursi kekuasaan, ibarat “negeri loket” mengambil istilah Hariman Siregar. Loket kekuasaan akan menimbulkan antrian yang cukup panjang, bahkan saking tidak sabarnyapun bisa menyebabkan jatuhnya korban-korban politik antrian.

Dalam tahun politik, tentunya semua kontestan politik terus melakukan serangan-serangan ke jantung rasio rakyat untuk berebut pengaruh yang kemudian pada hari “H” bisa memberikan suaranya. Rakyat selalu dijadikan obyek dengan dalih atas nama demokrasi dan perubahan, bahkan beberapa kelompok yang ambil bagian di politik parlementarisme yang masih ragu, memanfaatkan gerakan massa menuntut sebagai ruang untuk melakukan kampanye, orang gerakanpun menyebutnya sebagai strategi taktik-pengabungan parlementarisme dan gerakan ekstraparlementer, sesuatu yang sah dilakukan bukan?

Berbeda dengan yang sudah yakin 100% tentang jalan pemilu sebagai jalan perubahan. Fase transisi demokrasi yang masih dikendalikan pasar, tentunya ruang dan alat politik modernpun menjadi tumpuan untuk merebut hati rakyat. Berbagai atribut caleg maupun capres bertebaran di hampir semua tempat, tembok, jembatan, jalan, sampai tidak satu ruangpun di belahan negeri ini yang kosong atribut politik- semua penuh sesak, sesesak kehidupan kota. Kehidupan penuh sesak akan politik perebutan kekuasan justru telah menjauhkan dari kehidupan real masyarakat strata social rendah yang berkubang atas kemiskinan. Masyarakat terus dipaksa dengan pasokan-pasokan politik yang sungguh menggiurkan akan kekuasaan, namun ketika sudah berkuasa mereka-mereka abai terhadap tugas sejatinya mengadopsi istilah Multatulli “memanusiakan manusia”.

Dalam tahun politik inilah, elit dan pemburu kekuasaan lainnya telah memanusiakan manusia dengan dalih untuk berebut pengaruh rasio rakyat, akibatnya ada relasi yang kuat antara caleg/capres dengan pemilih/konstituen. Kehidupan semacam ini ibarat hukum ekonomi, ada penawaran-ada pembelian/supply – demand, artinya fase ketiga transisi demokrasi telah memakai hukum pasar dan produk yang ditawarkanpun supaya diterima dipasaran membutuhkan strategi pemasaran yang jitu.

Pertarungan politikpun menyeruak dalam benak public, antar caleg dalam satu partai dan antar partai dalam berebut suara rasio rakyat yang ditunjukkan dengan maraknya atribut yang terpampang dipenjuru tempat, bahkan yang paling menarik sebenarnya pertarungan Capres. Seolah-olah para politisi bertarung merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan merayu rasio suara rakyat bahwa “sayalah yang paling pantas dan mampu melakukan perubahan. Sebut saja mulai dari Megawati, Rizal Ramli, Sultan HB X, Sutiyoso, SBY, Wiranto, SB, Amin Rais. Mereka mencari sensasi politik seolah-olah pro terhadap penderitaan rakyat, padahal sejatinya mereka memiliki rekam jejak yang sama-sama buruk. Hiruk pikuknya pertarungan politik kekuasaan ini membuat mereka lupa akan realitas kehidupan rakyat atas : langkanya elpiji/gas, pasokan bbm, sembako mahal, bencana alam, kekerasan aparat Polri atas petani suluk bungkal-bengkalis Riau. Para politisi malah menjadikan komoditas kasus-kasus rakyat sebagai bargain position kekuasaan, ataupun melakukan cuci tangan atas periodisasi pemerintahan SBY-JK yang dibangun atas politik power sharing partai politik ; PBB, PKB, PAN, Golkar, Demokrat, PPP, PBR.

Tahun politik memaksa para politisi untuk ekstra kerja keras, meluangkan harta, waktu ataupun tenaganya untuk benar-benar memanusiakan pemilih dengan harapan mereka mau memilihnya, apalagi semenjak keputusan ditengah jalan MK soal Suara Terbanyak telah membuyarkan harapan para politisi yang dekat dengan pimpinan partai ataupun yang memiliki popularitas tinggi untuk duduk dikursi kekuasaan. Konsekuensinya adalah para politisi bukan hanya bekerja keras namun juga menawarkan trand mark “JANJI POlITIK” berupan visi-misi-sampai program yang kalau jadi nanti rakyat akan sejahtera, memberikan pendidikan –kesehatan gratis, mengutamakan produk dalam negeri, sembako murah,memberantas korupsi dan lain-lain. melihat sepintas dari janji-janji para politisi hampir memiliki kesamaan, walaupun kalau di terjemahkan memiliki perbedaan.

Para politisi memang mesti berjanji. Sebab, kata ungkapan tua, jangan pernah menagih sesuatu yang tak pernah dijanjikan. Keliru jika kita tak meminta janji, dan melulu bukti. Janji adalah penawaran. Dari sana kita akan menilai: adakah ia layak “dibeli” atau diabaikan. Janji mencerminkan sedikit-banyak kualitas sang calon. Kebanyakan janji akan sangat bernuansa populis—membela kepentingan rakyat banyak. Sebut saja, janji untuk menumpas pengangguran, meringkus para penjarah uang negara, atau menggelontorkan subsidi rakyat miskin.

Para politisi bakal semakin “didesak” untuk mengajukan sederet rencana populis lantaran krisis ekonomi menghadang. Jutaan orang terancam kehilangan pekerjaan, jumlah kaum miskin potensial bertambah banyak. Tapi, dengan akal sehat, kita bisa meraba: mungkinkah janji itu terwujud? sebab mustahil diwujudkan atau memang sesuatu yang realistis. Selain itu, nyaris semua menjanjikan perubahan. Cuma, periksa juga pilihan jalan yang disodorkan. Karena, jangan-jangan, mereka hanya bisa menyebut "tujuan", tanpa pernah sanggup merinci metode pencapaian. Sebab, menurut pepatah, the devil is in the details.

Mengidentifikasi, mencatat janji politisi merupakan upaya untuk melakukan penghakiman atas para politisi yang berebut kekuasaan ketika ribuan janji tersebut tidak terealisasi. Menghakimi dengan tidak memilih pada periode selanjutnya adalah kepastian dan pegangan pemilih. Nah, dari sekian para politisi yang berebut kursi parlemen, partai politik dan capres yang ingkar janji bahkan telah meruntuhkan pondasi ketatanegaraan, mana yang layak dan tidak layak untuk dipilih? Apakah pemilih kita semakin cerdas? Meningkatnya golput di hampir pilkada adalah buktinya. Sekarang saatnya para politisi jangan mengumbar janji ketika tidak bisa menghadirkan ditengah rakyat, nanti akan di tagih janji oleh pemilih/rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar