Selasa, 10 Maret 2009

Pemilu : Kritis, Rawan dan Mahal

Demokrasi elektoral 2009 tinggal tigapuluh empat hari lagi, kesiapanpun begitu nampak terasa kuat dari caleg-caleg dan tentunya geliat para capres. Dalam demokrasi padat modal mereka dipaksa untuk menguras semua energi dalam memperebutkan kekuasaan 5 tahunan, tidak terkecuali mereka juga bertaruh posisi yang sudah didapatkan dalam birokrasi (komisaris,direktur,staff ahli dll) dengan memilih untk bertarung dalam kekuasaan politik yang tidak ada jaminannya. Bahkan ada juga yang menggantungkan label aktifis, darah biru politik, kepopuleran, dan sebagainya merupakan rona-rona demokrasi padat modal.

Berbagai strategi politik untuk mendulang suara di basis rakyat terus dilakukan dengan iklan, pembuatan posko, pengobatan gratis, pertemuan warga, door to door dan berbagai janji-janji politik ketika nanti saya menang,saya akan.... yang semakin intensif frekuensinya. Tampilan atribut kampanye yang menyesakkan ruang-ruang publik justru kontraproduktif dengan kehendak rakyat yang menginginkan perubahan.

namun, geliat politik yang sudah mendidih tidak di imbangi dengan kesiapan-kesiapan secara substantif dan teknis baik yang dilakukan KPU dan sejawatnya. Minimnya sosialisasi, banyaknya aturan hukum yang tidak diimbangi dengan aturan penegasan seperti kuota perempuan 30%, problem cetak kertas suara-potong-distribusi, Bahkan dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilu justru masih banyaknya ditemukan kesalahan secara teknis seperti kertas suara rusak, salah distribusi, kekurangan kotak suara, probelm lipat dan potong kertas suara, problem prosedur cetak, dll. maka harapan terhadap pelaksanaan pemilu yang jujur adil dan langsung akan semakin menjauh dari subtansinya, kalaupun KPU dan BAWASLU beserta instrumen dibawahnya memaksa pelaksanaannya dengan dalih DEMOKRASI justru akan mengancam substansi demokrasi yaitu kesejahteraan untuk rakyat.

Ancaman demokrasi elektoral ke depan sangat kompleks, tidak datang dari penyelenggara (KPU) karena ketidaksiapan secara teknis namun ancaman terberat adalah datang dari para caleg dan partai politik. Sementara keputusan MK atas nama suara rakyat dapat menimbulkan konflik. Rawannya konflik antar caleg dalam satu partai atau antar caleg dalam satu dapil akan marak menghiasi pesta rakyat. Bahkan banyak caleg-caleg yang bertarung juga dirundung masalah dengan pihak polisi dan KPK. Kompleksitas ancaman inipun dapat diprediksi akan terus berlanjut sampai selesainya pesta demokrasi. Kita semua bisa membayangkan bahwa awal tahun pemerintahan yang terpilih akan berjalan tidak efektif.

Sementara penjaga moral dan integritas bangsa sudah luntur spiritnya, mereka justru terjebak dalam politik praktis. tingginya mobilitas kelompok agama dalam setiap kegiatan, munculnya dewan integritas (tokoh agama dan masyarakat) yang justru sebagai pedagang baru dalalm bursa pencapresan yang akan dijual ke partai politik, bermunculan kanal-kanal alternatif seperti poros perubahan, poros bumi dan seterusnya merupakan arena power bargain antar elit.

Inilah sekelumit panggung sandiwara politik elit dalam mengejar posisi, bukan harapan akan perubahan. Hampir semua partai dan caleg tidak memiliki perbedaan program dan visi yang jelas, yang sejatinya sudah dilakukan pemerintah SBY-JK artinya perubahan itu tetap tidk membumi.

harapan kita semua adalah bagaimana ancaman dan mahalnya proses demokrasi elektoral menjadi tamparan elit dan rakyat untuk sadar bahwa langkah-langkah menjalankan demokrasi padat modal tidak sesuai dengan akar budaya bangsa. demokrasi yang terlalu cepat masak sebelum waktunya dan tidak di imbangi dengan penguatan kesadaran sipil society hasilnya adalah kerusakan mental dan karakter bangsa yang seolah-olah demokratis namun sejatinya adalah tampak muka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar