Minggu, 31 Januari 2010

FTA = Modus Operandi Penjajahan Modern

Sebuah Pengantar
Satu mekanisme yang sekarang paling banyak dipakai untuk mempercepat ekspansi kapitalisme neo-liberal adalah melalui perdagangan bebas. Pada prinsipnya perdagangan bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi. Liberalisasi yang menghilangkan peran pemerintah dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat dan menyerahkannya pada peranan pasar (baca: pemilik modal).

Indonesia dalam prakteknya telah mengikatkan diri dengan dua perjanjian perdagangan internasional, yakni WTO dan AFTA. Perjanjian perdagangan bebas di tingkat multilateral melalui WTO (World Trade Organization) yang sebelumnya bernama GATT (General Agreement Trade and Tariff), sedangkan ditingkat kawasan disebut FTA (Free Trade Agreement). Pembukaan pasar melalui penghapusan segala bentuk hambatan perdagangan dan menghilangkan segala sesuatu yang dianggap distorsi bagi pasar bebas. Kebijakan liberalisasi perdagangan yang merupakan bagian dari kebijakan neoliberalisme dijalankan mealui penghapusan proteksi, tarif bea masuk dan hambatan non tarif lainnya.

Seluruh strategi pembangunan ekonomi di sebuah negara sekarang dihapus dan diganti oleh perjanjian perdagangan bebas. Indonesia adalah contoh bagaimana sebuah negara di lucuti kedaulatan ekonominya lewat IMF yang telah membuka kran liberalisasi, kemudian amandemen ke-4 UUD 1945 khususnya pasal 33 sehingga menjadi konstitusi neoliberal yang ramah terhadap pasar. Inilah pola invasi nekolim abad 21 melalui konstitusi, hukum positif dan perjanjian-perjanjian pasar bebas.

Pasca kebuntuan perundingan WTO, Indonesia telah melakukan perjanjian perdagangan bebas dengan negara maju seperti Jepang, China, Korea, Australia, New Zealand, AS, Uni eropa dan lainnya. Perjanjian perdagangan bebas hampir meliputi seluruh bidang yang berkaitan dengan investasi dan perdagangan. Kesepakatan dalam FTA lebih menyeluruh dibandingkan dengan perjanjian dalam WTO karena menyangkut seluruh aspek liberalisasi perdagangan barang dan jasa. Padahal d engan kesepakatan WTO, kepentingan Indonesia sangat dirugikan akibat berbagai aturan pembukaan pasar dan liberalisasi yang menyebabkan arus impor negara berkembang tertinggal.

FTA (pertama kali lewat AFTA tahun 2002, China-ASEAN FTA tahun 2004 dan Indonesia – Jepang EPA tahun 2007), ASEAN Korea FTA, ASEAN-Jepang, ASEAN- Australia/NZ FTA, , sedang dirundingkan pula FTA dengan India, FTA dengan Uni Eropa, FTA-AS, FTA dengan EFTA ( Europen Free Trade Area), perlahan namun pasti Indonesia membuka lebar-lebar bagi invasi nekolim. Bentuk perdagangan bebas ini mengarah pada “ single market and productiona base” kawasan yang memiliki kompetensi ekonomi tinggi dan kawasan yang berintegrasi penuh pada perekonomian global serta “free flow of goods, capital, services, and skilled labor”. Indonesia adalah pasar terbesar di ASEAN, tetapi tunduk penuh pada kepentingan negara maju.

Pada perjanjian ASEAN-Australia/NZ (AANZA-FTA), sekitar 86% dari pos tarif Indonesia secara bertahap akan dipangkas menjadi nol persen pada 2015. Dan sekitar 13% tarif menjadi nol persen pada 2009. Dari Australia, 92% tarif menjadi nol persen pada tahun pertama. Lebih dari 70% pos tarif Selandia Baru juga langsung nol persen di tahun pertama. Sementara produk peternakan, seperti daging dan susu, dari kedua negara itu dinolkan pada 2017-2020.

Padahal jika dicermati perjanjian tersebut justru merugikan Indonesia. Selama ini misalnya neraca perdagangan non migas Indonesia baik dengan Australia dan New Zealand selalu negatif. Artinya tanpa perdagangan bebas pun, Indonesia lebih banyak mengimpor barang dari kedua negara tersebut. Australia selama ini dikenal sebagai pemasok utama susu, daging sapi dan sejumlah bahan pangan ke Indonesia.

Jika tarif diturunkan menjadi nol persen maka dapat dipastikan ketergantungan pada impor akan semakin tinggi. Sementara industri pertanian yang kini terseok-seok akibat gempuran produk-produk impor akan semakin terpukul. Sekedar catatan hingga saat ini Indonesia mengimpor sejumlah produk pertanian antara lain: gandum sebanyak 100% dari total kebutuhan gandum dalam negeri, kedelai 61%, gula 31%, susu 70%, daging sapi 50%, garam 66%, dan kapas sebanyak 80%.

Belum lagi dampak free trade dalam bidang jasa. Sektor jasa seperti pendidikan, kesehatan sangat berpotensi tergulung akibat kalah bersaing dengan negara-negara sekelas Australia dan Singapura. Ide-ide dan budaya-budaya dari negara-negara tersebut akan makin mencengkram.


Agresifnya Rejim Perdagangan Bebas
Polemik masalah liberalisasi perdagangan yang berlangsung di Indonesia saat ini berkaitan dengan pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Aggreement/ACFTA) sebenarnya bukanlah hal baru. Dalam sejarah perdagangan internasional, polemik tersebut sudah berlangsung sejak ratusan lalu.

Sudah lebih 5 tahun, sejak tanggal 4 November 2004 di Phnom Pen Kamboja ditandatanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation atau kerja sama ekonomi negara-negara Asean dengan China dalam bentuk Asean- China Free Trade Area (ACFTA). Kesepakatan kerja sama ini sendiri dibangun di atas argumen-argumen dan mempunyai tujuan yang sangat ideal.

Mengingat China sebagai negara yang mempunyai pertumbuhan tertinggi di dunia sekarang ini, dengan penduduk 1,2 miliar jiwa, ditambah dengan penduduk Asean sekitar 500 juta jiwa maka menjadi total penduduk di dua kawasan ini menjadi sekitar 1,7 miliar jiwa. Jumlah penduduk yang sangat besar ini tentu menjadi pasar empuk produk dan jasa ke dua belah pihak.

Tujuan lainnya adalah meliberalisasi perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif serta mengembangkan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan kedua belah pihak, termasuk memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif kedua belah pihak. Khusus mengenai tarif bea masuk barang-barang hasil pertanian, termasuk sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan yang semuanya dikelompokan dalam EHP (Early Harvest Programme). Kerja sama ini mempunyai target mempercepat implementasi penurunan tarif barang-barang tertentu dimana di tahun 2010 akan menjadi 0%. Pengaruh pertama sebagai konsekuensinya adalah akan membanjirnya produk-produk hasil pertanian atau buah-buahan dari sesama negara ASEAN maupun dari China ke Indonesia. Dan konsekuensi ini sudah terjadi bahkan sejak ACFTA itu sendiri belum dimulai.

Kelompok kedua dalam Normal Track, yakni jadwal penurunan tariff yang telah disepakati oleh masing-masing negara anggota. Dalam hal ini NT dibagi menjadi dua bagian yaitu NT1 dan NT2 (flesibilitas). Kelompok ketiga, Sensitive Track yakni penurunan tarifnya agak lama dibandingkan dengan penurunan normal track. Terdiri dari Sensitive List ; tariff BM akan diturunkan/dihapuskan menjadi maksimal 20% pada tahun 2012 dan menjadi 0-5% pada tahun 2018, Highly Sensitive List; tariff BM akan diturunkan/dihapuskan menjadi maksimal 50% pada tahun 2015 dan menjadi 0-5% pada tahun 2020, GEL (General Exclusion List) merupakan daftar produk yang dikecualikan dari liberalisasi karena alasan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini sesuai dengan artikel 9 b GATT. Contohnya bahan peledak, minuman keras, limbah kimia. Tarif yang berlaku adalah tariff Umum (MFN).

Sebagai negara industri yang memiliki kemajuan pesat, China terus melakukan invasi pasarnya ke negara berkembang dalam rangka meningkatkan surplus pedagangan luar negerinya. Bahkan kebangkitan ekonomi China menyebabkan ancaman bagi industri negara maju sehingga secara cepat melakukan proteksionis terhadap pasar domestic. Berbeda dengan negara berkembang, Indonesia secara konsisten membuka perdagangan bebas yang telah menjauhkan dari asas keadilan.

Membanjirnya produk China di pasar domestic, menyebabkan usaha produk TPT menurun dari 57% pada tahun 2005 menjadi 23% pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik, 2008). Industri besi baja, tekstil dan produk tekstil (TPT), kimia anorganik dasar, furnitur dan lampu hemat energi menjadi lima sektor yang dikhawatirkan terkena dampak paling serius akibat pemberlakuan perjanjian ACFTA ini. Selain itu, ACFTA dipastikan mengancam kelangsungan industri yang selama ini berbasis pasar dalam negeri, dan dampaknya memicu meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diprediksi mencapai 7,5 juta orang secara nasional.

Paling tidak di lingkungan sektor usaha tekstil saja akan terjadi PHK sebanyak 1,2 juta orang. Industri tekstil merupakan salah satu sektor usaha yang terancam, karena selama ini tekstil nasional hanya menguasai 22% pasar tekstil domestik, dan 78% lainnya dipenuhi oleh tekstil impor. Dari 78% tekstil yang diimpor itu, 71% di antaranya masuk ke Indonesia secara ilegal.

Karena itu pemberlakuan pasar bebas ASEAN-China sudah pasti menimbulkan implikasi yang sangat negatif. Pertama, invasi produk asing terutama dari China di tengah lemahnya infrastruktur ekonomi, modal, daya saing, dan dukungan pemerintah, dapat menyebabkan hancurnya sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Sektor industri pengolahan (manufaktur) dan industri kecil menengah (IKM) merupakan sektor ekonomi yang paling terkena dampak realisasi perjanjian perdagangan bebas ini. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi.

Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Begitupula diproyeksikan lima tahun ke depan investasi di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM. Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya dikatagorikan akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari China (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).

Kedua, pasar lokal dan nasional yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Data statistik Kementerian Perdagangan RI, misalnya, menunjukkan, walaupun jumlah total perdagangan RI dan China meningkat cukup drastis dari US$ 8,7 miliar pada 2004 menjadi US$26,8 miliar pada 2008, namun toh Indonesia mencatat defisit perdagangan sebesar US$ 3,6 miliar. Artinya impor barang dari China lebih besar dari pada ekspor barang ke China.

Sebagai contoh, harga TPT China lebih murah antara 15% hingga 25%. Selisih harga yang lebih murah 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan apalagi bila perbedaannya besar. Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah pilihan pragmatis dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil China atau setidaknya pedagang tekstil.

Ketiga, kondisi ini akan membuat karakter perekomian nasional semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing, bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor sedangkan sektor-sektor vital ekonomi nasional juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi nasional Indonesia?

Keempat, jika di dalam negeri saja kalah bersaing bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan China? Data menunjukkan tren pertumbuhan ekspor non migas Indonesia ke China sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%. Ini lebih kecil dengan tren pertumbuhan ekspor China ke Indonesia yang mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat memungkinkan berkembang justru ekspor bahan mentah bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh China yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.

Secara umum, neraca perdagangan Indonesia dengan China dan negara-negara anggota ASEAN semakin defisit sebagaimana data ekspor-impor Indonesia yang baru dirilis BPS. Ekspor Indonesia ke China selama Januari-November 2009 mencapai US$ 7,71 miliar sedangkan impornya US$ 12,01 miliar. Dengan Singapura, ekspor Indonesia tahun 2008 US$ 12,86 miliar dan impor US$ 21,79 miliar. Indonesia juga mengalami defisit neraca dagang dengan Thailand sebesar US$ 2,67 sedangkan dengan Malaysia defisit US$ 2,49 miliar (Kompas, 5/1/2010). Ini sangat mengkhawatirkan di tengah arus liberalisasi perdagangan yang dijalankan Indonesia.

Kelima, terpangkasnya peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional karena perannya digantikan impor dampaknya juga menimpa penyediaan lapangan kerja. Tentu ini sangat memberatkan para pekerja dan pendatang baru dunia kerja. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang sedangkan pada periode Agustus 2009 jumlah pengangguran terbuka mencapai 8,96 juta orang.


Kebijakan Proteksi terhadap Pasar Domestik
Kontruksi ekonomi Indonesia telah dibangun diatas landasan kepentingan ekonomi politik pasar bebas. Perekonomian yang dibangun atas dasar hukum pasar tidak akan mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan bisa diperoleh ketika banyaknya asset-aset kekayaan alam dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan produksi dan pasar dalam negeri. Pemanfaatan asset ini harus dibangun diatas landasan konstitusi UUD 1945.

Langkah yang paling tepat dalam menguatkan industri nasional adalah dengan melakukan kebijakan proteksionisme, yakni melakukan perlindungan terhadap industri dalam negeri dari serangan produk luar negeri. Kebijakan perlindungan terhadap industri dalam negeri semata-mata untuk memperkuat basis fundamental ekonomi nasional yang menopang hajat hidup rakyat. Penguatan basis fundamental ekonomi nasional dengan memberikan pelayanan yang baik (perijinan), memprioritaskan pasokan energy untuk kepentingan industri nasional, memprioritaskan pemanfaatan bahan baku untuk kebutuhan industri dalam negeri, membangun infrastruktur distribusi yang cepat dan membangkitkan budaya cinta produk dalam negeri, memerangi pungutan liar terhadap industri dan memberikan bantuan subsidi yang lebih besar terhadap industri kecil-menengah agar bisa mempertahankan dan bahkan mengembangkan usahanya. Yang paling penting adalah harus melestarikan budaya eksportir bahan jadi yang memiliki nilai tambah (lebih) dan membangun kapasitas pengolahan sendiri (penguatan industri nasional).

Peran negara yang berpihak pada kepentingan nasional dan kebijakan proteksionisme atau nasionalisme ekonomi harus terus diperkuat. Proteksionisme diperlukan khususnya sektor strategis yang akan mendatangkan kekayaan dan modal nasional seperti sektor migas, pertanian (pangan-termasuk perikanan dan komoditas tropis). Yakni memberikan proteksionisme terhadap sektor strategis yang menguasai hajat hidup rakyat banyak dan sektor non strategis yang diserahkan kepada pasar yang diregulasi secara baik dan tepat.