Jumat, 16 Juli 2010

Demokrasi Multipartai dan Kualitas Demokrasi

Sejak hadirnya era reformasi, Indonesia sejatinya telah melakukan perubahan secara signifikan dan fundamental dalam desain sistem ketatanegaraan yang mengatur tata penyelenggaraan kehidupan berbangsan dan bernegara. Hal ini tergambarkan melalui proses amandemen UUD 1945 selama empat kali. Dinamika transisi demokrasi yang sedang dijalankan tidak dapat dilepaskan dari tuntutan publik yang menghendaki adanya perubahan dari orientasi kehidupan otoritarian menuju democratic. Perubahan sistem demokrasi memunculkan sistem kehidupan demokrasi liberal multipartai dalam pemilu. Sistem demokrasi liberal multipartai merupakan tatanan yang menjamin setiap partai politik dapat berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi berdasarkan undang-undang.

Sistem demokrasi multipartai yang diadopsi dari barat, kini telah masuk dalam tiga fase kehidupan transisi demokrasi, yakni pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009. Prakteknya konsolidasi demokrasi telah terjebak dalam aspek procedural sehingga produk politik yang dihasilkan tidak pernah menyentuh masalah substansi bangsa. Kualitas partai politik cenderung mengalami degradasi secara tajam, karena “popularitas” telah menjadi ukuran bagi pencapaian demokrasi dalam pembangunan partai politik. Kontestan politik dari tahun ketahun juga mengalami pertumbuhan yang pesat sampai pada tahun 2009. Pertumbuhan sistem multipartai justru berbanding terbalik dengan perbaikan kesejahteraan rakyat. Parpol semakin menjauhkan diri dari persoalan yang menghimpit rakyat dan mendekatkan diri pada kekuatan modal.

Melihat fenomena demokrasi yang muncul selama ini, tentunya nilai-nilai demokrasi itu dipandang sudah banyak terpenuhi. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan yakni, bagaimana dengan kualitas atau efektivitas yang akan dihasilkan. Sementara sistem multipartai yang menjadi pilihan belum memberikan kepastian akan menopang kekuatan sebuah pemerintahan presidensial seperti yang ada sekarang. Dari perjalanan 12 tahun reformasi, kualitas demokrasi ternyata tak hanya ditentukan oleh proses semata, akan tetapi dari hasil proses itu sendiri juga akan berdampak sejauhmana kemanfaatannya bagi masyarakat. Tidak seperti saat ini, instabilitas yakni keberadaan pemerintah kurang mendapat dukungan parlemen, sehingga format politik yang dibangun itu tidak mengarah pada terbentuknya pemerintahan yang kuat.

Dampak multi partai di Indonesia dapat kita rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat “Decision Making” berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan negara yang strategis meliputi aspek; politik, ekonomi, diplomasi dan militer. Bila kita mengamati secara fokus hubungan antara eksekutif dan legislatif, Presiden mengalamai resistansi karena peran legislatif lebih dominan dalam sistem multi partai. Sebenarnya posisi Presiden RI sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR. DPR yang merupakan lembaga negara, justru menjadi resistansi dalam sistem pemerintahan kita, karena mereka bias dengan kepentingan primordial masing-masing. Menyamakan visi dan misi dari 9 fraksi, dengan ideologi dan kepentingan yang sangat mendasar perbedaannya akan sangat sulit dicapai. Peran DPR, tak lebih sebagai opposisi yang selalu menentang pemerintah. Jika situasi dan kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas politik dalam negeri dan tentunya menjauhkan kesejahteraan dan keadilan bagi mayoritas rakyat.

Kebebasan politik dan reformasi yang semestinya menggaransi kemajuan dan kesejahteraan, dalam realitas politiknya tidak terbukti. Banyaknya partai politik tidak otomatis merupakan cerminan dari tingginya semangat demokrasi dikalangan elit politik. Kemudahan mendirikan parpol menstimulus elit untuk berlomba memperebutkan kekuasaan tanpa pertimbangan matang. Banyaknya partai politik didirikan tanpa elaborasi ideology yang jelas dan visi yang terukur serta aplikatif. infrastruktur kelembagaan partai politik dan basis konstituennya lemah sehingga gagal membangun kekuatan politik yang pantas diperhitungkan.

Penyederhanaan partai politik merupakan agenda rasional politik yang penting untuk dilakukan dalam memperkuat sistem presidensial. Gagasan untuk menyederhanakan parpol mencuat ke permukaan, dengan adanya usulan untuk merevisi UU Pemilu. Di dalam rencana revisi UU Pemilu tersebut diusulkan untuk meningkatkan parliamentary treshold (PT) yang selama ini 2,5 persen, menjadi 5 persen pada pemilu 2014 nanti. Upaya mengendalikan laju pertumbuhan partai politik secara alamiah dan democratic dengan menaikan ambang batas 5 persen untuk pemilu 2014 harus menjadi agenda bersama dalam rangka untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan keberlanjutan pembangunan demi tercapainya kesejahteraan umum. Kemudian, penyederhanaan partai politik juga akan mempermudah terbentuknya koalisi secara permanen partai politik dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden sehingga ketika menang mendapat dukungan mayoritas.

Langkah-langkah penyederhanaan partai politik dengan menaikan parliamentary threshold 5 persen harus di lakukan secara koheren dan sinergis antar instansi kenegaraan. Penyederhanaan parpol dimungkinkan untuk mengurangi ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh dominannya partai politik di parlemen dalam melakukan check and balances terhadap pemerintahan sehingga dapat dicapai keseimbangan dan keselarasan dalam memajukan pembangunan.

Minggu, 18 April 2010

Negara Pelayan Modal

(Sebuah Keprihatinan terhadap upaya paksa Negara dalam men-privatkan Pelabuhan Tanjung Priok)

Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata. Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud.
Sebagai sebuah bangsa yang memiliki kedaulatan ekonomi dan politik berdasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila, kini Indonesia hanya sekedar menjadi pasar, sasaran eksploitasi alam, dan sasaran eksploitasi tenaga kerja murah bagi kemajuan negeri-negeri kapitalis maju. Produktivitas rata-rata masih sangat rendah sementara, konsumtivisme dipaksa menjadi budaya dominan. Pengangguran semakin banyak, kemiskinan bertambah, dan praktek percaloan bukan sekadar budaya di sektor ekonomi tapi, juga melanda sektor politik dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Penghancuran industri strategis nasional oleh Negara justru marak terjadi pada era reformasi. Atasnama “efisiensi” Negara melakukan program privatisasi terhadap seluruh asset strategis sebagai satu paket kebijakan nekolim. Pemerintah selama ini beragumen bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk menutup deficit anggaran. Privatisasi dipercaya sebagai jalan menghilangkan intervensi politik (birokrasi Negara) terhadap BUMN. Privatisasi juga dianggap cara yang paling ampuh untuk menyehatkan dan meningkatkan kinerja BUMN.
Privatisasi menjadi satu paket dengan liberalisasi ekonomi dan deregulasi yang kini berujung pada dominasi modal asing terhadap 90% pengelolaan migas, 50% penguasaan perbankan nasional
Privatisasi sebagai upaya untuk mengambilalih ekonomi nasional. Penguasaan asset-aset strategis nasional seperti air, tanah, migas dan lain-lain pada hakekatnya sebagai bentuk penjajahan baru. Agresifitas kekuatan modal asing dalam melakukan ke privat-an terhadap ruang-ruang public selama ini justru telah memuluskan penyedotan surplus ekonomi rakyat. Meluasnya pembentukan ruang-ruang privat inilah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai neo kolonialisme (NEKOLIM) ekonomi Indonesia.
Kegagalan pemerinah dalam pengelolaan ekonomi public (BUMN) sebagai bagian dari warisan struktur ekonomi colonial sentralistik yang mendoron ifisiensi dan eksploitasi BUMN. Negara justru telah bertransformasi menjadi pelayan kapitalisme global yang jelas bertolakbelakang dengan amanat pasal 33 UUD 1945.

