Minggu, 18 April 2010

Negara Pelayan Modal

(Sebuah Keprihatinan terhadap upaya paksa Negara dalam men-privatkan Pelabuhan Tanjung Priok)

Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata. Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud.
Sebagai sebuah bangsa yang memiliki kedaulatan ekonomi dan politik berdasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila, kini Indonesia hanya sekedar menjadi pasar, sasaran eksploitasi alam, dan sasaran eksploitasi tenaga kerja murah bagi kemajuan negeri-negeri kapitalis maju. Produktivitas rata-rata masih sangat rendah sementara, konsumtivisme dipaksa menjadi budaya dominan. Pengangguran semakin banyak, kemiskinan bertambah, dan praktek percaloan bukan sekadar budaya di sektor ekonomi tapi, juga melanda sektor politik dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Penghancuran industri strategis nasional oleh Negara justru marak terjadi pada era reformasi. Atasnama “efisiensi” Negara melakukan program privatisasi terhadap seluruh asset strategis sebagai satu paket kebijakan nekolim. Pemerintah selama ini beragumen bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk menutup deficit anggaran. Privatisasi dipercaya sebagai jalan menghilangkan intervensi politik (birokrasi Negara) terhadap BUMN. Privatisasi juga dianggap cara yang paling ampuh untuk menyehatkan dan meningkatkan kinerja BUMN.
Privatisasi menjadi satu paket dengan liberalisasi ekonomi dan deregulasi yang kini berujung pada dominasi modal asing terhadap 90% pengelolaan migas, 50% penguasaan perbankan nasional
Privatisasi sebagai upaya untuk mengambilalih ekonomi nasional. Penguasaan asset-aset strategis nasional seperti air, tanah, migas dan lain-lain pada hakekatnya sebagai bentuk penjajahan baru. Agresifitas kekuatan modal asing dalam melakukan ke privat-an terhadap ruang-ruang public selama ini justru telah memuluskan penyedotan surplus ekonomi rakyat. Meluasnya pembentukan ruang-ruang privat inilah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai neo kolonialisme (NEKOLIM) ekonomi Indonesia.
Kegagalan pemerinah dalam pengelolaan ekonomi public (BUMN) sebagai bagian dari warisan struktur ekonomi colonial sentralistik yang mendoron ifisiensi dan eksploitasi BUMN. Negara justru telah bertransformasi menjadi pelayan kapitalisme global yang jelas bertolakbelakang dengan amanat pasal 33 UUD 1945.

Liberalisasi Sektor Pelabuhan
Agresifnya modal asing dalam melakukan ekspansi kekuasaan ekonomi politik melalui produk regulasi di wilayah Indonesia sudah tidak dapat terbendung. Aset strategis termasuk pelabuhanpun (Pelindo) secara perlahan sudah dikuasai oleh modal asing, Saat ini kepemilikan sahan perusahaan afliasi PT Pelindo II sebanyak 51 persen kepemilikan sahamnya dimiliki oleh Grosbeak Pte.Ltd sebuah anak perusahaan Hutchinson Port Holding dari Hongkong. Perusahaan ini memperoleh konsesi 20 tahun untuk mengelola pelabuhan priok.
Pelabuhan di kota-kota besar khususnya di Medan, Batam, Jakarta, Surabaya/Gresik/Tuban, Makassar menjadi pilot project terhadap keberhasilan ekspansi modal asing sebagai Port Operator. Paket liberalisasi pelabuhan ini sebenarnya untuk memuluskan jalannya liberalisasi perdagangan, system yang menghilangkan proteksi Negara dengan membentuk kawasan ekonomi khusus (KEK) di beberapa kawasan pelabuhan strategis.
Melalui UU Pelayaran No.17 Tahun 2008, paket liberalisasi pelabuhan memiliki legitimasi secara hukum. Peluang masuknya orang ataupun perusahaan dalam membangun atau mengelola terminal di pelabuhan Indonesia yang selama ini dioperasikan Pelindo akan semakin mudah. Produk legislasi inipun menjadi ancaman terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia dan tentunya akan mengurangi pendapatan Negara berupa pajak dan deviden yang pada tahun 2007 mencapai Rp.1,180 triliun. Seiring dengan itupun, bahwa paket UU no.17/2008 menguatkan program Free Trade Agreement di tingkat kawasan ataupun G to G yang menegaskan pada ketiadaan biaya tariff (tarrif non barrier) pajak bea.
Dalam satu sisi, kondisi ini merupakan tantangan terhadap percepatan perdagangan bebas, namun kondisi real industri nasional yang sedang mengalami kebangkrutan dalam dasawarsa terakhir tentunya akan kalah bersaing dengan industri Negara maju yang sudah menancapkan kakinya di Indonesia. Kran liberalisasi yang dibuka secara luas dan kekuatan modal asing yang terus meluaskan ekspansi jajahannya tentunya akan berdampak buruk terhadap kedaulatan ekonomi politik.
Liberalisasi tidak mengenal batas social dan budaya, mereka merangsek dan menghancurkan pondasi kehidupan budaya rakyat. Tidak terkecuali upaya penggusuran makam mbah Priok secara paksa oleh Pelindo II adalah contoh kecil dari agresifnya kekuatan modal dalam menghancurkan tradisi/keyakinan warga. Atasnama modal, kekuasaan telah sewenang-wenang terhadap perlindungan hak asasi manusia dan hak ulayat warga yang mempertahankan tradisi/keyakinan tersebut secara turun temurun.
Oleh karena itu, pelabuhan harus dikembalikan pada fungsi awalnya yang tidak hanya sebagai pusat perdagangan (ekonomi) tetapi juga sebagai basis kekuatan politik dan benteng pertahanan dari ancaman perdagangan bebas yang tidak mengenal toleransi sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Proteksionisme dan monopolistic terhadap peran pelabuhan oleh negaralah yang dapat menjaga dan memperkuat basis ekonomi nasional dari ancaman perdagangan bebas sehingga pondasi dan tatanan ekonomi nasional dapat bangkit dan berdiri sejajar dengan bangsa lain.