Kamis, 15 Oktober 2009

Penyelenggara Negara Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

Bau tak sedap bailout Bank Century terus saja mengalir. Kebijakan sepihak pemerintah dalam menyelamatkan bank yang sejak awal berdiri sudah bermasalah dengan dalih akan berdampak sistemik adalah tidak terbukti. Telah terjadi dispute antara pemerintah dan DPR dalam memberikan penjaminan terhadap bank yang sejak awal berdiri sudah bermasalah. Dimana DPR hanya mengalokasikan Rp. 1,4 T, sedangkan pemerintahan tanpa persetujuan DPR mengelontorkan dana talangan sebesar Rp. 6,76 T. Menurut UU BI Tahun 1999, dinyatakan bahwa sumber dana darurat untuk mengatasi perbankan nasional berasal dari dana APBN yang dikumpulkan/disimpan para nasabah pada bank-bank peserta LPS.

Berdasarkan Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, Keuangan Negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud mencakup keseluruhan kegiatan di bidang keuangan negara yang meliputi perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Tapi dalam kasus Century, justru penyelenggara negara dengan sengaja dan berjamaah melakukan pencurian uang negara dan rakyat untuk kepentingan golongan yang diperuntukkan kepentingan mempertahankan kekuasaan.

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter telah lalai dalam melakukan pengawasan terhadap bank-bank yang bermasalah. Sedangkan Menkeu sebagai otoritas keuangan dengan sengaja melakukan manipulasi keuangan negara dalam melakukan penyelamatan bank century. Hal yang tidak wajar ketika kelalaian ini telah berlangsung lima tahun. BI pun secara resmi telah menyatakan lalai dalam melakukan pengawasan terhadap bank Century, artinya bahwa Boediono selaku Gubernur BI dan Sri Mulyani selalu ketua KKSK telah menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya (abuse of discreation) untuk mengeluarkan kebijakan bailout. Akibat kelalaian dan tidak menjalankan fungsi dan UU BI, maka negara mengalami kerugian sebesar Rp. 6,76 T. Kelalaian penyelenggara inilah yang justru akan berdampak sistemik terhadap kepercayaan publik. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, kerugian negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.


Korupsi Berjamaah

Sudah menjadi rahasia umum, hampir semua instansi pemerintah di Indonesia sudah menjadi sarang korupsi sistemik. Korupsi telah menyatu dan membudaya dalam sistem birokrasi, berlangsung dengan mulus dan dalam waktu lama tanpa bisa terendus semua perangkat hukum dan aparat penegak hukum. Celah hukum dimanfaatkan betul untuk berbuat korup. Semua prosedur adminitrasi dibuat sedemikian rupa. Kalaupun dugaan korupsi sempat masuk ranah hukum, justru aparat penegak hukum malah bisa masuk dalam jaringan sistem korupsi yang sistemik.

Kita patut menduga dalam kasus bailout bank century telah terjadi tindak pidana korupsi dan perbuatan melawan hukum dari penyelenggara negara. Korupsi yang patut diduga melibatkan lingkaran istana, pengusaha yang dekat dengan kekuasaan, Parlemen, Partai Politik, Kepolisian dan lainnya dilakukan dengan sengaja dengan memanfaatkan celah-celah hukum positif. Pengelontoran bailout century sarat kepentingan politik dan diperuntukkan untuk mempertahankan kekuasaan.

Korupsi berjamaah yang dilakukan oleh banyak orang yang memiliki otoritas atau keahlian dengan cara sistematis bahkan kerap melibatkan aparat penegak hukum dan sehingga secara hukum positif sulit untuk dibuktikan. Inilah yang menjadi tugas berat bagi seluruh komponen bangsa untuk komitmen dan konsisten dalam menuntuk keadilan publik. Dan tidak jarang para pelaku (koruptor) melakukan berbagai upaya/rekayasa untuk mengamankan hasil korupsinya dengan upaya hukum dan politik. Seperti memaksa Perpu no.4 Tahun 2008 yang sudah ditolak DPR tanggal 18 Desember 2008 untuk disyahkan menjadi UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) dan untuk keduakalinya digagalkan lagi oleh DPR. Dalam kandungannya dijelaskan bahwa Perpu No.4 tahun 2008 tentang JPSK tersebut memberikan kekebalan hukum bagi BI dan Menkeu terhadap segala keputusannya. Kedua merusak citra KPK dengan mengungkap berbagai skandal yang melibatkan pimpinan KPK. Ketiga restrukturisasi BPK yang belum selesai dan sarat kepentingan dalam mengamankan kekuasaan.

Ketiadaan upaya negara dalam melakukan hak paksa kepada koruptor yang telah menggunakan keuangan negara untuk kepentingan kelompok merupakan sinyalmen bahwa bangsa ini telah terjangkiti penyakit korupsi luar biasa. Inilah satu bentuk kejahatan sistematis yang telah merusak dan telah berkhianat terhadap cita-cita pendiri bangsa untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Penyebab utamanya, para penyelenggara negara (eksekutif, legislative, yudikatif) lebih mengutamakan menyejahterakan diri sendiri. Dengan alasan demi kesejahteraan umum, bisa merancang sebuah tindakan yang justru memperkaya diri sendiri.