Jumat, 02 Januari 2009

Menapaki Lorong Gelap Demokrasi 2009

Sekitar 97 hari lagi, pesta demokrasi akan dilangsungkan dengan 38 kontestan parpol nasional dan 6 parpol local aceh. 1001 macam strategi politik kampanye dalam rangka untuk menarik simpatik rasionalitas politik rakyat terus dilakukan, baik mulai dari iklan di media, poster dan spanduk yang terpampang di jalanan, membumikan calon dengan door to door dan seterusnya. Pesta demokrasi 2009 memaksa para pemburu kekuasaan untuk menawarkan produk “program janji” dan memaksa pemilih untuk menggunakan hak suaranya. Walaupun, kesemuanya serba kalkulatif untuk diprediksikan.

Sejak kejatuhan rejim otoritarian Orde Baru, kita sudah mengalami fase transisi demokrasi dengan perjalanan transisi demokrasi perjalanan bangsa ini, arah demokrasi yang sedang dianut oleh bangsa ini kemudian layak dan sangat perlu untuk ditimbang keberadaan. Dalam perspektif dan evaluasi saya, tentunya perjalanan transisi demokrasi hanya berkutat dalam diskursus wacana perebutan kekuasaan yang sangat procedural—bukan membumikan demokrasi secara subtantif sehingga distribusi kesejahteraan untuk mayoritas rakyat semakin jauh.

Pemilu 2009 akan menjadi tahapan penting dalam sejarah politik bangsa ini. Pada fase ketiga pemilu demokratis tersebut, bukan hanya harapan digantungkan, melainkan sebuah realitas perubahan yang dinanti sebagai jawaban atas kejenuhan masyarakat. Pemilu bukan ritual demokrasi, melainkan proses kesinambungan politik antara masa lalu dan masa depan. Dalam makna itu, pemilu jangan diletakkan dalam pengertian absurd bahwa seolah-olah pemilu hanya mendistribusikan mandat (legitimasi) dari konstituen kepada para wakil. Ini yang kerap memproduksi lahirnya kelompok golput--bahkan gerakan radikal dalam bentuk yang sangat ekstrem--karena kinerja politik tidak berpihak kepada kepentingan umum, hanya menguntungkan kelompok yang berkuasa.

Pesimisme Perubahan
Menurut pandangan pribadi saya, pesimisme politik atas penyelenggaraan pemilu 2009 terjadi karena pertama, Politik hari ini merupakan cermin dari kehidupan politik masa lalu yang menyisakan berbagai ketegangan-ketegangan yang belum terselesaikan, kasus pilkada Maluku utara dan Jatim merupakan sedikit persoalan penyelenggaraan pilkada secara nasional yang berujung pada persengketaan hingga saat ini, bahkan sengketa pilkada ini sungguh akan mengancam tahapan-tahapan pemilu, mulai dari pembentukan KPUD, Panwas dan seterusnya. Belum lagi kalau terjadi berbagai perubahan mendasar atas keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap berbagai procedural pelaksanaan pemilu 2009, seperti pengabulan gugatan suara terbanyak, menangya gugatan partai Republiku di PN Selatan dan sejumlah keputusan drastis lainnya dari MK yang akan mengisi kedepan.

Kedua, kuatnya oligarki elit dan partai politik akan memundurkan kehidupan berdemokrasi. Dalam kurun waktu setahun terakhir, kita telah di jejali oleh prilaku elit politik yang rendah moralitas dan berperilaku korup. Gambaran ini merupakan cerminan dari ketiadaan kapasitas, kapabilitas dan integritas partai politik yang hanya mengejar dan mempertahankan kekuasaan bukan mendistribusikan kesejahteraan dan kemakmuran ke public akibatnya proses ini telah memperdalam jurang antara si kaya-miskin atau elit politik dengan kehidupan real mayoritas rakyat. Alih-alih memberikan perubahan untuk mayoritas rakyat, justru meninggalkan konstituen-berselingkuh dengan kekuatan pemodal/capital-dengan membuat berbagai regulasi dan produk hukum yang melanggengkan kekuasaan pemodal. Bahkan pondasi moralitas yang seharusnya menjadi cermin bagi public dengan sengaja di rusak oleh institusi negara (bukan oknum) dengan mengatasnamakan kepentingan negara.

Sementara itupun, demokrasi pasar yang sedang berlangsung saat ini, kemudian memaksa semua pihak secara demokratis bertarung dengan berbagai cara dalam memenangkan rasionalitas politik rakyat. untuk memenangkan perebutan kekuasaan baik di legislative maupun di presiden, semua konstentan selalu berburu suara rakyat dengan tidak hanya ber-modal social- akan tetapi financial yang tidak kecil. Dalam mendorong hal tersebut tentunya partai politik akan memburu caleg-caleg yang memiliki popularitas, uang yang banyak sehingga hal-hal prinsip tentang rekruitmen kader ataupun kaderisasi dan pendidikan politik selalu terabaikan atas nama demokrasi. Rekruitmen kader/caleg didasarkan hanya untuk mendulang suara/swing votegetter yang biasanya dihasilkan orang yang memiliki popularitas dan uang banyak yaitu artis/seniman dan lain-lain. Kita menyadari bahwa hampir 90% rekruitmen kader partai politik yang menjadi konstestan pemilu 2009 tidak mendasari prinsip/tahapan yang sangat terukur dan terarah apalagi rekam jejaknya, semua memang serba tidak mungkin.