Liberalisasi Sektor Pelabuhan
Agresifnya modal asing dalam melakukan ekspansi kekuasaan ekonomi politik melalui produk regulasi di wilayah Indonesia sudah tidak dapat terbendung. Aset strategis termasuk pelabuhanpun (Pelindo) secara perlahan sudah dikuasai oleh modal asing, Saat ini kepemilikan sahan perusahaan afliasi PT Pelindo II sebanyak 51 persen kepemilikan sahamnya dimiliki oleh Grosbeak Pte.Ltd sebuah anak perusahaan Hutchinson Port Holding dari Hongkong. Perusahaan ini memperoleh konsesi 20 tahun untuk mengelola pelabuhan priok.
Pelabuhan di kota-kota besar khususnya di Medan, Batam, Jakarta, Surabaya/Gresik/Tuban, Makassar menjadi pilot project terhadap keberhasilan ekspansi modal asing sebagai Port Operator. Paket liberalisasi pelabuhan ini sebenarnya untuk memuluskan jalannya liberalisasi perdagangan, system yang menghilangkan proteksi Negara dengan membentuk kawasan ekonomi khusus (KEK) di beberapa kawasan pelabuhan strategis.
Melalui UU Pelayaran No.17 Tahun 2008, paket liberalisasi pelabuhan memiliki legitimasi secara hukum. Peluang masuknya orang ataupun perusahaan dalam membangun atau mengelola terminal di pelabuhan Indonesia yang selama ini dioperasikan Pelindo akan semakin mudah. Produk legislasi inipun menjadi ancaman terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia dan tentunya akan mengurangi pendapatan Negara berupa pajak dan deviden yang pada tahun 2007 mencapai Rp.1,180 triliun. Seiring dengan itupun, bahwa paket UU no.17/2008 menguatkan program Free Trade Agreement di tingkat kawasan ataupun G to G yang menegaskan pada ketiadaan biaya tariff (tarrif non barrier) pajak bea.
Dalam satu sisi, kondisi ini merupakan tantangan terhadap percepatan perdagangan bebas, namun kondisi real industri nasional yang sedang mengalami kebangkrutan dalam dasawarsa terakhir tentunya akan kalah bersaing dengan industri Negara maju yang sudah menancapkan kakinya di Indonesia. Kran liberalisasi yang dibuka secara luas dan kekuatan modal asing yang terus meluaskan ekspansi jajahannya tentunya akan berdampak buruk terhadap kedaulatan ekonomi politik.
Liberalisasi tidak mengenal batas social dan budaya, mereka merangsek dan menghancurkan pondasi kehidupan budaya rakyat. Tidak terkecuali upaya penggusuran makam mbah Priok secara paksa oleh Pelindo II adalah contoh kecil dari agresifnya kekuatan modal dalam menghancurkan tradisi/keyakinan warga. Atasnama modal, kekuasaan telah sewenang-wenang terhadap perlindungan hak asasi manusia dan hak ulayat warga yang mempertahankan tradisi/keyakinan tersebut secara turun temurun.
Oleh karena itu, pelabuhan harus dikembalikan pada fungsi awalnya yang tidak hanya sebagai pusat perdagangan (ekonomi) tetapi juga sebagai basis kekuatan politik dan benteng pertahanan dari ancaman perdagangan bebas yang tidak mengenal toleransi sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Proteksionisme dan monopolistic terhadap peran pelabuhan oleh negaralah yang dapat menjaga dan memperkuat basis ekonomi nasional dari ancaman perdagangan bebas sehingga pondasi dan tatanan ekonomi nasional dapat bangkit dan berdiri sejajar dengan bangsa lain.

Minggu, 31 Januari 2010

FTA = Modus Operandi Penjajahan Modern

Sebuah Pengantar
Satu mekanisme yang sekarang paling banyak dipakai untuk mempercepat ekspansi kapitalisme neo-liberal adalah melalui perdagangan bebas. Pada prinsipnya perdagangan bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi. Liberalisasi yang menghilangkan peran pemerintah dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat dan menyerahkannya pada peranan pasar (baca: pemilik modal).

Indonesia dalam prakteknya telah mengikatkan diri dengan dua perjanjian perdagangan internasional, yakni WTO dan AFTA. Perjanjian perdagangan bebas di tingkat multilateral melalui WTO (World Trade Organization) yang sebelumnya bernama GATT (General Agreement Trade and Tariff), sedangkan ditingkat kawasan disebut FTA (Free Trade Agreement). Pembukaan pasar melalui penghapusan segala bentuk hambatan perdagangan dan menghilangkan segala sesuatu yang dianggap distorsi bagi pasar bebas. Kebijakan liberalisasi perdagangan yang merupakan bagian dari kebijakan neoliberalisme dijalankan mealui penghapusan proteksi, tarif bea masuk dan hambatan non tarif lainnya.

Seluruh strategi pembangunan ekonomi di sebuah negara sekarang dihapus dan diganti oleh perjanjian perdagangan bebas. Indonesia adalah contoh bagaimana sebuah negara di lucuti kedaulatan ekonominya lewat IMF yang telah membuka kran liberalisasi, kemudian amandemen ke-4 UUD 1945 khususnya pasal 33 sehingga menjadi konstitusi neoliberal yang ramah terhadap pasar. Inilah pola invasi nekolim abad 21 melalui konstitusi, hukum positif dan perjanjian-perjanjian pasar bebas.

Pasca kebuntuan perundingan WTO, Indonesia telah melakukan perjanjian perdagangan bebas dengan negara maju seperti Jepang, China, Korea, Australia, New Zealand, AS, Uni eropa dan lainnya. Perjanjian perdagangan bebas hampir meliputi seluruh bidang yang berkaitan dengan investasi dan perdagangan. Kesepakatan dalam FTA lebih menyeluruh dibandingkan dengan perjanjian dalam WTO karena menyangkut seluruh aspek liberalisasi perdagangan barang dan jasa. Padahal d engan kesepakatan WTO, kepentingan Indonesia sangat dirugikan akibat berbagai aturan pembukaan pasar dan liberalisasi yang menyebabkan arus impor negara berkembang tertinggal.

FTA (pertama kali lewat AFTA tahun 2002, China-ASEAN FTA tahun 2004 dan Indonesia – Jepang EPA tahun 2007), ASEAN Korea FTA, ASEAN-Jepang, ASEAN- Australia/NZ FTA, , sedang dirundingkan pula FTA dengan India, FTA dengan Uni Eropa, FTA-AS, FTA dengan EFTA ( Europen Free Trade Area), perlahan namun pasti Indonesia membuka lebar-lebar bagi invasi nekolim. Bentuk perdagangan bebas ini mengarah pada “ single market and productiona base” kawasan yang memiliki kompetensi ekonomi tinggi dan kawasan yang berintegrasi penuh pada perekonomian global serta “free flow of goods, capital, services, and skilled labor”. Indonesia adalah pasar terbesar di ASEAN, tetapi tunduk penuh pada kepentingan negara maju.

Pada perjanjian ASEAN-Australia/NZ (AANZA-FTA), sekitar 86% dari pos tarif Indonesia secara bertahap akan dipangkas menjadi nol persen pada 2015. Dan sekitar 13% tarif menjadi nol persen pada 2009. Dari Australia, 92% tarif menjadi nol persen pada tahun pertama. Lebih dari 70% pos tarif Selandia Baru juga langsung nol persen di tahun pertama. Sementara produk peternakan, seperti daging dan susu, dari kedua negara itu dinolkan pada 2017-2020.

Padahal jika dicermati perjanjian tersebut justru merugikan Indonesia. Selama ini misalnya neraca perdagangan non migas Indonesia baik dengan Australia dan New Zealand selalu negatif. Artinya tanpa perdagangan bebas pun, Indonesia lebih banyak mengimpor barang dari kedua negara tersebut. Australia selama ini dikenal sebagai pemasok utama susu, daging sapi dan sejumlah bahan pangan ke Indonesia.

Jika tarif diturunkan menjadi nol persen maka dapat dipastikan ketergantungan pada impor akan semakin tinggi. Sementara industri pertanian yang kini terseok-seok akibat gempuran produk-produk impor akan semakin terpukul. Sekedar catatan hingga saat ini Indonesia mengimpor sejumlah produk pertanian antara lain: gandum sebanyak 100% dari total kebutuhan gandum dalam negeri, kedelai 61%, gula 31%, susu 70%, daging sapi 50%, garam 66%, dan kapas sebanyak 80%.

Belum lagi dampak free trade dalam bidang jasa. Sektor jasa seperti pendidikan, kesehatan sangat berpotensi tergulung akibat kalah bersaing dengan negara-negara sekelas Australia dan Singapura. Ide-ide dan budaya-budaya dari negara-negara tersebut akan makin mencengkram.


Agresifnya Rejim Perdagangan Bebas
Polemik masalah liberalisasi perdagangan yang berlangsung di Indonesia saat ini berkaitan dengan pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Aggreement/ACFTA) sebenarnya bukanlah hal baru. Dalam sejarah perdagangan internasional, polemik tersebut sudah berlangsung sejak ratusan lalu.

Sudah lebih 5 tahun, sejak tanggal 4 November 2004 di Phnom Pen Kamboja ditandatanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation atau kerja sama ekonomi negara-negara Asean dengan China dalam bentuk Asean- China Free Trade Area (ACFTA). Kesepakatan kerja sama ini sendiri dibangun di atas argumen-argumen dan mempunyai tujuan yang sangat ideal.

Mengingat China sebagai negara yang mempunyai pertumbuhan tertinggi di dunia sekarang ini, dengan penduduk 1,2 miliar jiwa, ditambah dengan penduduk Asean sekitar 500 juta jiwa maka menjadi total penduduk di dua kawasan ini menjadi sekitar 1,7 miliar jiwa. Jumlah penduduk yang sangat besar ini tentu menjadi pasar empuk produk dan jasa ke dua belah pihak.

Tujuan lainnya adalah meliberalisasi perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif serta mengembangkan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan kedua belah pihak, termasuk memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif kedua belah pihak. Khusus mengenai tarif bea masuk barang-barang hasil pertanian, termasuk sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan yang semuanya dikelompokan dalam EHP (Early Harvest Programme). Kerja sama ini mempunyai target mempercepat implementasi penurunan tarif barang-barang tertentu dimana di tahun 2010 akan menjadi 0%. Pengaruh pertama sebagai konsekuensinya adalah akan membanjirnya produk-produk hasil pertanian atau buah-buahan dari sesama negara ASEAN maupun dari China ke Indonesia. Dan konsekuensi ini sudah terjadi bahkan sejak ACFTA itu sendiri belum dimulai.

Kelompok kedua dalam Normal Track, yakni jadwal penurunan tariff yang telah disepakati oleh masing-masing negara anggota. Dalam hal ini NT dibagi menjadi dua bagian yaitu NT1 dan NT2 (flesibilitas). Kelompok ketiga, Sensitive Track yakni penurunan tarifnya agak lama dibandingkan dengan penurunan normal track. Terdiri dari Sensitive List ; tariff BM akan diturunkan/dihapuskan menjadi maksimal 20% pada tahun 2012 dan menjadi 0-5% pada tahun 2018, Highly Sensitive List; tariff BM akan diturunkan/dihapuskan menjadi maksimal 50% pada tahun 2015 dan menjadi 0-5% pada tahun 2020, GEL (General Exclusion List) merupakan daftar produk yang dikecualikan dari liberalisasi karena alasan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini sesuai dengan artikel 9 b GATT. Contohnya bahan peledak, minuman keras, limbah kimia. Tarif yang berlaku adalah tariff Umum (MFN).

Sebagai negara industri yang memiliki kemajuan pesat, China terus melakukan invasi pasarnya ke negara berkembang dalam rangka meningkatkan surplus pedagangan luar negerinya. Bahkan kebangkitan ekonomi China menyebabkan ancaman bagi industri negara maju sehingga secara cepat melakukan proteksionis terhadap pasar domestic. Berbeda dengan negara berkembang, Indonesia secara konsisten membuka perdagangan bebas yang telah menjauhkan dari asas keadilan.

Membanjirnya produk China di pasar domestic, menyebabkan usaha produk TPT menurun dari 57% pada tahun 2005 menjadi 23% pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik, 2008). Industri besi baja, tekstil dan produk tekstil (TPT), kimia anorganik dasar, furnitur dan lampu hemat energi menjadi lima sektor yang dikhawatirkan terkena dampak paling serius akibat pemberlakuan perjanjian ACFTA ini. Selain itu, ACFTA dipastikan mengancam kelangsungan industri yang selama ini berbasis pasar dalam negeri, dan dampaknya memicu meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diprediksi mencapai 7,5 juta orang secara nasional.

Paling tidak di lingkungan sektor usaha tekstil saja akan terjadi PHK sebanyak 1,2 juta orang. Industri tekstil merupakan salah satu sektor usaha yang terancam, karena selama ini tekstil nasional hanya menguasai 22% pasar tekstil domestik, dan 78% lainnya dipenuhi oleh tekstil impor. Dari 78% tekstil yang diimpor itu, 71% di antaranya masuk ke Indonesia secara ilegal.

Karena itu pemberlakuan pasar bebas ASEAN-China sudah pasti menimbulkan implikasi yang sangat negatif. Pertama, invasi produk asing terutama dari China di tengah lemahnya infrastruktur ekonomi, modal, daya saing, dan dukungan pemerintah, dapat menyebabkan hancurnya sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Sektor industri pengolahan (manufaktur) dan industri kecil menengah (IKM) merupakan sektor ekonomi yang paling terkena dampak realisasi perjanjian perdagangan bebas ini. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi.

Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Begitupula diproyeksikan lima tahun ke depan investasi di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM. Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya dikatagorikan akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari China (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).

Kedua, pasar lokal dan nasional yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Data statistik Kementerian Perdagangan RI, misalnya, menunjukkan, walaupun jumlah total perdagangan RI dan China meningkat cukup drastis dari US$ 8,7 miliar pada 2004 menjadi US$26,8 miliar pada 2008, namun toh Indonesia mencatat defisit perdagangan sebesar US$ 3,6 miliar. Artinya impor barang dari China lebih besar dari pada ekspor barang ke China.

Sebagai contoh, harga TPT China lebih murah antara 15% hingga 25%. Selisih harga yang lebih murah 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan apalagi bila perbedaannya besar. Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah pilihan pragmatis dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil China atau setidaknya pedagang tekstil.

Ketiga, kondisi ini akan membuat karakter perekomian nasional semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing, bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor sedangkan sektor-sektor vital ekonomi nasional juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi nasional Indonesia?

Keempat, jika di dalam negeri saja kalah bersaing bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan China? Data menunjukkan tren pertumbuhan ekspor non migas Indonesia ke China sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%. Ini lebih kecil dengan tren pertumbuhan ekspor China ke Indonesia yang mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat memungkinkan berkembang justru ekspor bahan mentah bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh China yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.

Secara umum, neraca perdagangan Indonesia dengan China dan negara-negara anggota ASEAN semakin defisit sebagaimana data ekspor-impor Indonesia yang baru dirilis BPS. Ekspor Indonesia ke China selama Januari-November 2009 mencapai US$ 7,71 miliar sedangkan impornya US$ 12,01 miliar. Dengan Singapura, ekspor Indonesia tahun 2008 US$ 12,86 miliar dan impor US$ 21,79 miliar. Indonesia juga mengalami defisit neraca dagang dengan Thailand sebesar US$ 2,67 sedangkan dengan Malaysia defisit US$ 2,49 miliar (Kompas, 5/1/2010). Ini sangat mengkhawatirkan di tengah arus liberalisasi perdagangan yang dijalankan Indonesia.

Kelima, terpangkasnya peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional karena perannya digantikan impor dampaknya juga menimpa penyediaan lapangan kerja. Tentu ini sangat memberatkan para pekerja dan pendatang baru dunia kerja. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang sedangkan pada periode Agustus 2009 jumlah pengangguran terbuka mencapai 8,96 juta orang.


Kebijakan Proteksi terhadap Pasar Domestik
Kontruksi ekonomi Indonesia telah dibangun diatas landasan kepentingan ekonomi politik pasar bebas. Perekonomian yang dibangun atas dasar hukum pasar tidak akan mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan bisa diperoleh ketika banyaknya asset-aset kekayaan alam dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan produksi dan pasar dalam negeri. Pemanfaatan asset ini harus dibangun diatas landasan konstitusi UUD 1945.

Langkah yang paling tepat dalam menguatkan industri nasional adalah dengan melakukan kebijakan proteksionisme, yakni melakukan perlindungan terhadap industri dalam negeri dari serangan produk luar negeri. Kebijakan perlindungan terhadap industri dalam negeri semata-mata untuk memperkuat basis fundamental ekonomi nasional yang menopang hajat hidup rakyat. Penguatan basis fundamental ekonomi nasional dengan memberikan pelayanan yang baik (perijinan), memprioritaskan pasokan energy untuk kepentingan industri nasional, memprioritaskan pemanfaatan bahan baku untuk kebutuhan industri dalam negeri, membangun infrastruktur distribusi yang cepat dan membangkitkan budaya cinta produk dalam negeri, memerangi pungutan liar terhadap industri dan memberikan bantuan subsidi yang lebih besar terhadap industri kecil-menengah agar bisa mempertahankan dan bahkan mengembangkan usahanya. Yang paling penting adalah harus melestarikan budaya eksportir bahan jadi yang memiliki nilai tambah (lebih) dan membangun kapasitas pengolahan sendiri (penguatan industri nasional).

Peran negara yang berpihak pada kepentingan nasional dan kebijakan proteksionisme atau nasionalisme ekonomi harus terus diperkuat. Proteksionisme diperlukan khususnya sektor strategis yang akan mendatangkan kekayaan dan modal nasional seperti sektor migas, pertanian (pangan-termasuk perikanan dan komoditas tropis). Yakni memberikan proteksionisme terhadap sektor strategis yang menguasai hajat hidup rakyat banyak dan sektor non strategis yang diserahkan kepada pasar yang diregulasi secara baik dan tepat.

Kamis, 15 Oktober 2009

Penyelenggara Negara Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

Bau tak sedap bailout Bank Century terus saja mengalir. Kebijakan sepihak pemerintah dalam menyelamatkan bank yang sejak awal berdiri sudah bermasalah dengan dalih akan berdampak sistemik adalah tidak terbukti. Telah terjadi dispute antara pemerintah dan DPR dalam memberikan penjaminan terhadap bank yang sejak awal berdiri sudah bermasalah. Dimana DPR hanya mengalokasikan Rp. 1,4 T, sedangkan pemerintahan tanpa persetujuan DPR mengelontorkan dana talangan sebesar Rp. 6,76 T. Menurut UU BI Tahun 1999, dinyatakan bahwa sumber dana darurat untuk mengatasi perbankan nasional berasal dari dana APBN yang dikumpulkan/disimpan para nasabah pada bank-bank peserta LPS.

Berdasarkan Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, Keuangan Negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud mencakup keseluruhan kegiatan di bidang keuangan negara yang meliputi perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Tapi dalam kasus Century, justru penyelenggara negara dengan sengaja dan berjamaah melakukan pencurian uang negara dan rakyat untuk kepentingan golongan yang diperuntukkan kepentingan mempertahankan kekuasaan.

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter telah lalai dalam melakukan pengawasan terhadap bank-bank yang bermasalah. Sedangkan Menkeu sebagai otoritas keuangan dengan sengaja melakukan manipulasi keuangan negara dalam melakukan penyelamatan bank century. Hal yang tidak wajar ketika kelalaian ini telah berlangsung lima tahun. BI pun secara resmi telah menyatakan lalai dalam melakukan pengawasan terhadap bank Century, artinya bahwa Boediono selaku Gubernur BI dan Sri Mulyani selalu ketua KKSK telah menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya (abuse of discreation) untuk mengeluarkan kebijakan bailout. Akibat kelalaian dan tidak menjalankan fungsi dan UU BI, maka negara mengalami kerugian sebesar Rp. 6,76 T. Kelalaian penyelenggara inilah yang justru akan berdampak sistemik terhadap kepercayaan publik. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, kerugian negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.


Korupsi Berjamaah

Sudah menjadi rahasia umum, hampir semua instansi pemerintah di Indonesia sudah menjadi sarang korupsi sistemik. Korupsi telah menyatu dan membudaya dalam sistem birokrasi, berlangsung dengan mulus dan dalam waktu lama tanpa bisa terendus semua perangkat hukum dan aparat penegak hukum. Celah hukum dimanfaatkan betul untuk berbuat korup. Semua prosedur adminitrasi dibuat sedemikian rupa. Kalaupun dugaan korupsi sempat masuk ranah hukum, justru aparat penegak hukum malah bisa masuk dalam jaringan sistem korupsi yang sistemik.

Kita patut menduga dalam kasus bailout bank century telah terjadi tindak pidana korupsi dan perbuatan melawan hukum dari penyelenggara negara. Korupsi yang patut diduga melibatkan lingkaran istana, pengusaha yang dekat dengan kekuasaan, Parlemen, Partai Politik, Kepolisian dan lainnya dilakukan dengan sengaja dengan memanfaatkan celah-celah hukum positif. Pengelontoran bailout century sarat kepentingan politik dan diperuntukkan untuk mempertahankan kekuasaan.

Korupsi berjamaah yang dilakukan oleh banyak orang yang memiliki otoritas atau keahlian dengan cara sistematis bahkan kerap melibatkan aparat penegak hukum dan sehingga secara hukum positif sulit untuk dibuktikan. Inilah yang menjadi tugas berat bagi seluruh komponen bangsa untuk komitmen dan konsisten dalam menuntuk keadilan publik. Dan tidak jarang para pelaku (koruptor) melakukan berbagai upaya/rekayasa untuk mengamankan hasil korupsinya dengan upaya hukum dan politik. Seperti memaksa Perpu no.4 Tahun 2008 yang sudah ditolak DPR tanggal 18 Desember 2008 untuk disyahkan menjadi UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) dan untuk keduakalinya digagalkan lagi oleh DPR. Dalam kandungannya dijelaskan bahwa Perpu No.4 tahun 2008 tentang JPSK tersebut memberikan kekebalan hukum bagi BI dan Menkeu terhadap segala keputusannya. Kedua merusak citra KPK dengan mengungkap berbagai skandal yang melibatkan pimpinan KPK. Ketiga restrukturisasi BPK yang belum selesai dan sarat kepentingan dalam mengamankan kekuasaan.

Ketiadaan upaya negara dalam melakukan hak paksa kepada koruptor yang telah menggunakan keuangan negara untuk kepentingan kelompok merupakan sinyalmen bahwa bangsa ini telah terjangkiti penyakit korupsi luar biasa. Inilah satu bentuk kejahatan sistematis yang telah merusak dan telah berkhianat terhadap cita-cita pendiri bangsa untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Penyebab utamanya, para penyelenggara negara (eksekutif, legislative, yudikatif) lebih mengutamakan menyejahterakan diri sendiri. Dengan alasan demi kesejahteraan umum, bisa merancang sebuah tindakan yang justru memperkaya diri sendiri.

Rabu, 19 Agustus 2009

Menggugat Pengkhianatan terhadap Proklamasi 1945, Pancasila dan UUD 1945

Harapan untuk merdeka dalam kesejatiannya memang masih sulit diwujudkan dalam tatanan kehidupan berbangsa selama ini. Bahkan peringatan Kemerdekaan dari tahun ke tahun hanya dijadikan aksesoris sejarah yang patut ditanggalkan nilai dan spirit perjuangannya. Kata merdeka hanya dijadikan makna simbolik terhadap terbebasnya dari hegemoni Kolonialisme dan imperalisme Belanda. Begitupun dalam peringatan kemerdekaan RI ke-64 dengan upacara seremonial yang terkesan cukup meriah.


Ditengah peringatan Kemerdekaan RI ke-64 justru bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang memprihatinkan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa 64 tahun merdeka negara bangsa-Indonesia masih dalam kungkungan penjajahan asing, bahkan makna penjajahan dalam abad globalisasi ini lebih mudah masuk dalam kehidupan rakyat karena dengan mudahnya elit politik dan aparat negara telah melegitimasinya dalam bentuk amandemen pondasi dasar UUD 1945. Konstitusi tersebut kemudian menjadi pintu masuk bagi kekuatan modal asing secara liberal tanpa mengindahkan kepentingan publik.


Beranjak dari persoalan amandemen UUD 1945 tanpa amanat rakyat telah berdampak pada rusaknya tatanan kehidupan bernegara. Bukti yuridisnya adalah timbul otonomi daerah tanpa kendali, terbentuknya lembaga ad hoc negara yang justru telah melampui wewenang lembaga negara yang sudah ada, sistem pemilu multipartai, pemisahan TNI-Polri sebagai aparat penjaga keamanan nasional dalam menghadapi ancaman terorisme/separatisme baik dari dalam maupun luar negeri yang sewaktu-waktu mengancam keutuhan NKRI, sistem demokrasi langsung yang mengarah pada kemandegan kehidupan bernegara yang akan memunculkan ego power lembaga negara (exsprit de corps) yang sudah pasti telah terjadi disintegrasi antar lembaga negara.


Dalam konteks yang lebih teknis, bahwa amandemen UUD 1945 justru telah menjadi pintu masuk bagi terciptanya liberalisasi secara konstitusional dalam segala bidang. Dalam ranah penguasaan dan peruntukan tanah melalui UU Perkebunan, UU Migas, UU PM, Perpres tanah, UU Air, UU Minerba, UU BI dan lain-lain memperlihatkan bahwa penguasaan dan peruntukan 40 juta Ha lebih dialokasikan untuk pertambangan, 32 juta Ha untuk kehutanan, 9 juta Ha lebih untuk perkebunan dan 95 juta hektar untuk migas yang penguasaannya hampir 90% oleh modal asing seperti Newmont, Freeport, Exxon, Total dll. Sementara untuk pertanian hanya 11,8 juta hektar. Bukan hanya soal penguasaan tanah akan tetapi kandungan di dalam tanahnyapun dalam bentuk emas, batubara, dan lain-lain dengan motivasi "keruk habis" untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional merupakan satu bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi UUD 1945 pasal 33.


Sementara, proses ketergantungan secara ekonomi yang termanifestasikan dalam bentuk Utang luar negeri dan sistem perdagangan (trade) dari tahun ketahun telah mengalami peningkatan yang massif. Dalam periode 2009 Utang Indonesia mengalami peningkatan sebesar 400 Miliar, sedangkan sistem perdagangan yang justru tidak memberikan proteksi terhadap industri nasional dengan adanya Free Trade Area. Bahkan dalam konteks konsumsi pangan nasional (beras, kedelai, garam, susu, daging dll), masih memiliki ketergantungan dari asing. Bahkan dalam ranah keuangan, dimana 65 % – 70 % bank investasi dan bank sentral nyapun juga dalam pengaruh modal asing. Kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa dalam Indonesia tidak memiliki kemandirian secara ekonomi, yang dari tahun ke tahun memiliki kecenderungan untuk mengkooptasikan kekayaan alamnya untukdi keruk habis oleh kekuatan modal asing demi memenuhi kebutuhan pasar.


Kemudian, dalam sistem politik nasional justru selama 64 tahun merdeka, kita masih memiliki ketergantungan secara politik terhadap asing, terutama dalam mengadopsi berbagai sistem ketatanegaraan maupun dalam sistem multipartai yang justru tidak sesuai dengan kultur dan budaya bangsa yang telah dicita-citakan bersama. Sistem Multipartai inilah yang menyebabkan ketiadaan satu sentimen bersama dalam menumbuhkan national interest dalam mewujudkan keadilan dan kemandirian.


Ironis, dalam usianya ke-64 tahun, sejatinya Indonesia sebagai negara bangsa sudah lepas landas dari keterbelakangan dan ketergantungan terhadap kekuatan modal asing sehingga mampu menjadi bangsa yang merdeka dalam kesejatiannya untuk mewujudkan kemandirian dalam bidang ekonomi. Hal ini diperparah dengan perilaku elit politik dan aparat negara yang menjadi antek-antek kekuatan modal asing untuk melakukan proses penjajahan gaya baru terhadap negeri sendiri. Bukti inilah yang kemudian menjadi satu acuan bahwa elit politik dan aparat negara telah melakukan satu pengkhianatan secara sistematis terhadap konstitusi UUD 1945 dan cita-cita bersama bangsa.


Generasi Penunggu

Sudah satu dasawarsa proses transisi demokrasi yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru, belum satupun lahir generasi yang memiliki dedikasi dan integritas nasional yang mumpuni. Menurut Pramudya ”..situasi revolusioner akan selalu melahirkan kepemimpinan yang kuat”, ternyata premis ini belum tepat ketika memotret situasi gerakan reformasi 1998 karena belum lahirnya kekuatan progresif yang mampu membawa rakyat keluar dari jeratan explotation d’lhome par lhome.


Memang, kita patut sadar khususnya generasi muda untuk membuka hati dan pikirannya terhadap carut-marutnya tatanan kehidupan berbangsa. Generasi penerus hanya menjadi katalis perubahan akan tetapi tidak menjadi satu instrumen yang berperan dan menjalankan secara konseptual dan integral terhadap agenda-agenda perubahan. Inilah yang menjadi dosa sejarah generasi penerus yang telah membiarkan satu keadaan bangsa terjerumus dalam kubangan liberalisasi pasar yang menghancurkan kehidupan rakyat.


Kekuatan muda baik yang berada diberbagai sektor belum mampu menjadi pendobrak dan pelopor perubahan, bahkan masuk dalam pusaran budaya hedonisme, individualisme sehingga lupa akan proses historically terbentuknya negara bangsa. Mereka tidak cukup untuk memberanikan diri mengambil inisiatif/terobosan atas kebuntuan sistem bernegara dan cenderung pasrah terhadap keadaan menjadi generasi penunggu ditengah dominasi arus utama yang menjadi corong kelompok liberal.


Kepasrahan ini tentunya tidak beralasan, karena kekuatan muda yang memiliki integritas, dedikasi dan idealisme dalam melakukan perubahan tiap waktu terus menipis. Tetapi ditengah dominasi kelompok oportunis dan pengkhianat pasti masih ada satu kekuatan murni yang mampu diajak untuk bersekutu menyelamatkan dan mengambil kekuasaan negara. Menyatunya kekuatan muda yang memiliki dedikasi, idealisme dan integritas terhadap perjuangan negara di berbagai bidang seperti birokrasi, intelektual, TNI dan Polri, Politikus, budayawan dan seniman, dan lain-lain merupakan satu taktik untuk melakukan lompatan sejarah untuk mendekontruksi dan merekontruksi tatanan kehidupan bernegara yang berlandaskan pada cita-cita bersama yakni Pancasila dan UUD 1945.

Rabu, 12 Agustus 2009

Nasionalisme

Benedict anderson dalam bukunya imagine community mencoba mendefenisikan bangsa sebagai sebuah imagined political community - - and imagined as both inherently limited and sovereign. Kata kuncinya adalah proses membayang (imagined) yang terjadi diantara anggota komunitas tersebut untuk merasa terhubung satu sama lain walaupun tidak pernah terjadi kontak secara fisik. Proses membayang inilah yang kemudian melahirkan sebuah sikap loyalitas dari setiap anggota kelompok tersebut kepada kelompoknya yang dikenal dengan nama nasionalisme. Sikap yang dalam catatan sejarah menjadi pendorong utama lahirnya nation-state diberbagai kawasan dunia. Tetapi mengapa kita harus dan merasa perlu untuk terus membayangkan diri kita sebagai bagian dari komunitas imajiner yang bernama bangsa itu?
Jika mengambil asumsi bahwa setiap manusia rasional adalah individualis dalam arti bahwa dalam pilihan tindakan yang akan diambilnya selalu berdasar pada profit taking, maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme yang membuat setiap penganutnya rela untuk mengorbankan nyawanya sekalipun untuk kepentingan bangsanya adalah sebuah pilihan tindakan yang irasional. Benarkah demikian? Ternyata pilihan-pilihan tindakan rasional manusia itu sendiri terbatas. Keterbatasan manusia akan informasi yang ada membuat manusia mengambil pilihan memaksimalkan informasinya yang terbatas dengan cara membuat kerjasama. Selain itu, emotional bounded yang dimilikinya memaksa dia untuk terus mencari bentuk-bentuk identitas yang membuatnya nyaman dan tidak dibatasi oleh berbagai keterbatasan manusia seperti umur dll. Pada titik inilah, keterbatasan itu coba dimaksimalkan dengan cara mengidentifikasikan diri pada kelompok-kelompok tertentu seperti suku, bangsa dan agama. Maka semangat untuk berbangsa pada kemudian menjadi sebuah pilihan tindakan yang harus diambil oleh seorang individu guna memaksimalkan keterbatasan yang dimilikinya.
Sekalipun demikian, kemampuan nasionalisme untuk menjadi sebuah kekuatan yang efektif dalam memobilisasi massa akan tercapai hanya jika setiap individu yang terlibat didalamnya itu secara alami percaya bahwa mereka dilahirkan untuk berkorban kepada bangsanya. Artinya nasionalisme akan maksimal ketika berbasis kepada ‘believe’ anggotanya dan bukan itungan rasional. Dan faktor ‘believe’ ini terbentuk oleh rentang kesejarahan yang panjang dan diceritakan turun-temurun dengan berbagai mdia yang ada. Masalahnya adalah sampai sejauhmana faktor ‘believe ‘efektif saat ini?
Apa yang kita alami selama puluhan tahun pasca kemerdekaan adalah sebuah model pembangunan rasa kebangsaan yang berbasiskan believe tadi. Berbagai mitos dan upacara coba diciptakan, mulai dari media pendidikan sampai informasi, untuk memperkuat fondasi kepercayaan rakyat bahwa sejak awal kita ditakdirkan sebagai sebuah bangsa. Efektivitasnya terlihat pada proses pencapaian kemerdekaan indonesia. Tetapi hari ini, ketika 20% masyarakat Indonesia masih ada dibawah garis kemiskinan, ketika lapangan pekerjaan sangatlah sempit, ketika diskriminasi manusia dengan latar belakan etnis, suku, maupun geografis daerah masih ada, ketika korupsi sudah menjadi budaya bangsa ini, ketika pelayanan publik hanya menjadi sebuah mimpi indah, maka masihkah kita percaya bahwa kita masih satu bangsa? Bagi kami, nasionalisme jangan dituntut kepada rakyat semata, tetapi juga kepada negara untuk mulai berpikir bagaimana meningkatkan daya tawarnya dimata rakyat indonesia melalui tindakan yang mewujud dalam bentuk yang riil dan terukur berupa kesejahteraan dan kemakmuran mereka yang mengikat diri dalam kebangsaan indonesia. Dan hal itu harus segera dilakukan, karena hari ini, kepercayaan tadi telah berubah bentuk menjadi kekecewaan.
Anderson mencoba mendeskripsikan kontruksi nasionalisme yang dibangun di indonesia. Kontruksi nasionalisme merupakan warisan dari kolonial belanda, dimana pola kebangkitan ini berawal dari kebijakan politik etisnya hindia belanda yaitu imigrasi, irigasi dan edukasi. Dalam konteks kebijakan ini adalah dengan maksud untuk memperkuat fungsi-fungsi adminitrasi pemerintahan belanda dalam melakukan penyelenggaraan pemerintahan di negeri jajahannya. Tanpa di sadari kemudian politik etis khususnya edukasi menjadi alat kelompok priyayi/bangsawan untuk mengenyam pendidikan belanda. Akibatnya adalah kebijakan pemerintahan hindia belanda ini keluar dari konteksnya, yaitu kelompok terdidik negeri jajahannya menyadari akan bentuk-bentuk ketimpangan yang dilakukan oleh kolonial belanda. Dari basis persoalan ini kemudian kelompok muda/priyayi ini mencoba untuk menyebarluaskan proses kesadaran akan kepemilikan negeri sendiri. disisi lain pengaruh pendidikan tradisional/ pensantren juga berpengaruh. Asimilasi dua unsur pendidikan menyebabkan pola-pola perjuangan akan membebaskan diri tidak selesai, artinya masih tidak secara total melakukan pembebasan tetapi masih menempel pada kekuasaan pemerintahan hindia belanda dengan ikut terlibat dan mengenyam pendidikan. Kemudian anderson juga memberikan catatan kritis bahwa konsepsi modernitas yang dipakai pemerintahan hindia belanda dengan politik etisnya mampu membangkitkan semangat pembebasan nasional dan disini peran pemuda merupakan inti dari kebangkitan bangsa jajahannya. Dari sini kemudian muncul sikap patriotisme, dimana sikap ini berangkat dari rasa memiliki, menghargai sebagai bangsa yang terjajah yang bersifat anti kepentingan.
Kemudian anderson, dalam imaginated community menjelaskan bahwa bahasa merupakan salah satu faktor pembentuk dari bangsa. Artinya bahwa bahasa merupakan alat untuk melakukan dialog sehingga antara individu dalam masyarakat memahami akan realitas sosial, dari proses memahami ini kemudian melakukan bentuk tindakan-tindakan konkrit, walaupun hal ini masih bersifat primordial, akan tetapi bahasa ini mampu mempersatukan seluruh bangsa, komunitas dan lain-lain.
Dari beberapa hal diatas maka dapat di ulas secara kritis bahwa konsepsi nasionalisme yang merupakan warisan dari kolonial merupakan kontruksi kelompok-kelompok elit/borjuasi/priyayi yang cenderung dipaksakan sehingga apa yang terjadi pada saat sekarang ini adalah buah dari kontruksi tersebut, artinya adalah bahwa proses integrasi nasional yang cenderungdipaksakan oleh elit/borjuasi nasional akan bersifat mendua, satu pada persoalan integrasi yang cauvinis yang membabi buta dan integrasi dengan pola koersif akan menyebabkan disintegrasi yang selalu menghantui bangsa ini.

Sumber : Anderson, Benedict (1983): The last Wave in Imaginated Community : Reflections on the Origion and Spread of Nationalism. London: verso. Pp. 104 -28

Globalisasi vs Nasionalisme

Sekarang isu yang menarik adalah tentang globalisasi yang dipertentangkan dengan nasionalisme. Adakah globalisasi seperti yang dibayangkan oleh orang-orang yang begitu keras membela apa yang dinamakan globalisasi?
Hakikat globalisasi ialah mekanisme pasar yang diberlakukan untuk seluruh dunia tanpa mengenal batas-batas negara. Kita semua mengetahui bahwa mekanisme pasar dalam bentuknya yang paling awal mengandung ekses-ekses yang sangat tidak manusiawi.
Itulah sebabnya dalam perkembangannya mekanisme pasar bertahan karena dibuat manusiawi dengan menciptakan kekuatan-kekuatan pengimbang atau pembatas dalam bentuk sistem perpajakan progresif yang mewujudkan redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan. Juga diciptakan pengaturan tentang persaingan ekonomi yang sehat, sistem asuransi jaminan sosial, undang-undang tentang pembelaan usaha kecil dan menengah, undang-undang tentang perlindungan perburuhan, dan masih banyak lagi. Keseluruhan pembatasan, imbangan, dan koridor tersebut hanya bisa efektif kalau ada pemerintahan yang memaksakannya. Negara bangsa mempunyai pemerintahan yang efektif bagi bangsanya.
Tetapi adakah satu pemerintah yang berlaku bagi semua umat manusia di dunia? Jelas tidak ada. Maka globalisasi adalah mekanisme pasar tanpa imbangan, tanpa pembatasan, dan tanpa koridor. Yang terjadi ialah ekses berupa diisapnya bangsa-bangsa yang lebih lemah oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat. Yang berlaku adalah survival of the fittest.
Karena itu, globalisasi hanya ada dalam khayalan. Apakah bangsa Amerika Seri-kat, Uni Eopa, Jepang, dan China tidak nasionalistis? Apakah kemajuan mereka tidak didorong oleh semangat yang tidak mau kalah dengan bangsa lain, yang didorong oleh cinta pada bangsanya ketimbang mencintai bangsa lain asalkan tidak merugikan bangsa lain?
Dalam era menuju abad 21, ada sebuah pergeseran nasionalisme yang dirumuskan pada awal abad 20 dengan nasionalisme menyongsong abad 21. Pada nasionalisme abad 20 dilatarbelakangi oleh dua aspek. Pertama, gerakan nasionalisme muncul sebagai reaksi atas kolonialisme dan imperialisme barat. Kedua, paham nasionalisme muncul di tengah-tengah "perang dingin" antara blok kapitalisme dan komunisme yang saling mengintai.
Sementara perubahan global yang menyebabkan pergeseran nasionalisme abad 21 adalah, pertama, rontoknya sistem marxisme atau leninisme sebagai ideologi kenegaraan. Kedua, kebangkitan agama-agama sebagai fenomena yang menarik dicermati menyongsong abad 21.
Karena itu, diperlukan artikulasi nilai-nilai kebangsaan menyongsong abad 21 atau lebih tepat disebut redefinisi nasionalisme, termasuk dalam kaitan dengan kebangkitan agama-agama. Hal itu tentu saja merujuk kepada konsep nasionalisme para pendiri negara ini. Dalam konteks seperti itu, Pancasila muncul tidak hanya sebagai ideologi yang berciri anti kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme, tetapi juga sebagaimana yang dirumuskan Bung Karno sebagai "Hoggere Optrekking" (pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi).
Kita punya pijakan sejarah yang jauh lebih kuat. Seperti dikemukakan, CF Ernest Renan saat berpidato di Universitas Sorbone (1982). Katanya, apakah suatu bangsa itu? Pertanyaan itu dapat kita jawab dengan cepat karena kita memiliki pijakan kuat melalui dasar negara yang disebut Bhinneka Tunggal Ika.
Konseptor persatuan nusantara melalui Bhinneka Tunggal Ikan, Mpu Tantular, tak hanya telah meletakkan landasan politis bagaimana mengatasi pluralisme agama, tetapi sudah dikembangkan landasan teologi kerukunan yang jauh lebih mendasar dan memadai. Dalam konteks pergulatan bangsa di tengah-tengah problem kemajemukan, Pancasila telah teruji dan tampil sebagai ideologi yang paling cemerlang dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Meski problem kemajemukan kita jauh lebih kompleks.
Salah satu tantangan nasionalisme Indonesia sekarang ini, selain globalisasi yang mengaburkan batas-batas negara dengan mengedepankan kepentingan ekonomi, adalah bahaya fundamentalisme agama yang bias dan menjurus pada lahirnya terorisme. Karena itu, perlu ditegaskan arah kebangsaan kita dengan menarik tegas batas-batas kekuasaan negara dan kekuasaan agama sebagai wilayah "privat".

Konsep Nasionalisme Perlu Ditinjau Ulang
Dampak negatif pelaksanaan UU tentang Otonomi Daerah berupa sikap eksklusifisme kedaerahan yang melahirkan kecendrungan persaingan tidak sehat antarkabupaten dan provinsi menjadi ancaman integrasi bangsa. Kecenderungan antarkabupaten yang tajam dilatarbelakangi motivasi mengejar pertumbuhan ekonomi guna mewujudkan kemandirian daerah. Mengenai konflik kepentingan mengenai kepemilikan wilayah seperti terjadi antara Riau dan Jambi dalam memperebutkan Pulau Berhala. Dalam konteks ini tepat membicarakan nasionalisme dengan tafsir dan makna baru. Konsep nasionalisme harus dapat menjelaskan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang. Bangsa menurut pengertian Benedict Anderson adalah sebuah komunitas yang dibayangkan . Ia mengatakan:
bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun toh dibenak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Anderson, terj. 2001:8).
Bayangkan bagaimana konsep nasion atau bangsa itu dapat diterapkan untuk penduduk yang tersebar di kepulauan yang banyak seperti Indonesia. Pengertian nasionalisme memang tidak mudah diterangkan karena menurut Brown, ia berkaitan dengan dua penjelasan yakni sebagai kategori praktik dan analisis. Brown mengemukakan tiga konsep tentang nasionalisme. Pertama mengenai ideologi, kesetiaan emosional (emotional loyalty), dan kepentingan (interest) Ketiga spektrum itu memiliki kecenderungan kuat saling tarik menarik dari sudut orientasinya masing-masing. Ketiganya dapat dijelaskan melalui 3 pendekatan: kontruktivis, primordialis, dan situasionalis.
Dalam pendekatan konstruktivis, nasionalisme merupakan ideologi yang bermuatan psikologis dan bernuansa mitos politis. Menurut pandangan ini, nasionalisme adalah identitas nasional yang dibangun dengan dasar kerangka institusional dan dirumuskan secara sederhana dan simplistis untuk mendiagnosa masalah-masalah kontemporer. Mungkin dapat diajukan contoh disini bahwa pernah muncul istilah Kebangkitan Nasional Kedua untuk memberi makna dalam peringatan setiap tanggal 20 Mei pada masa pemerinathan B.J. Habibie. Gejala seperti ini mungkin termasuk upaya disengaja untuk menguatkan nasionalisme Indonesia. Biasanya ungkapan-ungkapannya sloganistis.
Dalam pendekatan primordialis, nasionalisme dilandasi pada sebuah masyarakat organik dan alamiah. Cerminannya adalah kekuatan emosional yang etnosentrik, misalnya dengan mengatakan bahwa mereka atau bangsa itu merasa berasal dari nenek moyang yang sama (common ancestry). Demikian pula mitos yang berkembang mengenai asal-usul yang sama (myths of common origin). Jika tarikan ke nasionalisme konstruktif yang ideologis sifatnya psikologis dan mitos politis, maka tarikan ke primordialis bersifat instinktif. Pendekatan situasionalis menerankan bahwa identitas etnik dan identitas kebangsaan merupakan sumber daya yang diolah oleh kelompok individu dalam rangka memenuhi kepentingan bersama.
Dalam konteks perubahan yang melaihrkan tantangan dan peluang, masyarakat memiliki sejumlah pilihan dan jawaban untuk mengatasi situasi permasalahan yang dihadapi. Pendekatan ini dapat menjelaskan maslaha-masalah yang ditimbulkan dari situasi-situasi ketimpangan ekonomi dan kekuasaan. Situasi itu dapat menimbulkan gerakan etnik dan nasionalis untuk mempertahankan identitasnya. Pendekatan primordialis dapat menerangkan mengapa nasionalisme diterjemahkan sebagai identitas yang kental atau padat. Sedangkan pendekatan situsionalis menerangkan bahwa nasionalisme sebagai suatu identitas yang cair. Ini dapat dimengerti karena pada sudut primordialis, nasionalisme diikat dengan kesetiaan emosional. Sedangkan pada sudut situsionalis pengertian nasionalis didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang bersifat situsional. Tarik-menarik antara sudut pandang konstruktivis dan situasionalis terlihat pada yang pertama bersifat ideologis (kepercayaan yang dianggap benar sehingga harus diperjuangkan) dengan sudut situsionalis didasarkan pada rasionalitas.
Munculnya gejala disintegrasi sosial dan disintegrasi nasional boleh jadi karena selama ini mampatnya aspirasi lokal atau daerah ke permukaan. Nasionalisme negara terlalu kuat menekan kepada nasionalisme yang bersifat primordialis yang pada prinsipnya memang hidup. Demikian pula nasionalisme negara kurang memperhatikan perkembangan di dalam masyarakat yang karena munculnya berbagai kepentingan tidak tertampung di dalam perwujudan nasionalisme negara.
Konflik yang bermuatan kesukubangsaan memang bukan monopoli di indonesia saja. Ketegangan itu lazim juga terjadi di Asia tenggara mulai dari yang permanen seperti di Burma (Myanmar) sampai yang ekspresinya tenang sepeerti di Singapura. Menurut Brown munculnya kesadaran kesukubangsaan dipengaruhi atau berkaitan dengan struktur kekuasaan. Ketidakadilan yang diperlihatkan oleh sebuah kekuasaan berakibat pada masyarakat sukubangsa yang merasa dirugikan atau didzalimi. Dalam konteks itu kesukubangsaan menjadi kendaraan untuk mengejar kepentingan-kepentingan baik dalam aspek ekonomi dan politik (Brown 1994:xi-xii).
Pelaksanaan UU otonomi daerah memberi peluang besar bagi daerah untuk mengelola potensinya untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi dua gejala yang mencolok kini: yaitu elite yang lebih mementingkan dirinya sendiri dan kedua terlalu kuatnya semangat kedaerahan.