Ketiga, dalam menapaki fase-fase transisi demokrasi yang sudah berjalan dua kali, tentunya memberi pelajaran yang berharga terhadap kehidupan politik rakyat, rakyat semakin cerdas menentukan pilihannya dan semakin berani melakukan tuntutan terhadap hak-haknya mendatangi institusi pemerintahan daerah dengan gerakan mobilisasi massa. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan gerakan menuntut sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat.

Peningkatan Golput di Pilkada yang mencapai 40% lebih dari suara pemenang di hampir seluruh daerah merupakan cerminan dari ketidakpuasan public terhadap pilihannya. Pilkada DKI Jakarta mencapai 37%, Pilkada Jabar mencapai 32,6%, Pilkada Jateng mencapai 45,25%, Pilkada Jatim mencapai 40% lebih, Pilkada Sumut mencapai 40%, Pilkada Sumbar mencapai 35,70%, Pilkada Babel mencapai 39,98%, Pilkada Sulsel mencapai 45% dan pilkada-pilkada tingkat kota/kabupaten yang memenangkan golput.

Jalan Terakhir
Fase ketiga transisi demokrasi menjadi harapan terakhir bagi proses pembumian demokrasi substansi. Demokrasi pasar yang telah memproduksi “kemiskinan”, “pengangguran”,”anarkisme massa”, menguatnya etnonasionalisme”, “kehancuran industri nasional”, dan “liberalisasi asset-aset strategis bangsa” dan seterusnya harus segera dihentikan demi kepentingan negara. Demokrasi harus diletakkan dalam rangka membangun kehidupan berbangsa secara demokratis dengan menjunjung tinggi keberagaman, pluralism yang termaktub dalam Bhinneka Tunggal Ika. Namun dengan melihat berbagai proses transisi demokrasi dengan melihat berbagai instrument-instrumen politiknya, apakah harapan itu semakin mendekat kepada rakyat? tidak.

Pemilu 2009 bukan jalan terakhir dari persoalan krisis multidimensi, sekedar mekanisme procedural dengan cap “demokratis” yang di adopsi dari barat. Jalan terakhir bagi politisi-politisi konservatif, tua-uzur-jompo, caleg pro asing, capres-cawapres pro asing/modal, partai politik pro modal dan lain sebagainya, artinya bukan menyerahkan pada waktu atas kemunculan pemimpin baru/muda yang memiliki visi, misi yang terukur dan terarah sesuai dengan UUD 1945 tetapi kemunculannya dihasilkan dari pertarungan-pertarungan sejarah dalam menegakkan kedaulatan dan kemandirian bangsa. Soekarno, M.Natsir, Tan Malaka, Hatta, dan lainnya merupakan cermin atas bangkitnya pemimpin-pemimpin baru yang dihasilkan dari pertarungan sejarah melawan kolonialisme dan menorehkan jejak-jejak sejarah bagi keberlangsungan negara bangsa.

Kemunculan SBY, Megawati, JK, Sultan Hamengkubuono X, Prabowo Subiyanto, Yusril Iza Mahendra, Hidayat Nur wahid, Gus Dur, Rizal Ramli dan lain-lain tidak dihasilkan dari pertarungan sejarah, namun mereka dihasilkan dari demokrasi pasar yang menonjolkan popularitas/citra/dan mempertahankan dinasti politik dan terbukti telah menorehkan jejak hitam atas pelanggaran HAM, Memanipulasi kepentingan negara atas kekuasaan, dan lain sebagainya. Menjadi yakin bahwa Pertarungan sejarah dalam mekanisme procedural 2009 hanya melanggengkan kekuasaan pro status quo ataupun paling tidak hanya mendistribusikan kekuasaan yang terakhir dan pemimpin yang dihasilkanpun hanya berani dan pandai bersolek di depan kamera dan media massa.

Kita bisa membayangkan apa yang bakal terjadi dalam pelaksanaan pemilu hanya mendistribuksikan kekuasaan, mulai dari amuk massa, konflik antar caleg, parpol dan seterusnya akibat dari rumitnya pelaksanaan pemilu, minimnya sosialisasi KPU, rendahnya integritas anggota KPU dan lain sebagainya. Pemilu 2009 harus menjadi stimulus untuk menampar mimpi mayoritas rakyat dan elit politik akan ketidakjelasan arah demokrasi dan bangsa ke depan yang selalu didominasi oleh kepentingan modal asing. Kita telah terjerat dalam kubangan hutang luar negeri yang banyak, menjadi kakitangan asing dan selalu terkooptasi oleh kepentingan modal yang telah mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat. Pemilu 2009 akan menjadi pelajaran terakhir dan penting atas agenda-agenda distribusi kesejahteraan-kemakmuran dan agenda perubahan atas kehidupan negara bangsa yang lebih baik, adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar